Share

Kunjungan ke Panti Asuhan

Pagi yang Indah di kota kelahiranku, lazuardi nampak merah ceria. Sesuai dengan kesepakatan keluarga besar suamiku, hari ini kami akan berkunjung ke panti asuhan. Keluarga suamiku sudah menjadi donatur tetap di panti asuhan tersebut.

Terlihat semua penghuni istana ini sudah berkumpul di ruang keluarga.

"Assalamualaikum semua," sapa ku ceria.

"Wa'alaikum salam," jawab serentak semua penghuni ruang keluarga.

Sudah siap Rin? Kami nunggu kalian dari tadi. Kamu kayak lagi ngerawat anak kecil aja, lama banget. Apalagi nanti kalau kamu udah punya anak, pasti lebih lelet," ucap Mbak Wulan tersenyum.

"Maaf ya lama nunggu kami," kataku dengan perasaan tak enak hati. Meskipun apa yang di lontarkan mbak Wulan itu mungkin hanya sekedar gurauan, tapi jika disangkut pautkan dengan momongan, jatungku rasanya berdebar tak beraturan.

Hatikuku seakan terpekik mendengar perkataan yang keluar dari mulut iparku itu.

Sikap mbak Wulan terkesan labil, dan itu berlaku bukan hanya kepadaku. Terkadang dia bisa bersikap baik dan terkadang dia bisa bersikap sebaliknya. 

Entahlah, aku belum paham dengan watak asli saudar iparku itu. 

"Iya tidak apa-apa, ayo kita berangkat," ajak umi beranjak dari tempat bersandarnya.

Kami pun segera beranjak dari ruang tamu menuju garasi mobil di istana ini. Beberapa mobil anggota keluarga pun tampak terparkir berjajar dengan rapi.

"Rina sama Tama satu mobil sama kita ya," pinta Abi.

"Baik, Bi," jawab Mas Tama menuruti permintaan ayahnya.

"Wulan, kamu sama anak-anak ikut di mobilnya Rara ya," pinta Umi.

"Baik Mah," kata Mbak Wulan menuruti permintaan Mama. Kebetulan Mas Rian hari ini tidak ikut berkunjung dikarenakan kesibukan di kantornya.

Kakiku segera melangkah menuju mobil ayah mertuaku. Imamku mengambil alih kemudi, ia duduk di depan bersama ayahnya. Sedangkan aku duduk di belakangnya menemani ibu mertua.

"Oh iya Rin, kamu program hamil dimana rencananya?" tanya ibu mertuaku membahas program hamil lagi.

"Rencana di Penang Mah, disana banyak.rumah sakit dan dokter yang sudah terkenal dibidangnya " sahut Mas Tama.

"Iya Mah," imbuhku dengan wajah panik.

"Sepertinya umi kamu sudah tidak sabar ingin punya cucu dari kalian," sahut Abi tersenyum menatapa ke arahku dan Mas Tama.

Entah mengapa mendengar obrolan ini hatiku semakin gusar, padahal ini bukan pertanyaan asing yang terdengar di telingaku.

"Iya dong Bi, cucu kita dari Tama sama Rina pasti lucu-lucu," sambung Umi dengan tersenyum.

Wajahku hanya bisa mengeluarkan senyum tipis. Obrolan demi obrolan saling terlempar melalui bibir kami berempat.

"Oh iya Rin kamu sepertinya kurusan, ya?" tanya ibu kandung suamiku.

"Masa sih, Mi?" kilah ku, padahal aku juga merasakan hal itu.

Ternyata mertuaku sangat memperhatikan aku dan tak hanya beliau yang berucap demikian. Memang aku juga merasakan adanya pengurungan pada berat tubuhku.

Tak terasa mobil kami telah tiba di panti asuhan. Terlihat para pengurus panti sudah menyambut kedatangan kami di depan pintu.

"Rina lagi jaga pola makan Mah untuk persiapan program hamil," sahut suamiku berusaha menenangkan keadaan.

"Oh begitu," timpal Umi.

Kehadiran keluarga kami disambut senyum sumringah para penghuni panti. Terlihat semua pengurus panti tersebut sudah menanti kehadiran kami di teras ruang pengurus.

"Assalamualaikum Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Selamat datang di kembali di panti asuhan kami, silahkan masuk," sambut Pak Wawan.

Beliau merupakan kepala atau pemimpin panti asuhan yatim piatu ini semenjak panti ini berdiri.

"Silahkan masuk semuanya," ajak Bu Ratna.

Wanita tersebut merupakan salah satu pengurus di panti asuhan ini.

Kami semua segera memasuki ruang dimana biasa kami mengobrol dan bermusyawarah.

"Acaranya sudah bisa dimulai, Pak?" tanya Mbak Rara sambil menggendong putri bungsunya.

"Sebentar ya Bu, kita minum dulu," ucap Pak Wawan.

"Raya, tolong ambilkan minum sama kudapannya ya," teriak Bu Ratna.

"Baik Bu," ucap seorang gadis dari balik pintu dapur panti.

Dari balik dapur, munculah sesosok wanita anggun dengan balutan pashmina berwarna senada dengan gamis yang ia kenakan.

"Perkenalkan semua, ini Raya keluarga baru di panti ini, Mbak Raya sudah satu Minggu mengabdi di panti asuhan kami," ucap Pak Wawan memperkenalkan gadis ayu tersebut.

"Assalamualaikum, perkenalkan saya Raya," ucap Raya memperkenalkan diri dengan membawa minuman serta kudapan di nampan yang ia bawa.

"Silahkan," sambung Raya.

Entah kenapa pandanganku tertuju pada keelokan paras wanita tersebut.

"Raya cantik ya, sudah berumah tangga?" tanya Mama tersenyum ke arah Raya.

"Terima kasih untuk pujiannya Bu, kebetulan saya masih lajang," jawab Raya tersenyum.

Mendengar jawab Raya Mama dan yang lain tersenyum. Aku masih penasaran dan terpesona dengan aura yang dimiliki Raya.

Setelah menikmati minuman dan kudapan yang dihidangkan Raya, Pak Wawan memberi instruksi jika acara sudah bisa kami mulai.

"Acaranya sudah bisa di mulai, mau kita mulai sekarang?" tanya Pak Wawan.

"Iya Pak, semakin cepat semakin baik. Soalnya kami bawa cucu kami yang masih kecil-kecil takut rewel" jawab Abi menunjuk ke arah cucu-cucu nya.

Kami pun segera menuju aula panti untuk memulai acara yang diadakan keluarga suamiku.

Aku duduk bersama keluarga besar Mas Tama, tepatnya di samping suami serta ibu mertuaku yang baik hati. Sedangkan para pengurus panti duduk di seberang kami. Acara berlangsung lancar sampai selesai.

Setelah pun selesai, mobil Mbak Rara kembali terlebih dahulu menuju rumah karena banyak anak yang berada dalam rombongan mobil tersebut.

Sementara aku dan Imamku masih menemani mertuaku di area panti.

"Rara, kamu sama rombongan pulang dulu saja kan kalian bawa anak-anak," ucap Abi mengarahkan putri sulungnya tersebut.

"Baik, Pah," jawab iparku lembut.

Dari arah kana terlihat raya sedang berjalan, sepertinya ia hendak menuju aula.

"Raya, kamu mau kemana?" tanya Mama antusias.

"Saya mau bantu beres-beres ke aula Bu. Ibu mau saya ambilkan minum atau apa Bu?" ucap Raya lembut.

"Tidak usah, sini duduk sama kami," pinta Umi dengan wajah sumringah.

Sepertinya tak hanya diriku yang terpana dengan pesona yang dimiliki Raya, tampaknya Mama mertuaku juga terlihat menyukainya.

"Kamu asli mana Raya? Kenapa kok mau mengabdi di panti ini kan kamu masih muda? Nggak pengen seneng-seneng dulu sama.teman-teman kamu," tanya Mertuaku lagi.

"Saya asli Jogja Bu, tapi lama di Jakarta. Dulu kuliah sama kerjanya di sana. Saya ingin memenuhi permintaan orang tua saya untuk mengabdi di salah satu panti asuhan anak yatim," jawab Raya menjelaskan.

"Oh begitu, terus kenapa kamu memilih panti ini?" tanya Mama lagi.

"Kebetulan panti ini letaknya tidak jauh dari rumah orang tua saya Bu, jadi saya bisa sekalian merawat ayah saya yang sedang sakit," jawab Raya sedih.

"Sakit apa?" sahutku.

"Gejala stroke Mbak," jawab Raya.

"Kamu umur berapa, Ray?" tanyaku penasaran.

"Saya umur dua puluh tujuh Mbak," jawab Raya lembut.

"Tapi masih imut ya Rin dia," puji mertuaku lagi.

Tiba-tiba obrolan kami terputus oleh ajakan pulang Imamku.

"Sayang ayo pulang," ajak suamiku.

"Bentar lagi sih Nak," tolak Umi.

"Abi mau ke kantor, Mi. Ada urusan urgent," jawab Mas Tama.

Kami pun terpaksa menyetujui ajakan tersebut.

"Raya kapan-kapan disambung lagi ya obrolannya. Saya minta kontak kamu boleh ya," pinta Mertuaku.

"Dengan senang hati Bu," jawab Raya tersenyum.

Mertuaku dan gadis ayu itu pun nampak bertukar kontak sebelum kami meninggalkan tempat ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status