Share

Keresahan dan kesedihanku

Pagi yang cerah di langit Jogja, hari ini suamiku meliburkan diri dari pekerjaannya. Ia bermaksud ingin menemaniku ke rumah sakit sesuai dengan janjinya.

Ku ulurkan hijabku dengan balutan riasan tipis di wajahku. Terlihat Mas Tama sudah bersiap menungguku di ruang tamu.

"Mas kita sarapan dulu yuk," ajakku.

"Ayo Dek," ucap Mas Tama.

Tangan kekarnya membelai lembut rambutku dan menggandeng erat tanganku. Kami segera menuju meja makan untuk sarapan.

"Mas mau sarapan pake lauk apa?" tanyaku.

"Telur bali aja Dek, sama kerupuk ya," jawab suamiku.

"Nggak mau pakai ayam mas?" tanyaku lagi.

"Enggak Dek," jawab Mas Tama lembut.

Tanganku segera meraih piring dan menyajikan hidangan untuk suamiku.

Nampak suamiku dengan lahap menyantap menu yang ku olah pagi ini. Sarapan pun usai, kami duduk sejenak di meja makan. Sesekali Mas Tama tersenyum memandangku.

"Mas, ayo berangkat sekarang?" ajaku menghampiri Mas Tama.

"Ayo sayang," ucap Mas Tama menggandeng tangan mungilku.

Kami bergegas menuju garasi mobil yang berada di sudut sebelah kanan rumah kami.

"Masuk sayang," kata suamiku membukakan pintu mobil.

Aku memasuki mobil dan di susul oleh Mas Tama dari pintu sebelah kanan,"

Mobil mulai berjalan, dan aku dengan perasaan rancu memberanikan diri membuka obrolan.

"Mas jadi kemarin ceritanya aku di suruh USG, waktu aku mau ngasih hasilnya ke dokter dia nya lagi ada operasi." kataku.

"Iya Dek nggak apa-apa, Mas juga pengen nemenin kamu kok," ucap Mas Tama.

"Oh iya Mas, misal ada apa-apa sama rahim aku gimana?" tanyaku menatap Mas Tama.

"Kita cari solusinya bareng-bareng Dek, ini kan kita sedang ikhtiar juga," jawab suamiku santai.

Dadaku agak lega mendengar ucapan yang keluar dari bibir imamku itu.

Sepanjang perjalanan, kami sibuk dengan obrolan-obrolan ringan dan lawakan suamiku. Aku tahu itu hanya untuk menghiburku yang sedang resah.

Akhirnya kami tiba di rumah sakit, Aku mengajak mas Tama menemui Om Dian dulu sebelum mendaftar kembali.

Tok tok tok, aku mengetuk pintu ruangan Om Dian.

"Masuk," terdengar teriakan Om Dian dari dalam ruangannya.

Aku segera membuka pintu dan memasuki ruangan Om ku yang bertugas sebagai staff di rumah sakit tersebut.

"Assalamualaikum," ucapku mencium tangan Om Dian.

"Waalaukumsalam," jawab Omku.

Mas Tama pun bergantian mencium tangan adik kandung Mama itu.

"Apakabar Om?" tanya suamiku.

"Baik Tam, kamu sendiri baik kan?" tanya balik Om Dian.

"Alhamdulillah Tama baik juga Om, lama nggak ketemu ya Om" jawab Mas Tama.

"Iya Tam, kamu sibuk terus sih," jawab Om Dian.

Om Dian mempersilahkan kami singgah lebih lama di ruangannya.

"Oh iya, kalian tunggu disini dulu aja ya. Dokter Liza belum datang," kata Om Dian.

"Baik Om,nggak apa-apa nih kami nunggu disini?" ucapku.

"Nggak apa-apa," sanggah Om Dian.

Kami berdua menunggu dokter Liza di ruangan ini. Tak terasa sejam berlalu di isi dengan obrolan suamiku dan Om Dian.

Dretty drett drett, ponsel Om Dian berbunyi.

Ternyata sebuah pesan singkat mendarat di nomor ponselnya.

"Ayo Rin, dokter Liza sudah ada di tempat," ajak Om Dian.

"Baik Om," kataku.

Om Dian pun melangkahkan kaki dari ruangannya, kamipun mengikuti langkah nya dari belakang.

Tibalah di ruang praktek dokter Liza.

"Selamat pagi dok," sapaku.

"Pagi," jawab dokter Liza tersenyum.

"Silahkan duduk," sambung dokter cantik itu.

Tanganku segera mengambil hasil USG kemarin dari dalam tas selempangku.

"Ini dok hasilnya," kataku mengulurkan amplop yang berisi hasil USG kemarin.

Perasaan cemas mulai mengintaiku, ku tarik nafas dalam-dalam dan berusaha tenang. Sesekali kulihat ekspresi tak enak dari wajah cantik dokter yang berada di depanku ini.

"Bu Rina, berdasarkan hasil USG di dalam rahim ibu terdapat miom," kata dokter Liza.

Seketika tubuhku lemas, denyut nadiku melemah, dan jantungku sejenak serasa berhenti berdetak. Mas Tama berusaha menguatkanku dengan memeluku dan mencium keningku serta memegang erat tanganku. Kuakui support Mas Tama sebagai seorang suami memang patut diacungi jempol.

"Ibu yang sabar, semua penyakit ada obatnya," ucap dokter cantik itu.

"Iya dek, kamu tenang jangan sedih dan panik," sambung suamiku.

Kepalaku tertunduk, penyakit yang selama ini kuduga adalah kista ternyata salah. Penyakit yang kuderita ternyata lebih parah.

Setelah selesai berkonsultasi dengan dokter Liza, kami pun beranjak dari ruang tersebut.

Mas Tama segera menebus resep yang di berikan oleh dokter Liza, kemudian kami kembali menghampiri Om Dian ke ruangan nya untuk berpamitan.

"Assalamualaikum, Om kami pamit dulu ya," ucapku tersenyum.

Kusembunyikan kesedihanku karena aku tak mau keluargaku tahu tentang penyakitku.

"Oh iya? Sudah selesai konsultasinya? Gimana hasilnya?" tanya Om Dian.

"Sudah Om, Rina baik-baik saja," jawab suamiku.

Aku hanya terdiam membisu, lidahku kelu tak kuasa menjawab pertanyaan yang di lontarkan Om Dian.

Di perjalalan dan dirumah, suamiku berusaha menenangkan ku, nampak suamiku tak ada masalah dengan keadaanku. Namun sebagai wanita aku merasa tak sempurna.

"Sayang kamu yang tenang ya, kita pasti akan punya momongan," ucap suamiku.

Bibirku tak mampu berucap, hanya air mata yang tercucur sebagai jawaban atas kesedihanku.

"Dek, kamu jangan sedih lagi dong," hibur mas Tama.

"Aku merasa tidak sempurna mas," jawabku.

"Kamu sempurna buat aku dek," tegas Mas Tama.

"Aku bingung mas, gimana jelasin keadaanku yang sekarang ke keluarga kita," teriaku.

"Jangan mikir kesana dulu, yamg oenting kamu sekarang tenang dulu," kata Mas Tama menenangkanku.

"Yuk masuk, kita udah sampai rumah," ajak Mas Tama.

Ia pun membukakan pintu mobil dan meraih tanganku, tubuh kekarnya menyangga tubuhku yang masih terkulai lemas. Pikiranku masih tak tenang, bayang-bayang tentang penyakit yang kuderita terus menghantui dan meracuni pikiranku.

"Kamu makan dulu ya dek, terus minum obatnya," pinta suamiku.

Aku hanya mengangguk, suamiku segera mengambilkan makan dan segelas air putih untuk ku

"Makan yuk dek, Mas suapin ya," ucap Mas Tama.

"Iya Mas," jawabku sesenggukan.

Lidahku menguyah beberapa suap nasi dari tangan Mas Tama.

"Udah Mas, aku udah kenyang," kataku lirih.

"Yaudah, kamu minum obatnya ya," pinta Suamiku lembut.

"Iya Mas," jawabku.

Tanganku segera meraih obat dan aku mulai membuka mulutku, ku telan sekaligus beberapa obat yang telah di berikan oelh dokter Liza.

"Kamu istirahat ya dek, hari ini nggak usah ngapa-ngapain, Biar Mas aja yang beres-beres," ucap Mas Tama.

"Iya Mas, makasih ya," kataku.

"Yaudah, ayo Mas antar kamu ke kamar," sambung Mas Tama.

Kami pun melangkahkan kaki menuju tempat peraduan kami.

"Kamu istirahat ya, Mas beres-beres dulu," ucap suamiku. Ia segera melangkahkan kaki keluar dari kamar.

Tak biasanya aku mengizinkan suamiku menyeleseikan pekerjaan rumah. Karena menurutku itu adalah tugas seorang istri.

Namun kali ini ku izinkan ia mengambil alih tugasku, karena aku ingin menenangkan hati serta pikiranku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status