Share

Madu yang Kupilih untuk Suamiku
Madu yang Kupilih untuk Suamiku
Penulis: Rinz sugianto

Awal kisah rumah tanggaku

Kisah ini sebenarnya tak pernah kuharap terjadi dalam rumah tanggaku. Aku Marina Zanita Zafran dengan suka rela menerima pinangan pria pilihanku yang usianya dua tahun lebih tua dariku. Pria itu adalah Pratama Hardinata atau yang akrab disapa Tama. Ia merupakan Kakak tingkatku, dan kini usianya memasuki dua puluh tujuh tahun. Sedangkan aku memasuki usia duapuluh lima tahun. Pernikahan kami berjalan normal, damai dan bahagia, meskipun terkadang batu kecil menghiasi perjalanan cinta kami. Hal tersebut bisa aku maklumi, ku anggap itu hanyalah bumbu penyedap dan ujian dalam rumah tangga.

Waktu menunjukan pukul tiga dini hari, kami terbiasa bangun untuk melaksanakan sholat malam. Hingga menunggu waktu sholat subuh tiba.

Pagi yang cerah di langit Yogyakarta, Mas Tama bersiap untuk mencari nafkah.

"Dek, kamu bikin sarapan apa?" tanya suamiku dengan mesra.

Aku pun menjawab pertanyaan dari siamiku itu. "Ayam goreng sama Nasi goreng Mas."

Kemudian aku berbalik bertanya padanya dengan nada sedikit memanja. "Mas mau sarapan dulu atau mandi dulu?"

"Mandi dulu saja Dek," kata Mas Tama mencium keningku mesra dan bergegas menuju kamar mandi.

Sembari mas Tama mandi, aku pun beranjak menuju kamar untuk menyiapkan kemeja, dasi serta celana bahan miliknya. Tak lupa aku siapkan tas kerjanya di meja kamar.

Terlihat suami tampanku ini selesai membersihkan badan, aroma khas sabun favoritnya semerbak tercium olehku sesaat setelah ia memasuki tempat peraduan kami.

"Mas aku sudah siapkan baju di kamar," teriaku dari kamar.

Jemariku menjamah dasi di atas kasur, kemudian dengan lembut, aku rangkai pada kerah baju suamiku.

"Dek kamu mulai besok resign aja dari perusahaan tempatmu kerja. Kamu fokus sama program hamil yang sempat kita bahas kapan hari," kata suamiku membelai rambutku.

"Iya mas," jawabku tersenyum.

Sebagai seorang istri aku mencoba menuruti perintah suami, karena setelah menikah dia lah surgaku bukan ibuku lagi. Setelah itu kami menuju meja makan untuk sarapan.

"Dek ayam nya enak," puji suamiku.

"Masa sih Mas? Ini bumbunya asal lho, renacana nya tadi mau aku masak opor. Tapi males ribetnya, pagi-pagi lagi," ucapku tersenyum.

Imamku itupun menjawab. "Serius, enak kok Dek."

Suamiku nampak menikmati hidangan yang ia santap.

"Mas, aku nanti mau ke dokter kandungan," sambungku.

"Jam berapa Dek? Nanti mas yang antar," ucap Mas Tama.

"Nggak usah mas nanti aku di temenin Mama," ucapku.

"Beneran nggak apa-apa?" kata Mas Tama mencoba memastikan.

"Iya Mas nggak apa-apa," kataku meyakinkan suamiku.

Tiba saat nya suamiku berangkat ke kantor, ia mempunyai bisnis properti ̉yang omsetnya lumayan.

"Dek, aku berangkat dulu ya," suamiku.

"Iya mas," jawabku.

Tanganku pun menjamah tangan Mas Tama dan mencium punggung tangan kanan nya. Ia segera mengemudikan mobil menuju kantor.

Tiba-tiba tedengar suara getar dari handphone ku, terlihat nama Mama di layar ponselku.

"Assalamualaikum Mah," kataku.

"Waalaikumsalam Rin, nanti jadikan ke dokter?" tanya Mama.

"Iya Mah, Rina siap-siap dulu ya," jawabku.

"Iya sayang," jawab Mamaku.

Kami pun menyudahi obrolan singkat via telepon dan aku segera merias diri. Sebagai orang tua aku tahu Mama begitu mengharapkan aku segera memiliki momongan. Tak hanya sekali dua kali, beliau sering berucap ingin segera menimang cucu. Apalagi diriku adalah anak tunggal dan ini tahun ketiga pernikahanku dengan Mas Tama.

Tak berapa lama mobil Mama terlihat di depan pagar rumahku. Aku memasuki mobil mencium kedua pipi dan mencium tangan Mama.

"Rin, gimana kalau ke rumah sakit tempat Om Dian bekerja. Mama dapat info kalau di sana ada dokter spesialis kandungan yang bagus," saran Mama memegang pundak kananku.

"Iya Mah, Rina nurut," kataku.

Tak lupa aku menelpon Mas Tama untuk meminta izin.

"Assalamualaikum Mas, aku udah di jemput Mama. Aku berangkat ya," pamitku.

"Iya sayang, hati-hati ya," jawab suamiku lembut.

Setibanya di Rumah Sakit, kami bergegas menemui Om Dian kebetulan Mama dan Om Dian sudah membuat janji. Kami pun segera menjumpai menemui adik mamaku itu.

"Assalamualaikum, apa kabar Om?" sapaku pada Om Dian.

"Alhamdulillah baik Rin, kamu bagaimana kabarnya?" tanya Om Dian.

"Alhamdulillah Rin juga baik," jawabku.

Beliau pun segera mengantar kami menuju ruangan doker yang ia maksud.

Tok tok tok, Om ku mengetuk pintu ruangan dokter tersebut.

"Pagi Dok, ini keponakan saya yang kemarin saya ceritakan," kata Omku.

"Silahkan masuk," kata dokter perempuan tersebut.

Kami pun memasuki ruangan dan duduk di depan dokter.

"Oh iya, perkenalkan saya dokter Liza," ucap sang dokter mengulurkan tangan nya padaku dan Mama.

Sang dokter memberikan beberapa pertanyaan untukku dan bibirku menjawab dengan jujur.

"Mari saya coba periksa," ajak dokter Liza menuju tempat tidur.

Ia segera memulai memeriksaku dan selesai berbaring kami kembali menuju kursi untuk melanjutkan diagnosis.

Sang dokter mulai menjelaskan langkah apa yang harus aku tempuh.

"Bu Rina nanti USG dulu ya, setelah selesai bawa hasilnya kemari," ucap sang dokter.

"Baik dok," ucapku.

Mama dan Om Dian segera mengantarku, mereka yang mengurus pendaftaran untuk USG. Kebetulan pasien ibu hamil hari ini tak begitu padat, namaku pun segera dipanggil untuk memasuki ruang khusus USG.

"Ibu Marina Zanita Zafran," panggil receptionist.

Kaki ku pun segera melangkah menghampiri receptionist tersebut.

"Ibu silahkan masuk," ucap receptionist.

Kepalaku hanya mengangguk dan badanku sedikit gemetar, rasa cemas tak bisa tertutupi pada raut wajah ini.

Langkahku mulai ragu untuk memasuki ruangan itu, ketakutanku mulai menggebu.

"Rin, kamu kenapa?" tanya Mama cemas.

"Nggak apa-apa Mah," jawabku.

"Kamu yang rileks Rin. Nggak di apa-apain kok," ucap Om ku.

"Silahkan berbaring Bu," kata petugas.

Dengan sedikit perasaan cemas, aku pun berbaring dan petugas segera melakukan prosedur USG.

"Sudah bu, hasilnya bisa di tunggu ya," ucap sang petugas.

Kami pun menunggu dibangku yang di sediakan di depan ruangan itu.

"Ibu Marina, ini hasilnya," kata pelayan memberikan hasil USG.

Tanganku gemetar menerima hasil USG tersebut dan ketakutanku semakin menjadi.

Kami bergegas kembali menuju ruangan dokter Liza, namun beliau tidak ada di tempat.

Om Dian dengan sigap menuju receptionist.

"Far, dokter Liza kemana ya?" tanya om Dian kepada receptionist yang diketahui bernama Fara.

"Dokter Liza ada operasi mendadak Pak, tadi berpesan kalau Bu Rina bisa kembali lagi besok," ucapnya.

"Oh gitu," jawab Om Dian.

Mendengar percakapan mereka, kami pun berpamitan pulang.

"Kami balik dulu ya Om," pamitku.

"Oh iya, hati-hati ya," ucap Om Dian.

Dalam perjalanan pulang aku penasaran dengan hasil USG yang aku jalani. Tak terasa tibalah kami di depan rumahku.

"Rin, besok kamu ke rumah sakit sama Tama ya," ucap Mama.

"Iya Mah," jawabku.

"Yaudah Mama balik dulu ya, Assalamualaikum," pamit Mamaku.

Langit mulai menggelap, pertanda sang siang akan menjelang malam dan suara mobil suamiku sudah terdengar.

"Assalamualaikum," ucap suamiku.

"Waalaikumsalam," jawabku.

Kakiku segera melangkah menghampiri tubuh suamiku.

"Oh iya Dek, gimana hasilnya?" tanya imamku.

"Tadi aku di suruh USG, tapi waktu mau ngasih hasil USG ternyata dokternya ada operasi mendadak. Jadi aku di suruh balik besok," jawabku.

"Oh gitu, yaudah besok aku antar kesana," ucap suamiku.

"Baru aja aku mau bilang minta antar ke rumah sakit," kataku tersenyum.

Suamiku tersenyum memandangku dan memeluk tubuhku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status