Share

FAIZ PINGSAN

KAPAN AYAH PULANG 

BAB :  3 

FAIZ  PINGSAN 

18+

POV :  DUDUN

"Ya Allah ... kenapa si Faiz, Mas?!"

Aku dikejutkan oleh teriakan Ibu. Sarung kembali ku lemparkan ke atas ranjang. Gegas aku keluar kamar. Mengabaikan niatku untuk pergi salat berjama'ah ke langgar.

"Faiz kenapa, Yah?!" tanyaku penuh cemas, ketika melihat Ayah memasuki rumah dengan menggendong Faiz. 

"Di pukul Tina," jawab Ayah. Mungkin jawaban itu untuk Ibu, tapi aku jadi tau apa sebenarnya yang terjadi dengan Faiz, sahabatku itu.

Kasihan Si Faiz! Sejak Ayahnya pergi, dia semakin sering dimarahi. Bahkan tidak jarang dipukul. Dulu Faiz juga sering diomelin Ibunya, tapi tidak sampai dipukul, karena selalu ada Ayahnya yang melindungi.

Kini yang melindungi itu telah pergi. Kata orang, a

Ayah Faiz pergi merantau dan tak pulang-pulang. Kata orang juga ... Tante Tina, ibunya Faiz telah mendatangkan ayah baru untuk Faiz. Dia nikah lagi!

Namanya Om Darto. Cuma aku suka heran. Kok bisa ya, orang punya Ayah baru? Padahal dari dulu, Ayahku itu-itu saja. Tak pernah aku punya Ayah baru. Tapi, aku tidak mau ada Ayah baru. Punya Ayah baru, tidak menyenangkan. Buktinya si Faiz tidak suka dengan Ayah barunya itu.

Ya, jangankan Faiz! Aku sendiri juga tidak suka dengan orang tersebut. Dia tidak sebaik Ayahku, juga tidak sebaik Ayah Faiz. Malah dia suka melotot!  

Bila aku main ke rumah Faiz, dia selalu melotot menatapku. Tampangnya suka asam!

Ihhh ... seram!

Karena itulah aku jadi jarang main ke rumah Faiz. Walau Ayah dan Ibu sering menyuruh aku untuk menemani Faiz, tapi aku ogah. Takut sama Om Darto.

Faiz juga aneh sih, seharusnya sejak Ayahnya pergi, dia tinggal bersama kami di sini. Ayah dan ibuku, kan sering membujuk Faiz agar tinggal bersama kami sampai Ayahnya pulang.

Aku dan Kakakku juga sering merayu Faiz agar tinggal bersama kami, tapi Faiz nya keras kepala. Tetap aja menolak. Alasan Faiz, dari rumahnya lebih dekat ke jalan raya. Jadi kalau Ayahnya pulang dan muncul di ujung gang, dia bisa lansung dan lebih cepat melihatnya. 

Akirnya jadilah Faiz seperti itu, duduk melamun di pintu rumah menunggu Ayahnya yang tak pulang-pulang.

Aku kasian melihat dia duduk sendiri. Ingin rasanya menemani setiap saat, tapi aku takut sama Om Darto.

"Aduhhhh ... benar-benar keterlaluan si Tina, kepala anaknya sampai berdarah begini!" teriak Ibu yang mengiringi Ayah dari belakang, tangan Ibu membelai kepala Faiz yang terkulai di bahu Ayah.

Berdarah?

Aku semakin cemas, apakah kepala Faiz berdarah? Gegas aku menyusul Ayah yang berjalan ke arahku. Ketika telah berada di samping Ibu, aku memperhatikan kepala Faiz yang terus dielus-elus Ibu. 

Aku jadi takut ketika melihat ada bagian rambut Faiz yang berwarna merah ... itu darah!

"Hiiiiiii...," aku bergidik.

"Ambil kotak obat!" titah Ayah ketika kami telah berada di pintu kamarku.

Ibu berlalu mengambil kotak obat, aku mengikuti ayah memasuki kamar. Faiz dibaringkan di atas ranjangku. Dia terkulai tanpa gerak, mungkin masih lelap dalam tidurnya. 

Ayah menutup tubuh Faiz yang telanjang dengan sarung. Sarung yang tadi akan kupakai untuk ke langgar. Setelah itu ayah meraba leher dan kening Faiz.

"Faiz ... Faiz!" 

Ayah menepuk-nepuk pipi Faiz sambil memanggil namanya, mungkin Ayah sedang membangunkan Faiz, untuk di suruh ke langgar bersamaku. Karena suara azan telah terdengar dari pengeras suara, tanda waktu Magrib telah masuk.

"Bagaimana keadaannya, Mas?" tanya Ibu ketika beliau telah berada di pintu kamarku. 

Di tangan Ibu terlihat kotak P3K. Tempat keluarga kami menyimpan obat-obatan. Wajah Ibu masih terlihat cemas, dengan langkah cepat beliau menuju sisi ranjang dekat Ayah. 

Dibelakang Ibu, Kakakku menyusul, dari mimik wajahnya jelas terlihat rasa ingin tahu dengan berbalut kecemasan. 

Seperti cemasnya aku.

"Sepertinya dia pingsan," jawab Ayah mirip gumamman.

Pingsan?

Tiba-tiba dadaku berdetak cepat, ada rasa takut di hatiku. Takut kehilangan Faiz. Bukankah kalau orang pingsan itu bisa mengakibatkan kematian? 

Aku tidak mau Faiz mati! Dia harus segera bangun! Dia tidak boleh pingsan.

"Faiz ... Faiz ... bangun Faiz!" ucapku sambil mengoyang-goyangkan kaki Faiz. Faiz hanya diam, membuat aku semakin cemas.

"Faiz ... bangun, Faiz! Kamu jangan pingsan! Kalau pingsan terus nanti kamu bisa mati!" teriakku sambil terus mengoyang-goyangkan kaki Faiz.

"Hus! Ngomong opo cah iki!?" kata Ibu sambil menepis tanganku.

"Pas magrib ngomong yang ngak-ngak!" Kakakku ikut membentak sambil menoel kepalaku.

"Faiz pingsan! Ntar kalau mati gimana? Masa belum tua udah mau mati," jawabku memberi alasan.

"Faiz cuma tidur. Ayo, kalian ke langgar sana!" kata Ayah memerintah. 

Sesaat mata ayah mengarah pada kami. Kemudian beliau kembali sibuk mengobati kepala Faiz.

"Ayo ... ayo ke langgar!" Ibu ikut memerintah. Beliau berjalan ke arah lemari pakaian yang ada di kamarku, lalu membukanya. 

Dari dalam lemari, Ibu mengambil sarung dan menyerahkannya pada kami.

"Ayo buruan! Ntar telat salat berjama'ahnya," ucap Ibu, tangan beliau mendorong pelan pundak kami.

Aku dan Kakakku melangkah menjauh dari ranjang mengikuti dorongan tangan ibu. Telapak tangan ibu tetap menempel di pundak kami sampai kami berada di pintu kamar. 

Sebelum berlalu, aku sempatkan melirik Faiz yang masih terbaring di atas ranjang. 

Aku melihat ada gerakan turun naik dari perutnya yang tertutup sarung. Tanda bernapas! Hatiku sedikit lega, ternyata Faiz memang tidur. 

Bukan pingsan!

Sekembali dari langgar, kulihat Faiz masih tidur. Ada perban di kepalanya, dia telah memakai pakaian walau masih beselimut.

Kata Ayah luka Faiz tidak parah, cuma karena luka itu dibagian kepala, jadi darahnya cukup banyak. 

Aku tidak boleh mengganggu Faiz, karena dia butuh istirahat. Akhirnya sampai masuk waktu Isya, aku hanya bisa memandang wajah Faiz dengan penuh iba. Hatiku selalu berdoa agar Faiz segera sembuh.

Ketika aku pulang dari langgar selesai menunaikan ibadah salat Isya, Faiz telah bangun. Terlihat dia lagi makan disuapin Ibuku.

"Faiz sudah bangun?" tanyaku sambil melempar senyum padanya. Faiz berkelit, dan dia selamat dari lemparanku. Eh!

Hanya anggukkan yang dia berikan dengan mulut sibuk mengunyah makanan yang ada di dalamnya. 

"Jangan ajak dulu Faiz bicara, dia lagi makan!" kata Ibu memperingatkan aku.

Akirnya aku duduk di sisi ranjang bersebelahan dengan Faiz. Ibu juga menyuapkan aku. Jadilah kami makan bersama dengan disuapin Ibu bergantian.

"Kenapa kepalamu sampai berdarah gitu?" tanyaku ketika Ibu keluar menarok bekas makan kami ke dapur.

"Dipukul Ibu pakai gayung," jawab Faiz berbisik.

"Sakit?" tanyaku lagi. Faiz tidak menjawab, dia menunduk memandang jarinya yang sedang dia mainkan. 

Terlihat wajahnya bersedih dengan mata sayu. Mungkin karena pukulan Ibunya memang menimbulkan rasa sakit, tapi Faiz tidak mau mengungkapkannya. 

"Makanya, kamu tinggal di sini aja bersama aku! Kita bisa main bersama, belajar bersama. Kata Ayah, nggak lama lagi aku kan masuk esde. Sama dengan kamu, makanya dari sekarang kita harus belajar membaca. Ayah kamu kan lagi merantau, maka kamu belajarnya sama Ayah aku aja. Bareng aku dan Kak Naufal," bujukku.

'Bagaimana kalau aku pas di sini, Ayahku pulang?" tanya Faiz.

"Ayahmu pasti menjemputmu ke sini," jawabku.

"Iya, di sini aja tinggalnya. Nanti kalau Ayahmu pulang, pasti dia akan ke sini." Suara Ibu mengalihkan pandangan kami ke arah pintu. Terlihat Ibu beriringan dengan Ayah memasuki kamar. 

Ibu duduk di sisi ranjang sebelah Faiz dan Ayah duduk pas berhadapan dengan Faiz, setelah beliau meraih kursi yang ada dekat meja belajarku.

"Kapan Pak De mau mencari Ayah?" tanya Faiz dengan tatapan lurus ke arah Ayahku.

"Nanti akan Pak De cari, ya?" jawab ayah lembut.

"Aku ikut sama Pak De mencari Ayah," pinta Faiz.

"Ya, nanti kalau Faiz sudah sembuh."

"Tapi ini sudah tidak sakit." Faiz memegang perban yang ada di kepalanya.

"Tapi lukanya belum kering, Nak. Nanti kalau telah kering baru Faiz ikut Pak De mencari Ayah." Ibuku ikut menasehati Faiz.

"Aku juga ikut mencari Ayah Faiz, ya, Bu," usulku yang di iyakan oleh Ayah. Ibu tersenyum, Aku juga tersenyum. Faiz pun ikut tersenyum.

"Bu De, ajak juga Ibuku tinggal di sini. Di sana Ibu selalu di bentak Om Darto. Kasihan Ibu, menangis terus, ijinkan aku dan Ibu tinggal di sini sampai Ayah pulang," kata Faiz menghiba pada Ibuku.

Wajah Faiz terlihat murung dengan mata berkaca-kaca ketika mengatakan itu. 

Kegembiraan yang ada dihatiku tadi berubah menjadi sedih demi melihat sahabatku.

"Walah ... Nak, Nak! Dalam keadaan seperti ini, kamu masih tetap memikirkan Ibumu. Belum kering darah di kepalamu, Nak." Suara Ibu terdengar serak. Sambil berkata kepala beliau menggeleng-geleng. Mata ibu pun terlihat berkaca-kaca seperti mata Faiz.

"Iya, nanti Pak De akan bicara pada Ibumu," jawab Ayah menanggapi keinginan Faiz. Kemudian Ayah bangkit, mengajak Ibu keluar.

"Dun, kira‐kira salahku apa sama Ayah, ya? Hingga Ayah nggak pulang-pulang?" tanya Faiz ketika Ayah dan Ibuku telah di luar.

Aku menggeleng, karena aku memang tidak tahu apa kesalahan Faiz pada Ayahnya.

"Apa karena aku suka minta jajan sama Ayah?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng. Rasanya tidak mungkin, karena Faiz jarang jajan.

"Aku janji, Dun. Aku tak akan minta jajan sama Ayah lagi, biar Ayah tidak meninggalkanku lama‐lama seperti ini," lanjutnya.

"Iya, nanti kalau mau jajan pakai uangku saja," jawabku sambil melingkarkan tangan di belakang leher Faiz. Aku merengkuhnya untuk memeluk. 

Faiz membalas pelukanku. Entah kenapa dadaku terasa sesak, ingin rasanya menangis. 

Aku juga sedih bila Ayahku telat pulang. Apa lagi di tinggal selama itu. Dalam hati aku berdoa, semoga Ayah Faiz cepat kembali.

Malam ini tak banyak yang bisa kami bicarakan. Faiz tidak lagi seperti Faiz yang dulu ... yang ceria ... yang suka becanda.

Kini dia telah berubah menjadi Faiz yang pendiam, Faiz dengan rona wajah penuh kesedihan dan suka bengong.

Faiz ... kembalilah seperti dulu, kembalilah menjadi sahabatku yang ceria.

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
yenyen
sedih iihh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status