Share

Part 6 Karena Mbak Leha Mereka Berubah

"Jangan teriak-teriak! Emang kamu siapa memerintah aku? Urus saja istrimu agar mulutnya juga berpendidikan." Aku tak akan tinggal diam lagi. Selama ini diam dan diam. Ia lelaki tapi mulutnya seperti ....

Seketika mata mas Jaka membelalak. 

"Kamu!" Mas Jaka menujukku. 

"Iya, Mas. Mulut istrimu sudah sangat keterlaluan menghina kami. Termasuk kalian semuanya!" 

Ya Tuhan, kali ini mas Bayu berani menjawab lantang, sebelum mas Jaka memperpanjang ucapannya. Hingga ia beralih melotot ke suamiku.

"Berani kamu berteriak padaku!" Mas Jaka membalas menghardik suamiku.

"Iya, lagian jika kami tak bersaudara dengan kalian tak masalah. Toh persaudaraan ini seperti tuan dan majikan." Kuperjelas dengan nada kesal.

"Tuh! lihat sendiri, Mas. Baru punya duit har*m aja sudah sok." Inur mengompori suaminya.

"Memalukan, aku yang punya uang tapi kok kamu yang sewot?" Tentu kuucapkan sambil tersenyum sungging. Berusaha tenang agar bisa membalas ucapan mereka. 

"Aku juga nggak yakin ia punya uang banyak. Jangan harap kami menahan kepergian kalian supaya bisa dapat penghormatan di rumah ini!"

Dengan angkuhnya mas Jaka bicara seolah kami akan minta maaf jika digertak. Secuil pun aku tak akan pernah tunduk pada mereka. Jika aku tak salah kenapa harus takut, toh ini uang halal yang kudapat dari hasil menulis, bukan mencuri ataupun menipu orang lain.

"Usir aja, Mas," hasut Inur.

"Jangan Jaka! Bayu tetap di rumah ini." Ibu mertua kenapa menahan?

"Bu, mereka yang pilih pergi kenapa repot nahan, sih? Lagian juga bakalan balik lagi. Kita usir pasti mereka ke sini lagi. Aku yakin itu, Bu." Stela berucap jika kami pasti tunduk padanya. 

"Tenang aja, tanpa diusir kami pasti pergi," jawabku tanpa ragu.

"Assalamu'alaikum." Tiba-tiba mbak Leha datang. Pintu dibiarkan terbuka hingga ia langsung melangkah masuk.

Mendadak semuanya terdiam melihat ke arah mbak Leha.

"W*'alaikumsalam, Mbak," jawabku.

"Jadi kan, Rin?" tanyanya.

"Jadi, Mbak. Lagian aku udah telpon kan?" jawabku. 

Kemarin saat nutup warung, mbak Leha datang beli garam. Waktu itu hanya aku di warung karena seperti biasa membersihkan sampah sebelum warung ditutup. Kukatakan uang yang dipinjam akan segera diganti karena menunggu pencairan hasil dari menulis. Sebagai bukti kuperlihatkan penghasilan beserta nama akun aku di aplikasi tersebut. Pembicaraan itu disambut antusias mbak Leha karena ia salah satu pembaca tetap di aplikasi dan group f******k tenteng menulis membaca novel. Tak menyangka, ia salah satu pembaca setiaku.

Kebanyakan dari penulis baru memasang foto profile bukan foto wajah asli. Seperti aku contohnya, memasang foto tanaman dan nama akun diambil dari nama anakku. Itulah kenapa tak ada yang tahu kehidupan pribadiku.

"Hey Leha, mau nagih hutangmu yang dilebihin, katanya banyak uang dari nulis, kayak orang berpendidikan aja," cerocos ibu mertua.

"Idih Bu Ida ini mulutnya kok kayak gitu ke mantunya, seharusnya Ibu beruntung punya mantu yang bisa melakukan sesuatu pake otak meskipun tamat SMP. Aku salah satu penggemar tulisan Rina, loh."

Lagi, mereka tertawa meremehkan aku, seolah tak percaya yang diucapkan mbak Leha.

"Apa maksud Mbak Leha? Seperti dia Mbak kagumi? Helooo, Mbak punya mata nggak sih." Sudah kesekian kali Stela merendahkanku, dan bahkan jariku tak cukup menghitungnya.

"Hey, Stel, hanya orang yang hobi baca yang tau. Kamu suka baca nggak?" balas mbak Leha.

"Aku nih kuliah dan berilmu, baca apapun pasti bisa lah."

Berilmu tapi bahasanya ..., Astagfirullah'alaziim. Hanya bisa mengurut dada mendengar cara bicara adik iparku yang berpendidikan.

"Bukan bisa bacanya yang kubilang. Tapi suka baca cerbung atau novel online nggak?"

"Oooh, mm ya nggak, siih," jawab Stela terdengar ragu.

"Aku suka baca malah. Itu mah bacaanku setiap malam, bahkan gabung di group f* khusus baca novel. Jangan kira aku ketinggalan ya, Leha." Inur menimpali seakan ia juga hobi membaca cerbung.

Semuanya terlihat menyimak dengan pemikiran masing-masing.

"Hey hey hey! Kalian ngomong apa sih?" Dipastikan mas Jaka tidak nyambung dengan pembicaraan ini.

"Mbak Leha, ini uangnya." Kuberikan uang tiga ratus ribu sesuai janji.

Tak ada yang menanggapi pertanyaan mas Jaka.

"Makasih ya, Rin. Tapi aku nggak minta lebihin, loh." Mbak Leha menerimanya dengan senang.

"Ini keinginanku, Mbak. Makasi ya Mbak bersedia meminjamkan uang. Hanya Mbak yang mau meminjamkan. Alhamdulillah aku bisa bayar dan bukan sedang mimpi punya uang." Ini sindiran untuk mereka.

"Sama-sama. Aku percaya kamu bisa bayar makanya kupinjamkan. Oh ya, ntar ajarin aku nulis juga ya, biar dapat uang seperti kamu, Rin. Nggak nyangka deh cerbungnya laris hingga dapat uang belasan juta di satu aplikasi."

"A-apa? Makasudnya apa sih, Leha?" Ibu mertua tercengang dan kelihatan masih belum mengerti.

"Aku nggak percaya kalau dia penulis. Mana buktinya? Kalau yang lain tak hobi baca aku bisa maklum kalian bohongi, tapi tidak dengan aku. Aku juga suka baca cerbung dan juga sering beli koin buat baca bab cerita." Inur masih belum yakin dengan ucapan mbak Leha tentang aku bisa menulis cerbung.

"Oh ya? Berarti kita sama ya, Nur. Aku mah juga sering beli koin buat baca cerita. Koin murah meriah dan masih terjangkau, ya. Baca di aplikasi apa?"

"Ntar kubuktikan." Lalu Inur fokus memencet ponselnya.

"Benaran Rina dapat duit dari nulis cerita, Leha?"

"Iya, Bu Ida," jawab mbak Leha.

"Kok bisa? Lagian ia hanya tamat SMP."

"Bu Ida, tamat SMP bukan berati bodoh loh, jangan remehkan pendidikan seseorang. Yang terlihat buruk dari luar belum tentu buruk, begitu pun sebaliknya."

Ibu mertua langsung melirikku. Stela dan mas Jaka juga masih menyimak.

"Ini, lihat dan buktikan sendiri kalau aku tau apa yang kalian berdua bicarakan." Inur mengulurkan ponselnya ke mbak Leha.

"Wah! aplikasi yang sama dengan tempatmu menulis, Rin." Mbak Leha melirikku sekilas. "Nah ini dia, kategori cerita terpopuler bulan ini, lihat nih, ini cerbungnya Rina, Nur." Ponsel itu diberikan lagi ke Inur.

"Cerbung ini? Nggak mungkin, ini salah satu penulis baru pavoritku. Jangan mengada-ngada, Leha. Nggak mungkin deh ini Rina. Lah namanya saja nama lelaki." 

"Mana, Mbak, coba kulihat." Stela ikut melihat layar ponsel Inur.

"Ini, Stel. Lihat tuh tulisannya, nggak mungkin kan itu Rina yang nulis. Lah dia nggak punya laptop." Inur menujuk layar ponselnya.

"Oooh, iya iya, dari tulisannya aja seperti kuliah bidang menulis. Mereka pasti bohong agar kita menghormatinya."

"Mbak Leha, makasi sekali lagi. Mudah-mudahan lain kali kita masih bisa bertemu." Lalu kugendong Raka keluar yang diiringi mas Bayu.

Terlihat mereka masih berbincang dan aku pun tak peduli. Bagiku sekarang balik ke rumah ibu dan mulai merintis warung. 

"Rin, biar kubawa tas ini. Kamu gendong saja Raka ke tepi jalan."

"Iya, Mas," jawabku, lalui melangkahkan kaki ke tepi jalan untuk menyetop angkot.

Mas Bayu berusaha mengangkat satu tas. Ada dua tas. Dan diangkat satu dulu karena kondisinya.

Sampai di tepi jalan, terlihat ramai angkot lalu lalang. Hanya saja banyak yang penuh. Namun aku belum menyetop lantaran tas dan kardus barang masih belum dibawa ke sini.

"Ini tasnya, tinggal satu lagi, Rin." Mas Bayu meletakkan satu tas. Sementara kardus barang juga masih di teras rumah.

"Biar aku yang angkat lebihnya, Mas. Kamu di sini aja sambil pegangin Raka."

Akan memakan waktu lama, jika aku menghandalkan mas Bayu mengangkat satu tas lagi dan kardus barang. Kuputuskan jika aku yang mengambilnya. 

"Iya, Rin." Lalu mas Bayu memegang tangan Raka agar tak lari ke jalan raya. Aku pun mulai kembali ke teras mengambil tas dan kardus barang.

Akan tetapi, terlihat mereka semuanya berdiri di teras menatapku. Rasa tak enak dan mungkin akan ada perdebatan lagi. Aku sudah siap menghadapinya. Mau mereka mengusir kasar atau mencaci, akan terpaksa kudengar karena ini hari terakhirku di rumah ini. 

"Rina, kamu yakin mau pergi?" Tiba-tiba ibu mertua bertanya. Namun nadanya terdengar lebih baik.

Aku diam tak menjawab. Tas dan kardus barang sasaran mataku karena ingin segera meraihnya.

"Rina, jika kalian ingin tetap di rumah ini juga tak masalah." 

Astaga, mas Jaka terdengar menawarkan atau menahanku?

"Tapi ia sudah menamparku, Mas," bisik Inur yang bisa kudengar.

"Diam, Nur," tegur mas Jaka ke istrinya.

"Oke! Kamu kumaafkan, Mbak," tukas Stela hingga membuatku menoleh padanya.

"Apa? Kamu memaafkanku?" tanyaku balik.

Inur terlihat cemberut. Namun ia tak berani menghadapiku lantaran ditegur suaminya. Entah apa maksud mas Jaka.

"Iya, bukankah kamu kakak iparku juga?"

Tumben Stela mengatakan 'kakak iparku'.

"Kamu salah, aku nggak minta maaf sama kamu? Jadi nggak perlu merasa kamu memaafkan aku. Aneh, ngakunya berpendidikan tapi nggak ngerti mana bahasa minta maaf." Kali ini aku mencoba sedikit membalas.

"Dasar ...." Stela terlihat emosi dengan jawabanku.

"Diam, Stela!" Ibu mertua langsung mencubit Stela hingga ia tak jadi membalas kata-kataku. Tumben ibu mertua melarang putrinya menghinaku.

"Tapi, Bu."

"Diam!" Gigi ibu mertua bertaut sambil melotot ke Stela.

"Uuuh!" Seketika Stela langsung berlari ke dalam rumah.

"Rina, sebaiknya kita bicarakan semua baik-baik. Kalian mau ke mana? Lihat, Bayu juga kesulitan jika kalian pergi."

Ow ow ow! Mas Jaka terdengar sangat baik. Ada apa dengan mereka?

"Iya, Rina. Toh kita bisa hidup rukun di rumah ini. Saling mendukung untuk kemajuan." Ibu mertua terdengar bersahaja. Astaga, mereka berubah seratus delapan puluh derajat.

"Maksudnya apa, ya?" Aku bertanya untuk meyakinkan ucapan mereka. Tas sudah kujinjing beserta kardus barang.

"Kembalilah ke kamarmu. Rapikan barang-barangmu dan mari kita bicara di dalam," ajak ibu mertua.

"Hah?" Tentu aku terkejut mendengarnya.

"Rina, aku balik dulu ya. Nanti kalau tak jadi pergi aku ke sini lagi minta ajarin menulis cerbung. Seandainya penghasilanmu tetap sebesar ini perbulannya, aku yakin hanya waktu enam bulan saja kamu bisa beli mobil. Oke Mbak Author-ku, aku pulang dulu, ya." Mbak Leha berpamitan, lalu melambaikan tangan sambil tersenyum, berlalu pergi.

Ooh, aku mengerti. Jadi mbak Leha menjelaskan semuanya hingga ibu mertua dan kakak iparku berubah baik. Dan mereka berharap aku tak jadi pergi. Astaga, apakah mereka ada maunya?

Bersambung ....

Komen (12)
goodnovel comment avatar
yabansabra 726
baca di aplikasi fissso
goodnovel comment avatar
Dede Angel
kalau disini harus pakai koin tapi kalau di apk sebelah g pakai koin bisa baca sampai tamat
goodnovel comment avatar
Mutoha
ceritanya bagus tapi ko lumayan mahal 20 koin per bab
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status