Share

ULTIMATUM MAS DARTO

KAPAN AYAH PULANG 

BAB KE :  4

ULTIMATUM MAS DARTO 

18+

POV :  TINA

"Tidak bisa lagi, Tina! Aku tidak bisa lagi bertahan di sini. Aku sudah tidak memiliki pekerjaan, aku tidak bisa hidup tanpa uang, sementara semua simpananmu telah habis. Mencari pekerjaan di sini, jelas aku tidak mampu ... mau cari kerja di mana? Apa lagi sikap masyarakat sini yang selalu sinis terhadap kita, membuat aku semakin tidak betah. Setelah kamu memukul Faiz sampai berdarah, pasti mereka semakin tidak senang terhadap kita. Lihatlah, betapa bencinya tatapan Mas Kemal waktu itu. Bisa saja orang tidak waras seperti dia menggor*k kita suatu saat. Kalau kamu masih kekeh tetap ingin tinggal di sini, terserah! Aku akan kembali ke kampungku sendiri. Itu artinya rumah tangga kita bubar!"

Ultimatum Mas Darto siang tadi membuat aku gelisah. Walau kantuk telah menyerang namun mata tidak mau terpejam. 

Mungkin hal itu yang membuat kepalaku selalu berdenyut, hingga mendatangkan rasa sakit dan pusing. 

Sementara di sampingku Mas Darto telah tidur dengan pulas. Dengkurnya yang keras membuat denyutan di kepala ini semakin menjadi. 

Ya, memang sudah berapa bulan ini Mas Darto jadi pengangguran. Proyek yang dia kerjakan telah selesai, sementara bosnya belum mendapatkan proyek baru.

Sudah berapa kali dia mengajakku pindah ke kampungnya. Tapi aku menolak. Bukannya aku tidak mau, tapi aku tidak bisa membawa Faiz keluar dari kampung ini.

Dulu Ayah Faiz mau menulis surat talak untukku, dengan syarat Faiz dan aku tidak boleh meninggalkan kampung ini. 

Bahkan Ayah Faiz mengijinkan aku dan suamiku nanti, untuk tinggal di sini. Rumah warisan dari orang tua Ayah Faiz. 

Semua itu dia lakukan agar Faiz tidak kehilangan kasih sayang Ayah dan Ibunya. 

Dia rela pergi dan menyerahkan rumahnya untukku demi anaknya. Di rumah ini dia lahir dan dibesarkan dan dia ingin di rumah ini pula Faiz dibesarkan.

Menurutnya, Faiz telah cocok dengan lingkungan sini, maka Faiz harus dibesarkan di kampung ini. Dia juga tidak ingin Faiz kehilangan kasih sayang seorang ibu. 

Maka karena itulah aku harus tetap di rumah ini. Bahkan bila aku telah menikah, maka suamiku harus mau tinggal di sini.

Ayah Faiz memilih pergi merantau. Katanya dia akan menegok Faiz tiap bulan. Tapi, sudah lebih satu tahun. Jangankan pulang, berkabar pun tidak.

Kini Mas Darto meultimatum untuk pindah ke kampungnya. Tentu Faiz harus aku bawa. Lalu, bagaimana cara membawanya? 

Pasti aku akan berhadapan dengan Mas Kemal, yang menurutku, dia adalah manusia tidak waras. Berhadapan dengan manusia seperti itu bisa berujung petaka.

Aku dan Mas Darto bukanlah penduduk asli sini. Aku berasal dari desa Bukalele, sedangkan  Mas Darto berasal dari kampung Karang Cemara, dia datang ke sini sebagai pekerja.

Kebijakan wajib belajar yang dicanangkan pemerintah, direalisasikan dengan membangun sekolah di sejumlah daerah. 

Di daerah ini dibangun sebuah sekolah dasar. Posisinya di desa sebelah, dekat pasar. Namanya SD INPRES. Pekerjanya sebagian besar datang dari daerah lain. Salah satu dari mereka adalah Mas Darto.

Lewat Sartini aku berkenalan dengan Mas Darto. Sartini adalah temanku yang beralih profesi sebagai penjual kopi, dia memiliki warung dekat pasar yang tidak jauh dari proyek yang sedang dikerjakan Mas Darto. 

Di warung Sartini, Mas Darto suka nongkrong bersama teman-temannya.

Aku katakan Sartini beralih profesi, karena dulunya pekerjaan kami sama. Kami bekerja sebagai karyawan disebuah tempat yang kami sebut Cafe.

Cafe ala kampung!

Tugas kami menemani lelaki iseng yang menghabiskan uangnya dengan meneguk minuman beralkohol, tapi kami bukan penjaja cinta atau wanita tuna susila.

Kami hanya merayu laki-laki bodoh agar mengeluarkan uangnya untuk membeli minuman dan cemilan yang harganya selangit. 

Tentu pekerjaan seperti itu juga perlu keahlian. Keahlian dalam, bersolek, merayu dan bergenit ria. Kadang suara yang merdu juga dapat menambah cuan. 

Uang tip dari konsumen!

Aku memang suka bersolek, makanya penampilanku selalu kinclong. Bangun tidur, pertama yang aku lakukan adalah bersolek.

Jelas beda dengan mak-mak sekarang, yang kalau bangun tidur langsung memplototi layar gawai. Senyam senyum nggak jelas dengan masih memakai daster tadi malam. Saking asiknya main hape, sampai nggak sadar kalau di pipi masih ada bekas iler.

Hiiiiii....

Pekerjaan kami berakhir, ketika kami kena razia dalam sebuah operasi.  Operasi pengentasan penyakit masyarakat namanya, yang dilakukan oleh aparat terkait. Tentu saja police sebagai garda terdepannya.

Kami ditangkap dan dibina. Dibina agar bisa bekerja dan berkarya. 

Waktu itu pemerintah lagi getol-getolnya mencanangkan padat karya ... entah apa itu? Selentingan aku dengar, tujuan padat karya, adalah untuk mengkaryakan masyarakat, agar bisa bekerja dan mandiri dengan harapan dapat me‐entaskan kemiskinan.

Setelah diproses, aku dijatuhi hukuman untuk dibina. Aku dikirim ke sebuah kecamatan di Kota Kabupaten dan ditempatkan di sebuah home industri. Di sini aku dididik membuat kerajinan yang terbuat dari batok kelapa.

Mas Thoriq salah seorang yang mensuplai batok kelapa itu. Kami kenalan dan sering bertemu.

Mas Thoriq orang yang baik dan sedikit pendiam, tapi dia betah mendengar ceritaku. Mungkin karena itu aku senang sama dia. 

Banyak cerita yang aku sampaikan padanya. Bahkan segala keluh kesah aku tumpahkan pada Mas Thoriq. Termasuk ketidak betahanku bekerja di home industri ini.

Entah kenapa, Mas Thoriq tiba-tiba melamarku. Dari pada menua belajar bikin kerajinan dari batok kelapa dan aku tak bisa-bisa. Akhirnya, lamaran Mas Thoriq aku terima dan kamipun menikah. Hasilnya ... lahirlah Faiz.

Awalnya rumah tangga kami berjalan dengan baik. Tapi lama-lama aku merasa jenuh. Mungkin karena kampung ini terlalu sepi menurutku. Mayoritas warganya petani dan buruh di pabrik genteng.

Begitupun dengan Mas Thoriq, setelah berhenti mensuplai batok kelapa, dia memilih bekerja di pabrik genteng. Pergi pagi pulang menjelang magrib.

Hasilnya memang cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tapi aku tidak begitu senang Mas Thoriq kerja di pabrik genteng. Bukan apa-apa! Aku hanya merasa malu saja punya suami kuli dan tiap hari bergelut dengan tanah.

Gengsi dong!

Sebenarnya Mas Thoriq punya kebun peninggalan orang tuanya. Tapi Mas Thoriq tidak berminat menjadi petani. 

Kebun yang dulunya penuh pohon pepaya digantinya dengan tanaman tua seperti petai, jengkol dan duren. Alasannya biar gampang mengurusnya dan tidak perlu ke kebun tiap hari. 

Menurutnya, menanam pohon tua seperti itu ibarat punya tabungan yang suatu saat bila panen, hasilnya cukup banyak. 

Pohon-pohon itu baru satu kali berbuah, hasilnya belum memuaskan menurut Mas Thoriq. Karena itu baru buah pertama, jadi tidak terlalu banyak yang dapat dipanen. Mungkin pada musim berikut hasilnya akan lebih banyak.

Uang dari hasil panen itu, semuanya kami belikan emas. Itulah perhiasan yang selama ini aku pakai. Namun sayang, semua perhiasan itu sekarang telah habis. Terjual sejak Mas Darto tidak bekerja. 

Satu-satunya perhiasan yang aku miliki sekarang hanyalah seuntai kalung. Berapa kali Mas Darto memaksa untuk menjualnya, tapi aku selalu menolak. Karena kalung ini adalah mas kawin dari Ayahnya Faiz.

Kejenuhan itu semakin mendera sejak Faiz telah bisa main sendiri. Hampir seharian dia berada di rumah Dudun anaknya Mas Kemal. Kebetulan keluarga itu juga sayang sama Faiz.

Sepi sendiri di rumah, benar-benar membuat aku galau.

Tapi, bukan Tina namanya. Kalau tidak bisa mengambil kesempatan dalam kegalauan.

Keakraban Faiz dengan Dudun adalah celah bagiku untuk bisa ngerumpi dan ketawa-ketiwi sama sohibku. 

Sartini!

Setelah Mas Thoriq berangkat kerja, aku menitipkan Faiz ke Ibu Dudun. Setelah itu aku pergi ke warung Sartini. Tentu saja sebagai istri yang baik, aku tidak lupa minta ijin sama Mas Thoriq.

Mas Thoriq mengijinkan saja, karena dia memang tipe suami yang tidak suka bersu'uzon ria sama istri. Apa lagi dia punya prinsip, kebahagiaan anak istri adalah kebahagiaannya juga.

Nah, di warung Sartini inilah aku berkenalan dengan Mas Darto. Orangnya rapi, supel dan pintar bicara. Dia juga terkenal tegas terhadap anak buahnya. Maklumlah dia mandor yang membawahi berapa puluh pekerja.

Sejak kenal dengan Mas Darto, aku semakin sering bertandang ke warung Sartini. Dan, entah karena sering bertemu, aku merasa tenang dan damai bila ada di sampingnya. Hati ini rasanya selalu smiriwing alias adem-adem nyos bila berhadapan dengan Mas Darto.

Indah waktu itu.

Ketegasan Mas Darto sangat berbanding terbalik dengan suamiku yang suka mengalah dan anti ribut. Sungguh tidak jantan menurutku. Jadi tidak salah dong kalau akhirnya aku jatuh cinta sama Mas Darto.

Satu lagi yang membuat Mas Darto memiliki nilai lebih, yaitu tongkrongannya. Kemana-mana dia selalu pakai motor GL 100. Motor gede di kendarai orang gede.

Kereennn!

Beda jauh dengan ayah Faiz bahkan dengan warga kampung sini, yang rata-rata cuma punya sepeda ontel.

Kebahagiaan yang luar biasa aku rasakan, saat berboncengan dengan Mas Darto dengan motor itu. Sehingga membuat aku kecanduan.

Tak jarang aku merajuk mengajak Mas Darto untuk sekedar jalan-jalan. Tentu saja Mas Darto mengikuti kemauanku.

Karena rasa suka dengan Mas Darto, dan 'si yayang' itu mau menikahiku, akirnya aku ambil keputusan untuk berpisah dengan Ayah Faiz.

Habis masa Idah, aku menikah dengan Mas Darto. Kami dinikahkan oleh seorang penghulu secara sya'ri, tidak pakai pesta.

Masalah baru muncul setelah proyek Mas Darto selesai.  Motor yang aku banggakan itu ternyata milik perusahaan kontraktor tempat Mas Darto bekerja. Terpaksa harus dikembalikan.

Kepalaku mulai pusing setelah keuangan Mas Darto menipis dan habis sama sekali. Perhiasanku mulai terjual satu persatu. Aku mulai kesal, tapi tidak bisa melampiaskannya pada Mas Darto. 

Dia jadi pemarah dan tak segan main tangan. Walau begitu, aku tetap berusaha mempertahankan rumah tangga kami.

Cuma terkadang aku merasa sedih, sebab kekesalanku sering tertumpah pada Faiz.

Seperti peristiwa waktu itu. Seharian aku ribut dengan Mas Darto. Sorenya Faiz bikin kesal, jadilah gayung mendarat di kepalanya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status