Share

MENYESAL

MENYESAL

BAB KE 5

POV  :  TINA

"Belum tidur?"

Lamunanku dibuyarkan oleh suara Mas Darto. Aku menggeleng setelah menoleh ke arahnya.

"Kenapa?" tanyanya, lalu menggeliat. Terdengar suara gemeretuk dari tubuhnya, mungkin dari tulang persendian yang beradu.

Dia bangun dan duduk bersandar di sisi ranjang. Akupun ikut bangun dan melakukan hal yang sama. Kini kami duduk sejajar sambil bersilonjor.

"Aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan," jawabku sambil merapikan rambut.

"Soal rencana mau pergi ke kampung aku itu?" tanyanya menebak.

"Iya, aku seperti menghadapi buah simalakama."

"Kenapa harus begitu? Itu kan cuma pilihan! Kamu boleh memilih apa yang kamu inginkan. Kalau mau ikut bersamaku, ayo! Kalau tidak, aku tidak memaksa!"

Aku menunduk mendengar suara Mas Darto yang meninggi. Sekali lagi hatiku tergores kesedihan. Bukan dari nada suaranya yang tinggi. Tapi dari rangkaian kata yang keluar dari mulut Mas Darto.

Dari kalimat yang dia ucapkan, seakan aku ini tak ada arti baginya. Mungkin dia menganggap aku bukan manusia yang memiliki perasaan. Atau bukan seorang istri yang memiliki hak untuk diperlakukan dengan baik.

Sungguh berbeda dengan Mas Thoriq, yang setiap ucapannya selalu dia jaga dan penuh perasaan. Tak pernah sekalipun ucapannya membuat hatiku bersedih. Malah, akulah yang selama ini selalu bersikap kasar padanya.

Menyesal?

Tentu!

Tapi nasi sudah jadi bubur. Memang seperti itulah fitrah manusia. Penyesalan selalu datang terlambat.

Di saat Mas Thoriq menjadi suamiku, semua kebaikkannya seperti tertutup dari mataku. Hanya kelebihan Mas Darto lah yang selalu hadir dalam hati ini.

Tapi, kini baru kusadari betapa besarnya ketulusan hati yang dimiliki Mas Thoriq. Betapa baik sikapnya terhadapku dan anaknya selama ini.

"Kenapa diam? Atau kamu telah memutuskan akan tetap tinggal di sini? Kamu tau apa artinya itu?!"

Kepala Mas Darto berputar ke arahku sambil kembali bertanya, sekaligus mengingatkan akan ancaman yang dia ucapkan siang tadi.

"Bagaimana dengan Faiz?" tanyaku.

"Ya, terserah kamu. Kalau dia kamu bawa bersama kita. Ya, silahkan! Kalau tidak, juga tak apa-apa."

"Mustahil dia tidak kubawa. Dia anakku! Sementara Ayahnya entah di mana!" balasku agak keras, ada kesal di dada ini mendengar jawaban Mas Darto. Seolah-olah dia tidak menganggap kalau Faiz itu adalah darah dagingku, yang lahir dari rahimku.

"Kalau begitu bawa aja. Dari siang tadi aku katakan, kalau aku tidak melarang dia ikut bersama kita. Apa tidak masuk dalam kupingmu apa yang ku katakan?!" kata Mas Darto ... pedes!

"Tapi, Ayahnya tidak mengijinkan dia keluar dari kampung ini," terangku.

"Apa urusan dengan dia! Sejak dia pergi, apa pernah dia memberi nafkah anaknya? Apa pernah dia mengunjungi anaknya? Jangankan mengunjungi, berkabar pun tidak! Ijin macam apa yang diperlukan dari Bapak tidak bertanggung jawab seperti itu!" ucap Mas Darto ketus.

"Tapi waktu itu, dia tidak akan memberikan surat talak, bahkan tidak akan menceraikan aku seandainya aku tidak mau tinggal di sini bersama Faiz," aku mencoba menjelaskan kembali, walau hal ini telah pernah ku ceritakan pada Mas Darto.

"Mana ada aturan seperti itu! Kalau sudah talak, artinya sudah selesai. Dia tidak bisa lagi mengatur hidupmu."

"Tapi, saya sudah berjanji, Mas!" potongku dengan alis bertaut.

"Persetan dengan janji mu itu! Kalau sudah cerai, ya cerai! Tak ada lagi yang namanya janji!" Suara Mas Darto kembali meninggi.

Aku hanya diam dan berpikir. Menimbang apa yang harus ku lakukan. Mustahil rasanya aku harus berpisah dengan Mas Darto, apa lagi aku harus tetap tinggal di kampung ini dengan status janda dua kali. Tak terbayangkan bagaimana tatapan orang nantinya terhadapku.

"Faiz harus kita bawa, tapi bagaimana cara membujuknya agar mau ikut dengan kita? Lalu, apa yang harus kukatakan pada Mas Kemal dan istrinya? Bagaimana kalau Mas Kemal tidak mengijinkan Faiz kita bawa?" tanyaku beruntun setelah hatiku memutuskan ikut Mas Darto dan membawa Faiz ikut serta.

"Tak usah kamu bilang kalau kita mau pergi. Ajak saja Si Faiz pulang dengan bermacam alasan. Setelah itu kita pergi dari sini dengan diam‐diam," jawab Mas Darto.

"Kita kabur?" tanyaku sedikit ragu.

"Apapun namanya itu, yang penting kita pergi dari sini, tanpa ada yang tau. Emang kamu kira si Kemal itu akan membiarkan kamu membawa Faiz dari sini?" Mas Darto menatap ke arahku, terlihat ada raut kekesalan di wajahnya.

Batinku membenarkan apa yang dikatakan Mas Darto. Apa yang direncanakannya tadi adalah ide yang teramat bagus.

Aku akan menjemput Faiz, dengan alasan kangen, khawatir atau apa saja, asal Mas Kemal mengijinkan Faiz kembali ke sini.

Tapi, bagaimana kalau Faiz tidak mau di bawa ke kampung Mas Darto? Rasanya Faiz memang tak akan mau. Bukankah selama ini dia masih menunggu dan berharap ayahnya akan pulang? Aku menjadi bingung.

"Bagaimana kalau Faiz nya tidak mau ikut kita?" Akhirnya hal itu kutanyakan pada Mas Darto.

"Kenapa harus bilang kita akan ke tempat saya. Katakan padanya kalau kita pergi untuk mencari Ayahnya," jawab Mas Darto.

Sekali lagi, ide Mas Darto cukup cemerlang. Ya, dengan alasan seperti itu, tentu Faiz akan senang sekali. Hatiku menjadi lega, besok kami tinggal menjalankan rencana.

****

Ada degup tak menentu di dadaku ketika langkah ini semakin dekat ke rumah Mas Kemal. Entah karena takut, atau apa. Yang jelas hati ini berdebar dan setiap detak jantung seakan membuat tubuh ini bergetar.

Takut?

Rasanya iya, tapi aku juga pernah merasakan takut disaat Mas Darto main tangan terhadapku. Namun detak dan getar jantung, tidak seperti yang ku alami sekarang.

Apakah ini terjadi karena aku berniat untuk membawa Faiz dengan cara berbohong? Atau karena memang takut sama Mas Kemal? Apa lagi ketika ingat kata-katanya waktu itu. Bagaimana kalau amarah Mas Kemal belum mereda? Bisa habis aku!

"Ihhhh...," aku bergidik!

Ah, rasanya Mas Kemal tak setega itu. Dia tak akan berbuat sesuatu yang menyeramkan.

Mungkin semua yang kurasakan ini terjadi karena aku akan bertemu Faiz. Pertemuan pertama setelah aku melukai kepalanya?

Tok, tok, tok!

Pintu kuketuk sambil mengucapkan salam. Salamku  dijawab dari dalam. Itu suara Mas Kemal, yang membuat wajahku terasa dingin, seolah darah enggan mengalir ke sana.

Mungkin Mas Kemal telah kembali dari langgar selesai melaksanakan salat Isya.

"Eh, Tina! Ayo masuk!" ucap lelaki itu setelah membuka daun pintu.

Raut wajahnya yang bersih dan bercahaya membuat kegundahan di hatiku sedikit berkurang. Berarti kemarahannya telah reda atau mungkin dia telah melupakan kejadian dua hari lalu.

"Terima kasih, Mas," jawabku merenspon sambutan Mas Kemal. Kakiku melangkah melewati pintu.

"Owh, Tina, toh! Mari masuk!"

Mbak Hamilah, istri Mas Kemal ikut menyambutku. Walau tanpa senyum, namun ada keramahan di wajah wanita itu.

Setelah dipersilakan, aku duduk di sebuah kursi di ruang depan rumah semi permanen itu.

Mas Kemal duduk di depanku. Sementara itu istrinya berlalu meninggalkan kami, setelah berpamitan kepadaku.

"Bagaimana keadaan kamu, Tina?" tanya Mas Kemal datar, setelah kami saling diam beberapa saat.

Ada kekakuan yang aku rasakan sehingga membuat mulutku seperti terkunci sebelum Mas Kemal bertanya tadi.

Padahal, akulah seharusnya yang pertama bertanya, setidaknya bertanya tentang keadaan Faiz, anakku.

"Aku baik-baik saja. Bagaimana keadaan Faiz, Mas? Aku ke sini ingin bertemu Faiz. Aku kangen sama dia," jawabku.

Entah kenapa ketika mengatakan kangen terhadap Faiz, suaraku seperti serak dan ada sesak di dada yang membersitkan rasa haru.

Penyesalan kembali menoreh hatiku. Kenapa tangan ini begitu enteng menyakiti anakku yang belum genap tujuh tahun itu.

"Faiz baik-baik saja! Luka di kepalanya sudah kering. Walau lukanya tidak parah, tapi sikap kamu itu sangat berbahaya. Tak pantas hal itu dilakukan oleh seorang Ibu. Semarah‐marahnya pada anak, cukup pukul kakinya! Jangan bagian pantat ke atas, apa lagi kepala!" jawab Mas Kemal sambil memberi wejangan.

Tak ada raut kemarahan di wajahnya, suaranya datar walau sedikit agak berat.

"Aku memang salah, Mas! Aku kilaf," jawabku penuh penyesalan.

Jujur ... aku memang sangat menyesal.

Bersamaan dengan jawaban itu, Mbak Hamilah muncul dengan baki berisi gelas dan sebuah toples.

"Silahkan minum dan makanannya di cicipi."

Mbak Hamilah menawarkan, setelah menata gelas dan toples itu di atas meja.

Kemudian dia duduk di sebuah kursi yang berada di sebelah suaminya. Posisi kami berhadapan dan dipisahkan oleh sebuah meja kayu berukir.

Sebenarnya aku sering datang ke rumah ini ketika masih menjadi istri Mas Thoriq. Waktu itu biasa-biasa saja. Seperti ke rumah saudara sendiri layaknya. 

Tapi kali ini, ada yang berbeda aku rasakan, agak kikuk!

Setelah mengucapkan terima kasih, aku meraih gelas yang ada di depanku. Kemudian meminumnya berapa teguk. Lumayan ... rasa kikukku mulai berkurang.

"Aku sangat kangen sama Faiz," ucapku pelan setelah mengembalikan gelas ke asalnya.

"Faiz ada di kamar Dudun," ucap Mas Kemal, "bawa Faiz ke sini, Bu!" lanjutnya sambil menatap Mbak Hamilah.

Wanita itu bangkit dan bergerak menuju kamar Dudun yang terletak di bagian paling belakang.

Menunggu Faiz datang, dadaku kembali bergemuruh. Antara cemas dan rindu.

Rindu ingin memeluk, tapi cemas, takut Faiz tidak mau menerima kehadiranku....

"Ibu...!"

Teriakkan Faiz terdengar dari kamar Dudun, bersamaan dengan suara langkah anak berlari. Mataku mengarah ke ruang tengah.

Reflek aku berdiri ketika melihat Faiz muncul dari kamar Dudun.

"Ibuuuu!" Teriakkan Faiz semakin kencang bersamaan dengan isaknya. Bocah itu menangis.

Aku semakin tak kuat menahan haru, tanpa mempedulikan Mas Kemal yang duduk di depanku. Aku berlari menyongsong Faiz.

"Faiz!" teriakku serak. Setelah kami bertemu, aku berlutut di depannya, merangkul dan memeluk putraku itu.

Kami beperlukan, tangis Faiz pecah dan air mataku pun tak terbendung.

"Ibu tidak apa-apa, kan? Om Darto tidak memarahi Ibu, kan? Aku sedih bila Ibu dimarahi Om Darto! Kasihan Ibu," ucap Faiz di sela-sela tangisnya.

Tangan Faiz erat memeluk tubuhku, begitupun dengan aku. Beberapa kali mata ini ku usapkan di bahu Faiz, demi melap air mata yang mengalir dari sana.

Tubuhku berguncang, aku tak kuat lagi menahan sedan ini. Tangisku pun pecah dalam pelukan Faiz.

"Ibu jangan menangis ... Ibu jangan menangis ... aku sedih bila Ibu menangis ...," suara Faiz dalam tangisnya, membuat aku ingin meraung.

Menangislah, Nak! Tapi jangan keluarkan kata-kata itu. Sungguh tak kuat hati Ibu mendengarnya.  Ibu yang seharusnya bertanya keadaanmu, bukan sebaliknya.

Sebesar apakah sayangmu terhadap Ibu, Nak? Sehingga rasa kasihan lah yang terucap dari mulutmu untuk Ibu ... rasanya sudah tak pantas Ibu yang telah melukaimu, untuk kamu kasihi ... kenapa Ibu yang kamu larang menangis, sementara air mata justru membanjiri pipimu dalam ratap dan sedu sedan.

Nak, hentikan suaramu, hentikan tangismu ... kata‐kata dan tangismu, membuat Ibu semakin terpuruk dalam penyesalan ... maafkan Ibu Sayang ... maafkan Ibu!

Ingin ku ucapkan kalimat itu, namun mulut ini terkunci, tak mampu mengeluarkan kata, hanya isak tangis yang menggema.

Sayang ... begitu sucinya kasihmu untuk Ibu!

Begitu tingginya perhatianmu untuk Ibu!

Sementara Ibu?

Ah, entahlah!

Bersambung.

   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status