Share

KEINDAHAN BERSAMA IBU

BAB KE  :  7

KEINDAHAN BERSAMA IBU

Malam itu Faiz di lepas dengan lambaian tangan oleh keluarga Mas Kemal.

"Hati-hati di sana ya, Faiz! Kalau Om Darto melotot, kabur aja ke sini!" teriak Dudun dalam isak, ketika Tina dan Faiz baru berjalan berapa langkah.

Jelas teriakan Dudun itu membuat keki hati Tina. Bocah ini benar-benar tukang hasut kelas berat, batin Ibu Faiz tersebut.

"Iya, Dun!?" balas Faiz dengan teriakan juga. 

Dia menoleh ke belakang sambil melambaikan tangan.

Dengan cepat Tina meraih tangan Faiz, meraih dengan lembut dan tak melepaskannya. Sehingga mereka berjalan sambil bergandeng tangan.

Peringatan Dudun mungkin karena rasa persahabatan yang kental antara mereka. Rasa takut akan terjadi sesuatu yang buruk terhadap Faiz.

Apa lagi hati Dudun sedang dipenuhi oleh rasa khawatir. Khawatir tidak akan bertemu lagi dengan Faiz ... khawatir Faiz akan di pelototin Om Darto dan khawatir bila Faiz kembali dipukul Ibunya. Dudun tak ingin Faiz luka dan berdarah lagi seperti kemaren.

Dulu Dudun juga pernah luka. Tergores oleh ranting waktu main kejar-kejaran. Tidak berdarah! Tapi perihnya luar biasa. Sampai Dudun berteriak-teriak memanggil Ibunya sambil menangis.

Apa lagi berdarah seperti Faiz!

Dudun membayangkan betapa sakitnya dipukul Ibu pakai gayung. Sehingga membuat kepala Faiz jadi luka dan berdarah. Bahkan rambut Faiz pun juga berdarah. Mungkin rambut Faiz juga ikut luka karena gayung itu, pikir Dudun.

Hal inilah yang membuat Dudun terus terisak. Perut serta dadanya turun naik karena sedu sedan.

Rasa sedih juga dirasakan Faiz, apa lagi melihat Dudun belum juga lepas dari sedu sedannya. Tak tega rasanya hati Faiz meninggalkan Dudun.

Tapi, rasa sedih itu terkikis oleh genggaman tangan Ibu. Faiz melirik jemari Ibu yang memegang pergelangan tangannya. Kemudian pindah menggenggam telapak tangan Faiz. 

Mereka berjalan bergadengan dengan telapak tangan saling menempel. Betapa bahagianya hati Faiz, karena malam ini dia berjalan di gandeng Ibu dengan lembut. 

Sesuatu yang belum pernah terjadi!

Kebahagiaan yang menyelimuti hati Faiz mampu menggerakkan bibirnya. Gerakan itu membentuk seulas senyum. Senyum tulus seorang bocah, senyum yang teramat indah.

Masih dengan senyum yang dikulum, Faiz melirik wajah Ibunya. Kebetulan Tina juga sedang melirik ke arah Faiz. Mata mereka bertemu. Tina membalas senyum Faiz, genggaman-nya semakin erat, langkah Tina pun semakin mantap.

Senyum Tina membuat hati Faiz semakin bahagia. Terasa ada kedamaian yang merasuk ke dalam jiwanya, persis seperti saat dia bergandeng tangan bersama Ayah. Kini, Faiz menyadari ternyata Ibu sama baiknya dengan Ayah.

Sekali lagi Faiz melirik genggaman tangan mereka. Hatinya terasa damai melihat keindahan dua telapak tangan itu saling menyatu. 

Telapak tangan Faiz dan Ibu!

Genggaman itu terasa erat, karena dikokohkan oleh jari-jari mereka yang saling menaut. 

Faiz memperlambat langkahnya, biar tak terlalu cepat sampai di rumah. Dia ingin lebih lama lagi menikmati keindahan ini. 

Keindahan bersama Ibu!

Sekali lagi Faiz melirik wajah Ibunya, tapi mata mereka tidak lagi saling bertemu. Karena wajah Sang Ibu sedang fokus ke depan, menatap jalan yang diselubungi gelapnya malam. Walau ada bias dari cahaya lampu penerangan jalan, namum pedarnya tak merata. 

Mungkin karena jarak tiang lampu penerangan itu terlalu jauh dari tiang satu ke tiang lainnya. Belum lagi gangguan dari rimbunnya dedauan dari pohon yang tumbuh sepanjang jalan gang ini. Membuat cahaya semakin bias.

Setelah melirik Ibu, Faiz menarik tangan-nya pelan ke atas. Ujung tangan Tina pun terangkat, tapi Tina membiarkan, bahkan sampai sejajar dengan wajah Faiz.

Perlahan Faiz menempelkan punggung tangan Tina ke pipi. Faiz merasakan ada hangat yang mengalir dari punggung tangan itu. Hawa hangat yang membahagiakan. Faiz meresapinya dan ingin menikmati lebih lama. 

Dia ingin kehangatan itu selalu ada. Kehangatan kasih sayang seorang Ibu. Kehangatan yang selama ini dia rindukan.

"Faiz, kedinginan?" tanya Tina sambil melirik anaknya.

"Tidak," jawab Faiz sambil menggeleng dengan senyum malu-malu.

Gelengan Faiz membuat pipinya bergesekkan dengan punggung tangan Tina. Gesekan itu dirasakan Faiz seperti sebuah belaian. Belaian dari Ibu yang belum pernah dia terima.

Faiz semakin menekankan punggung tangan Tina ke pipinya, sehingga membuat pipi Faiz tenggelam dan melebar. Dia berharap kehangatan itu selalu mengalir dari tangan Ibunya.

Sebenarnya apa yang dilakukan Faiz membuat langkah Tina agak terganggu. Tapi dia sengaja membiarkan, agar hati Faiz tetap nyaman bersamanya.

Ada sesuatu yang dirasa oleh Tina dengan sikap Faiz itu. Rasa kasihan, ternyata anak lelakinya sangat manja. Tapi kemanjaan itu tidak pernah diberikan oleh Tina. Selama ini dia terlalu acuh terhadap Faiz.

Ada guratan penyesalan yang muncul di hati Tina. Penyesalan karena tidak bisa memperlakukan Faiz dengan semestinya. Memperlakukan selayaknya anak kecil yang butuh perhatian, butuh kasih sayang, bahkan butuh untuk di manja.

Dalam hati, Tina mengutuk dirinya, mengutuk sifatnya yang tidak bisa menyayangi anak kecil. Apa lagi anak laki-laki.

Di mata Tina, anak laki-laki itu sangat bandel, menyebalkan bahkan bikin sakit hati. 

Ya, sakit hati!

Tina pernah mengalami rasa sakit hati itu. Sakit hati terhadap seorang bocah laki-laki. Sudah lama, namun masih membekas di hati. 

Bocah laki-laki yang dilahirkan Ibu tirinya. Kelahiran bocah itu telah membuat status Tina sebagai anak tunggal  tamat.

Tidak hanya itu, adik tirinya yang baru lahir itu, juga  merampas semua kasih sayang Bapak. Kehadirannya membuat Tina tersisih. Tersisih dari perhatian Bapak kandungnya sendiri.

Semakin lama, Tina merasa semakin tersisih.

Tina kesal, marah dan menjadi anak yang pembangkang. Keributan dengan Bapak pun tak dapat dihindari. Keributan itu membuat Tina tak betah. Tak betah di rumah dan tak betah di sekolah. 

Bolos dan nongkrong menjadi kebiasaan baru Tina. Belajar bukan lagi prioritas, akirnya dia tinggal kelas. Jelas saja Bapak marah. 

Kemarahan Bapaknya di balas oleh Tina dengan keluar dari sekolah, yang membuat Tina gagal mendapatkan ijazah sekolah menengah atas.

Keluarnya Tina dari sekolah membuat Bapak semakin marah, jatah jajan di stop, tak ada lagi uang yang mengalir ke kantong Tina. Sebagai hukuman! Hukuman akan dicabut, bila Tina kembali ke bangku sekolah lagi.

Bukanya kembali ke bangku sekolah, Tina malah membalas dengan mencari uang sendiri. 

Untuk mendapatkan cuan dan sekaligus menabuh gendrang perang dengan Bapak. Tina memilih bekerja sebagai pelayan di sebuah warung remang-remang. 

Melayani lelaki bodoh pecandu alkohol.

Sebagai seorang pegawai di kantor kecamatan. Tentu apa yang dilakukan anak gadisnya membuat malu sang Bapak. Pekerjaan Tina ibarat menoreh arang di kening beliau. 

Bapak murka!

Tina diberi dua pilihan. Berhenti kerja di tempat itu dan kembali sekolah atau enyah dari kampung. Dasar Tina memang keras kepala! Dia malah memilih yang kedua.

Enyah dari kampung! 

Hal itulah yang membuat dia sampai di daerah ini. Menekuni pekerjaan yang sama. Melayani lelaki dungu pecandu miras.

Ingat masa lalu, semakin membuat hati Tina bersedih. Ada bening hangat di matanya yang siap tumpah. Namun Tina berusaha untuk membendungnya.

Masa lalu yang kelam! 

Tapi Tina tidak bisa belajar dari masa lalu itu. Sifat manja, keras kepala dan ingin diperhatikan masih melekat di dirinya. 

Sehingga meredupkan iman yang ada di hati dan membuat terbelenggunya akal oleh emosi. Akibat dari itu, terabaikanlah kasih sayang untuk anak sendiri.

Tina kembali melirik Faiz, bocah itu masih asik menikmati hangatnya punggung tangan Tina, melangkah dengan langkah pendek khas ala bocah yang sedang riang gembira.

Ingin rasanya Tina memberikan kebahagiaan untuk Faiz, kebahagiaan yang sempurna seperti yang diinginkan Mas Thoriq. 

Tapi dia sudah terlanjur melangkah. Langkah yang sulit untuk ditarik mundur. Dia tidak lagi memiliki pilihan, selain maju bersama Darto.

Tiba-tiba langkah Faiz terhenti, membuat Tina pun menghentikan langkahnya. Peganggan tangan Faiz mengendor, kemudian melepaskan tangan Ibunya.

 

Mata Faiz menatap lurus ke depan, menatap sebuah rumah. Rumah mereka. Ada keraguan di hatinya untuk kembali ke rumah itu.

"Ayo," ajak Tina sambil menarik lembut lengan Faiz.

"Apakah Om Darto sudah tidur?" tanya Faiz pelan. Ada keraguan dan kecemasan yang mengalir di hati Faiz.

Kecemasan itu jelas tersirat di wajahnya, bola mata Faiz yang bening mengarah ke wajah sang Ibu. Menatap, mengharap agar Ibunya menjawab 'sudah'.

"Tidak apa-apa! Om Darto sekarang sudah baik ... sudah tidak suka marah lagi! Ayo kita jalan!" jawab Tina sekaligus membujuk Faiz. 

Tina memahami kegundahan yang ada di hati anaknya itu. Dia mencoba melepaskan senyum untuk memberi ketenangan pada Faiz. Kemudian Tina kembali menarik lengan Faiz.

Ternyata jawaban Tina tidak sesuai dengan harapan Faiz. Walau kecewa, Faiz tetap menuruti ajakkan Ibunya.

Faiz mengayun langkah mengikuti Tina, walau keraguan dan kecemasan masih membekas di wajah bocah itu.

Dalam hati Faiz merasa bingung dengan sikap Om Darto. Berbagai pertanyaan muncul di sana. Kenapa Om Darto  masih menginap di sini? Kenapa dia tidak pulang-pulang? Kok nginapnya lama sekali?

Padahal Faiz juga numpang nginap di rumah Dudun kemaren, tapi tak selama Om Darto numpang nginap di sini. Baru dua hari Faiz sudah di jemput Ibu.

Tapi, perasaan. Om Darto di sini sudah berhari-hari. Bahkan Faiz tak bisa menghitung sudah berapa banyak harinya. 

Sejak habis lebaran, sampai sekarang sudah mau puasa. Om Darto tidak juga pulang-pulang. 

Kenapa Ibunya tidak menjemput, ya? Seperti Ibu Faiz yang segera menyusul ke rumah Dudun. Apakah Om Darto tidak punya Ibu? Batin Faiz.

Entah kenapa, langkah Faiz terasa berat untuk memasuki rumahnya sendiri. Rumah yang tidak lagi mendatangkan rasa  nyaman sejak di tinggalkan Ayah.

Seandainya Ayah yang berada dalam rumah saat ini, pasti Faiz yang akan mengetuk pintu. Pasti Faiz tak sabar menunggu kemunculan Ayah di hadapannya. Dan, jika Ayah telah membuka pintu, Faiz akan langsung melompat ke pangkuan Ayah. 

Menumpahkan kerinduan, karena sudah terlalu lama dia berada rumah Dudun ... dua hari!

Tapi sayangnya....

Saat ini Ayah tidak ada, yang ada hanya Om Darto.

Begitupun kerinduan yang di pendam Faiz untuk Ayah, bukan hanya dua hari. Sudah terlalu lama ... sudah berhari-hari, sejak Ayah pergi!

Bersambung

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status