Pagi yang indah terlihat di pantai Seminyak, aroma embun tercium segar menusuk indra penciumanku. Pemandangan elok pun terpampang sejauh mata kami memandang. Rasanya aku ingin tetap berada disini untuk beberapa hari kedepan. Kenyaman sungguh aku rasakan ditempat ini. Aku pun sedikit bebasa basi pada suamiku, "Mas, disini suasananya nyaman sekali ya, aku betah disini,"." Iya Dek, kalau kamu betah disini kita bisa stay disini lebih lama kok," sahutnya. "Serius Mas? Beneran kita boleh lebih lama disini?" ucapku girang. Suamiku pun melemparkan senyum terbaiknya dan berkata,"Tentu saja serius sayang, apa sih yang nggak buat kamu,"Ia memelukku mesra, tarikan nafasnya terdengar jelas ditelingaku. Detak jantungnya pun dapat kurasakan dengan jelas, ketulusannya selalu menyentuh kalbuku. Kebahagiaanku semakin bertambah menerima perlakuan suamiku yang mengistimewakan aku. Sebenarnya bukan kali ini saja ia memperlakukan aku bakal Ratu, namun entah kenapa hatiku terketuk saat kami berlibur
Pagi yang cerah menaungi langit di pulau dewata. Sudah beberapa hari kami menikmati keindahan pesona di daerah Seminyak. Kini saatnya kami beralih menuju Nusa Penida untuk merealisasikan destinasi berikutnya. Pagi ini sepertinya suamiku kelelahan, tak biasanya setelah selesai melaksanakan sholat subuh ia kembali menikmati ranjangnya. Tak hanya itu, selesai melaksanakan sholat tahajud pun ia kembali menarik selimutnya. Padahal biasanya ia melanjutkannya dengan mengaji dan berdzikir hingga menunggu waktu subuh tiba. Kebiasaan bermunajat di sepertiga malam sudah biasa kami lakukan bersama setelah kami menikah. "Mas, Mas sedang tidak enak badan?" bisikku. Suamiku terbangun dan menatapku dengan pandangan sayu,"Tidak Dek, aku hanya kelelahan," jawabnya. "Mandi yuk Mas, hari ini kita akan melanjutkan liburan ke Nusa Penida kan?" ucapku. "Kamu sudah bosan disini Dek?" tanya nya. "Bukan bosan Mas, tapi kan kita harus segera kembali ke Jogja. Kamu kan juga harus kerja," ucapku. "Ya sudah
Masih di hari yang sama, perjalanan kami menuju Nusa Penida dimulai dari pelabuhan Sanur. Tiga puluh menit kami menempuh perjalanan, ditemani oleh keindahan alam semesta yang terpampang di sekitar kami. Ciptaan sang Maha Kuasa yang begitu indah. Birunya awan mempesona mataku, dipadu dengan deburan ombak yang tampak saling mengejar, membuat keelokan di setiap mata yang memandang. "Masya Allah, indah sekali ya Mas," ucapku takjub. "Iya Dek, inilah salah satu bukti kebesaran Allah," ucap Mas Tama. "Oh iya Mas, setelah dari Nusa Penida kita kemana lagi? Sepertinya aku masih ingin ke tinggal lebih lama disini," ucapku. "Terserah kamu Dek, kamu pengen kita kemana Mas akan turutin kamu," ucap Suamiku. Sungguh ucapan Mas Tama semakin memantapkan hatiku untuk menolak dimadu. "Sepertinya aku masih ingin di Bali untuk beberapa saat sih Mas. Aku betah dengan suasana di Pulau ini," tandasku. "Iya Dek nggak apa-apa, kita disini dulu aja sampai kamu puas," jawab Mas Tama. "Oh iya Mas, aku
Sepertinya senja akan perlahan menghampiri, kabut hitam tampak mulai hadir menghiasi langit dibatas senja Pulau Dewata. Sebentar lagi, rona merah akan merajai lazurdi. Nuansa sore mulai tampak di pulau indah dan menawan ini. Salah satu bentuk bukti keagungan Tuhan yang sangat nyata, terpampang di Pulau ini. Kami masih berada didalam kamar sesampainya di pulau ini. "Dek, sepertinya ini sudah tiba waktu ashar. Kita mau sholat dimana?" tanya Suami ku. "Sholat di kamar aja ya, mas. Aku lagi males jalan jauh," kilahku. Sengaja kuajak ia untuk menunaikan ibadah dikamar ini, karena rasa nyeri mulai mengusik perutku kembali. "Ya udah, Dek. Aku mandi lagi ya, gerah soalnya," pamit Mas Tama. Aku pun mengangguk sembari menahan rasa sakit yang menghampiri tubuhku. Rasa sakit itu semakin terasa, rasanya ingin ku berteriak sekencang mungkin. Untung saja Mas Tama tak melihat aku bergulat melawan rasa sakit ini, dan beruntung juga ia tak mendengar rintihan kesakitan yang aku jeritkan.Mungk
Pagi datang kembali, waktu begitu cepat berlalu silih berganti. Aku terpaksa meminta suamiku untuk mempercepat kembali ke rumah. "Mas, kita pulang hari ini, ya. Mas kan, harus kerja. Kita udah cukup lama disini." Aku menggelayut di pundak mas Tama dengan manja. "Kamu udah bosen disini? Katanya kamu betah di pulau ini?""Iya, Mas. Lain kali kita kesini lagi. Aku kangen mama sama papa dan keluarga kita yang lain." Aku berkilah sembari menahan perutku yang mulai terasa nyeri. "Ya udah, kita jalan-jalan dulu sebentar. Setelah itu mas nyari tiket buat kita pulang." "Iya, Mas. Tapi, aku mau tidur sebentar nggak apa-apa, kan?""Iya nggak apa-apa. Kamu masih ngantuk?" Mas Tama menatapku dan membelai rambutku."Iya, Mas. Semalam aku nggak bisa tidur.""Kenapa nggak bisa tidur? Kenapa nggak bangunin aku, Dek?" Mas Tama terlihat khawatir."Maaf, Mas. Aku nggak mau Mas Tama ikut insom seperri aku. Mungkin semalam itu, aku terlalu asik melihat pemandangan di luar sana sampai aku lupa waktu.""
Kepanikan terus berlanjut, aku masih belum merasa tenang karena mama belum memberikan aku jawaban. "Mah, istighfar dan ceritakan apa yang terjadi," pintaku. Terdengar tarikan hela nafas panjang dan lantunan istighfar dari balik telepon. "Papamu terkena serangan jantung, Nak. Sekarang papa koma dirumah sakit."Ucapan mama itu membuat jantungku hampir berdiri berdetak, lidahku seketika kelu. Seketika aku matikan telepon dan berusaha untuk menghubungi mas Tama. Namun, handphone suamiku ternyata tergeletak di atas ranjang. "Astagfirullah, mas Tama nggak bawa handphone rupanya." Aku semakin kacau dan bingung, air mataku begitu deras menetes. Rasanya ingin sekali aku meninggalkan kamar dan bertolak ke Jogja. Hampir setengah jam, aku menunggu dalam ketidakpastian. "Mas Tama, kamu kemana sih? Aku takut terjadi sesuatu sama papa." Aku mengeluh dan hampir putus asa. Di sini aku hanya bisa pasrah dan berdoa. "Ya Allah, semoga papa baik-baik saja."Lima belas menit kemudian, suamiku datang
Ketegangan terjadi cukup lama, peristiwa di udara itu tentu membuat kami merasa syok dan depresi. Hingga beberapa saat kemudian pesawat kembali stabil dan semua penumpang merasa lega. "Mas, perutku sakit." Aku memegang perutku dengan erat. Suamiku terlihat panik. "Sebentar, Dek. Aku carikan obat kamu dulu, ya."Mas Tama membuka tasku dan menemukan obat pereda nyeri yang biasa aku konsumsi saat rasa sakitku tak bisa aku tahan."Minum, Dek." sebutir obat dan sebotol air mineral diberikan oleh Mas Tama."Mungkin karena kamu merasa ketakutan, jadi berpengaruh sama sakit kamu, Dek.""Mungkin aja, Mas.""Mudah-mudahan setelah minum obat, keadaanmu semakin membaik, ya.""Aamiin… iya, Mas.""Yaudah, kamu istirahat. Jangan tegang, yakin pasti selamat sampai tujuan. Hidup dan mati kita ada di tangan Allah. Kalaupun kita harus kehilangan nyawa disini, itu sudah takdir." Suamiku tampak tenang. Meskipun aku merasa sedikit tenang, namun peristiwaa itu sangat membuatku ketakutan. Belasan menit k
Umi melihat kami bertiga secara bergantian. "Apa yang sedang kalian perdebatkan? Kenapa kalian mengobrol disini?" tanya umi dengan mata sayu. Beruntung ibu mertuaku tidak mendengar apa yang sedang kami perbincangkan. "Kami cuma ngobrol hal yang nggak penting aja, Mi. Kok, Umi tiba-tiba ada disini?" ucap Mbak Rara. "Umi mau ke kamar mandi, mau buang air kecil.""Yaudah, ayo Rina antar," ucapku. "Nggak usah, Rin. Biar Rara aja yang ngantar, kamu disini aja sama Wulan." umi menolaku dan mbak Wulan terlihat tersenyum sinis melihatku. Setelah ibu mertua dan kakak iparku meninggalkan kami, mbak Wulan mulai mengejekku. "Sepertinya umi udah mulai nggak respect sama kamu, Rin. Apa umi ngerasa kalau kamu akan menghianati keluarga dengan mencarikan menantu baru untuk istri kedua suamimu?" Sifat asli mbak Wulan perlahan-lahan mulai terlihat. Aku tahu itu hanya tipu muslihat mbak Wulan untuk mengecoh ku, supaya aku mengurungkan niatku untuk mencarikan istri untuk mas Tama. Tapi jujur, aku mer