Share

Kupilihkan Madu untuk Mas Tama

Waktu bergulir, tak terasa pagi telah kembali menghampiri. Waktu menunjukan pukul tiga dini hari. Saatnya kami melaksanakan ibadah malam seperti biasa.

"Mas bangun, sholat yuk," bisikku.

Suami ku hanya mengangguk, tak berapa lama matanya mulai perlahan terbuka.

"Jam berapa Dek?" tanya suamiku.

"Jam tiga lebih lima menit Mas," jawabku.

Kami segera beranjak dari tempat tidur dan segera mengambil air wudhu.

"Dek habis sholat malam kita langsung pulang ke rumah gimana?" ajak Mas Tama.

"Jangan deh Mas, nggak enak sama mama," jawabku.

Suamiku mengangguk menyetujui penolakanku. Kami segera melakukan sholat malam dan ibadah yang lain sembari menunggu datangnya waktu subuh.

Tiba-tiba sembelit menghampiri perutku, aku bergegas menuju kamar mandi.

"Mas, aku mau ke kamar mandi sebentar ya," pamitku.

"Iya sayang sekalian wudhu lagi ya, sebentar lagi mau tiba waktu subuh,"ucap suamiku lirih.

"Iya Mas," jawabku singkat menahan perut yang tak karuan ini.

Saat menuju kamar mandi, tak sengaja mataku mengarah ke dapur. Terlihat Mbak Wulan sudah tampak repot memasak. Namun anehnya, aku melihat ia membubuhkan sesuatu dari botol pada beberapa menu makanan tertentu. Perutku yang semakin tak karuan ini pun tak bisa diajak kompromi.

Setelah keluar dari kamar mandi aku segera mengambil wudhu mematuhi perintah suamiku.

Namun rasa penasaran masih menganga di benakku. Akupun menghampiri Iparku bermaksud ingin menanyakan apa yang telah terlihat di mataku tadi.

"Pagi mbak, lagi masak apa?" ucapku.

"Banyak Rin, rendang, ayam goreng, sambel krecek, dan lain-lain." jawab Iparku.

"Banyak banget Mbak, bukannya Mama nggak boleh makan yang mengandung banyak kolesterol ya Mbak?" tegasku.

"Itu Mama udah aku masakin sendiri," jawab iparku menunjukan menu untuk mertua kami.

"Oh gitu, tadi aku nggak sengaja lihat Mbak Wulan seperti bubuhin sesuatu, itu apa ya Mbak?" tanyaku.

"Oh itu suplemen herbal khusus untuk makanan," iparku santai.

" Oh gitu, yaudah Mbak aku nyusul Mas Tama dulu ya," ucapku.

Aku segera menyusul suamiku kembali ke ruang sholat.

Sang surya mulai menyingsing, kini tiba waktunya untuk sarapan. Semua anggota keluarga sudah berjejer di meja makan.

"Sini Rin sarapan," ajak Mbak Rara.

"Iya Mbak," jawabku.

"Lho suamimu mana?" tanya Mama.

"Mas Tama sedang ke kamar mandi Mah," jawabku.

Nampak Mas Tama terburu-buru menuju ruang makan.

"Yaudah makan yuk," ajak Papa.

Masakan Mbak Wulan memang enak, kami sangat lahap menikmati hidangan yang disajikan iparku.

Tepat jam tujuh pagi, aku dan suami memutuskan untuk pulang ke kediaman kami.

"Kami mau balik dulu ya semuanya," pamit suamiku.

"Buru-buru banget sih Tam," kata Mbak Rara.

" Iya baru juga sehari nginap," sahut Mbak Wulan.

"Iya mbak soalnya hari ini aku mau nganterin Rina ngajuin surat resign," jawab suamiku.

"Iya Tam, biar Rina fokus sama program hamilnya" timpal Mama.

Mendengar kata-kata yang terucap dari bibir Mama mertua hatiku kembali teriris, sebagai seorang perempuan Aku merasa sangat tidak sempurna.

" Iya Mah doain kita ya," ucap suamiku.

"Iya Tam," jawab Mama tersenyum.

Aku hanya terdiam mendengarkan obrolan mereka, lidahku tak sanggup berucap sepatah katapun.

Aku dan Mas Tama segera menuju mobil dan Mas Tama mulai mengemudikan mobilnya.

Sesampainya dirumah aku segera membuat surat resign.

"Sayang, ngajuin surat resign nya besok aja," ucap Mas Tama.

"Kenapa nggak sekarang aja mas," tanyaku.

"Aku nggak mau kamu sakit Dek, wajah kamu keliatan capek. Aku mau hari ini kamu istirahat dan jangan lupa minum obat ," ucapnya.

Mas Tama kemudian menghampiriku, badan kekarnya memeluk erat tubuhku yang mulai mengurus.

"Kamu jangan tersinggung ya, aku pengen kamu cepat sembuh," tutur suamiku.

"Nggak apa-apa mas, aku seneng selama ini kamu udah peduli sama aku," jawabku.

"Yaudah aku kerja dulu ya sayang," kata Suamiku.

"Iya mas hati-hati ya," ucapku.

Mas Tama segera mengemudikan mobil, menuju kantornya.

Kuhabiskan waktu untuk beristirahat, sesekali kulihat media sosialku. Di media sosial ramai diperbincangkan topik tentang perselingkuhan.

Aku merasa terpukul mengingat kondisiku yang sangat sulit untuk mengandung, yang aku takut suamiku jatuh ke jurang kenistaan seperti melakukan perselingkuhan. Sementara Mama mertua dan orang tua kandungku pun menginginkan cucu dari kami.

Hatiku mulai gundah, ku terus memeras otaku untuk berfikir.

Kuputuskan menelpon Nayra, teman kecilku yang sampai saat ini masih melajang.

"Assalamualaikum," ucapku dalam sambungan telepon.

"Waalaikumsalam Rin," jawab Nayra lembut.

"Nay, makan di luar yuk," ajakku.

"Oke Rin, kita mau makan dimana?" tanya Naima.

"Di restoran biasanya ya," jawabku.

"Oke," jawab Nayra.

Aku mengajaknya untuk bertemu di restoran yang terletak di jantung kota. Dimana restoran tersebut merupakan salah satu restoran favorit kami.

Segera ku hentakkan tubuhku menuju restoran dengan menggunakan taksi online. Nampak teman kecilku sudah datang terlebih dahulu. "Assalamualaikum Nay," ucapku. "Waalaikumsalam Rin," balas Nayra mencium pipi ku.

"Kok cepet Nay?" tanyaku basa basi.

"Iya kebetulan tadi aku ada acara nggak jauh sini, aku tadi pesan makanan kesukaan kamu kalau kamu pesan lagi silakan," kata Nayra. Kami mulai makan, setela selesai menikmati jidangan aku mulai mencurahkan isi hati yang ku pendam, tentang penyakit dan juga tentang perasaan kedua orang tua kami yang menginginkan cucu. Terlihat jelas dari tatapan sahabatku, ia sangat simpati dengan keadaanku. Ia menggenggam tanganku, kemudian memeluku.

"Sabar ya Rin," ucapnya mencoba menenangkanku.

Diriku pun mulai meminta sesuatu yang mungkin di luar nalar pikiran wanita pada umumnya.

"Nay aku mohon carikan aku madu untuk menjadi istri kedua mas Tama. Kamu punya sepupu yang belum menikah, bukan? Kalau tidak salah namanya Vira. Bukankah, dia seumuran dengan kita?"

Nayra setika melepaskan genggaman itu.

"Maaf Rin, aku tahu kamu terpukul dengan keadaan ini. Tapi menurutku menjadikan sepupuku madumu bukan cara yang tepat," sanggah Nayra.

"Menurut aku itu jalan satu-satunya, Nay. Kalau kamu nggak ngizinin Vira, kamu aja yang jadi maduku," tandasku.

"Jangan gila, Rin. Dan jangan berharap aku mau menjadi sainganmu. Kamu kira aku wanita yang sabar dan rela berbagi suami? Setiap penyakit itu pasti ada obatnya. Bahkan Allah sendiri yang berfirman. Asal kamu yakin sembuh pasti sembuh. Allah itu sesuai dengan prasangka hambanya," ucapnya memberi aku pengertian.

Selesai mencurahkan isi hati kami memutuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku memikirkan wanita yang cocok untuk suamiku. Tiba-tiba pikiranku tertuju pada Raya, wanita cantik yang baru kutemui beberapa hari di panti asuhan. Seketika itu aku menelpon Mbak Rara untuk meminta pendapat.

Saat Aku menelpon Mbak Rara tak kuduga ada Mbak Wulan disampingnya.

"Assalamualaikum, Mbak Rara lagi sibuk?" tanyaku melalui telepon.

"Nggak Rin, kenapa?" tanya iparku.

"Aku mau minta pendapat dari Mbak Rara," Jawabku.

"Soal?" tanya iparku singkat.

"Soal Raya,"jawabku singkat.

"Maksudnya? Kenapa dengan Raya?" tanya iparku lagi.

"Aku pengen Raya jadi maduku Mbak," jawabku pilu.

"Kamu yakin mau jadiin Raya madumu?" teriak Mbak Rara yakin.

Mendengar teriakan Mbak Rara, Mbak Wulan pun segera meraih ponselnya.

"Rin, kamu apa-apa an? Kamu kenapa? Pokoknya Mbak tidak setuju," sahut Mbak Wulan.

"Besok aku kesana mau jelasin semuanya," ucapku.

"Tapi tetap saja Mbak menolak rencana kamu," gertak Mbak Wulan.

Nampaknya Mbak Wulan benar-benar tak akan mengizinkan aku merealisasikan ideku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status