Share

Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)
Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)
Penulis: Rita Febriyeni

Part 1 Pernikahan Suamiku

 

"Mas kok rapi sekali? Bukankah sekarang hari minggu?" tanyaku sambil meletakan secangkir kopi di meja.

 

"Ada orang dari kantor pusat datang, mau tak mau ya harus kerja, Sar," jawab mas Feri sambil menggulung lengan kemejanya hingga pertengan pergelangan.

 

Ada rasa mengganjal. Biasanya ke kantor tak pernah pakai kemeja putih polos. Tapi kuabaikan karena merasa tak mungkin jika mas Feri mengkhianatiku. Kami sudah punya seorang putri, perekenomian keluarga bisa dibilang lebih dari cukup karena punya warisan orang tuaku, seperti tiga ruko yang kukontrakan. Rumah pun sudah punya karena ini rumah peninggalan orang tuaku juga. Dalam keseharian, aku juga membuka mini market tepat di samping rumah. 

 

Apa lagi yang kurang? Bahkan aku tak pernah ingkar memenuhi kebutuhan bathin suamiku. Tak masalah gaji mas Feri tak seberapa, toh aku juga punya uang. Tiap bulan aku juga memberi uang rutin ke ibu metua karena penghasilanku lebih banyak dari mas Feri. Ibu mas Feri kuperlakukan seperti almarhum ibu kandungku. Lagian adiknya mas Feri juga janda beranak satu.

 

"Padahal aku ingin sekali jalan-jalan, dari kemaren Naswa minta ke danau, lagian ia sedang libur sekolah, Mas."

 

"Lain kali aja, liburan masih lama kok."

 

"Ya udah, ayo kita serapan dulu."

 

Di meja makan sudah terhidang nasi goreng lengkap dengan ayam goreng. Tak lupa potongan pepaya kesukaan mas Feri. 

 

"Aku terburu-buru, Sarah, kamu makan bersama Naswa aja, aku berangkat dulu ya." Lalu keningku dikecup, kubalas mencium punggung tangan mas Feri.

 

"Hati-hati ya, Mas," balasku di sela senyum.

 

Mas Feri berlalu pergi dengan mobilnya. Maksudnya mobil yang kubeli untuk mas Feri berangkat kerja. Hanya dua hasil dari kontrakan ruko, mobil bisa kubeli. Ruko yang kumiliki terletak di lokasi strategis, khusus untuk lokasi perkantoran. Alhamdulillah, setiap tahun jika ingin membeli mobil, aku pasti sanggup. Tak perlu nunggu gaji suami di akhir bulan.

 

"Ma, jadi kita jalan-jalan?" tanya Naswa setelah ke luar dari kamar.

 

"Nanti aja kalau Papamu tidak sibuk."

 

"Yaaah, kan sekarang hari minggu, Ma." Lalu Naswa duduk dengan rasa kecewa karena mukanya manyun.

 

"Sabar dulu, pasti ada waktu kok, ayo kita sarapan." 

 

"Papa selalu sibuk, emang kerja bagian marketing sesibuk itu ya, Ma?"

 

"Iya mungkin, buktinya hari minggu Papamu juga ke kantor."

 

"Bosan di rumah melulu."

 

"Jangan banyak mengeluh, Nas, ayo makan." Kuletakan sepiring nasi goreng di depannya.

 

Putriku bukan tipe anak yang suka nongkrong di kafe dengan teman seusianya. Ia lebih suka jalan-jalan bersamaku atau jika ada waktu juga bersama mas Feri. Kalaupun pergi main, paling ke rumah sahabatnya, tapi kondisi sekarang sahabatnya pulang kampung karena libur. 

 

"Ma, kita ke rumah Nenek aja, lagian kemaren mangga di rumah Nenek berbuah lebat, kata Papa nggak sempat bawa karena terburu-buru."

 

"Kemaren Papamu ke rumah Nenek?"

 

Mas Feri sibuk. Tapi kok bisa singgah ke rumah ibunya? Bahkan pulang pun sering kemalaman.

 

"Iya kayaknya, Papa keceplosan bilang mangga di belakang rumah Nenek lebat, Ma."

 

"Ya udah, selesai sarapan kita ke rumah Nenek."

 

Di mini market aku sudah punya beberapa orang pegawai. Jadi kalau aku ada urusan tak perlu repot meninggalkan usahaku itu.

 

Kali ini aku dibonceng Naswa naik motor ke rumah ibu mertua. Naik mobil kelamaan karena sering macet di jalan memasuki perumahan. Naswa sudah punya SIM karena umurnya memasuki 18 tahun. Ya, Naswa kelas 3 SMA. Aku sudah cukup bahagia meskipun belum dikaruniai anak ke dua. Tak pernah KB, entah kenapa belum juga hamil lagi.

 

"Ma, kayaknya Nenek banyak tamu, lihat ada mobil dan motor depan pintu," ucap Naswa saat kami sudah melihat rumah mertuaku dari persimpangan.

 

"Kita lewat pintu samping aja, parkir di samping biar tak sempit," jawabku.

 

Rumah ibu mertua terletak di bagian hook perumahan sederhana. Jadi jika masuk melalui pintu samping bisa melalu jalan samping juga. Sementara halam kecil sudah penuh dengan satu unit mobil parkir dan dua unit motor lainya. Entah tamu dari mana. 

 

"Ma, kok ada mobil Papa?" 

 

Naswa memarkir motor tepat di belakang mobil mas Feri. Kini, kami sudah di tepi jalan samping rumah ibu mertuaku.

 

"Iya ya? Kata Papamu tadi sibuk dan mau ke kantor."

 

"Ayo kita turun dulu, Ma."

 

Kami turun dari motor. Masuk melalui pintu samping kami sampai di dapur. Sepi, terlihat di selah daun pintu papan yang tak rapi tertutup, beberapa orang duduk melingkar di karpet terbentang di lantai. Tapi, kok ada mas Feri duduk di tengah-tengah mereka? Dan wanita berkebaya putih di sampingnya siapa?

 

"Mama, kok Papa seperti mau ijab kabul?" bisik Naswa juga mengintip.

 

Aku terpana melihatnya. Suasana terlihat hening dan khusuk.

 

Mas Feri seperti bersalaman dengan seorang lelaki, layaknya mau ijab kabul. Mereka berada di tengah-tengah beberapa orang termasuk mertua dan ipar-iparku. 

 

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Tuti wulandari bin Rajab dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai." Kata-kata itu keluar lancar dari mulut suamiku. 

 

"Giman saksi, sah?" ucap seorang lelaki lainya yang duduk di dekat suamiku.

 

"Sah!"

 

"Sah!"

 

Seketika ragaku terasa lemas. Hampir mau jatuh tapi untung Naswa menahan tanganku. Air mata ini tak kuasa kutahan seiring sakit hati dengan kenyataan yang kulihat. Suamiku baru saja melangsungkan ijab kabul menikahi wanita yang sama sekali tidak kukenal.

 

Badanku gemetar. Rasanya tak percaya apa yang kulihat. 

 

Terlambat kami datang beberapa detik. Hingga ijab kabulnya sudah selesai.

 

Yang membuatku hatiku sangat perih, ibu mertua, kakak ipar dan adik iparku tersenyum seiring kata 'sah' keluar dari mulut beberapa orang yang menghadiri pernikahan ini.

 

"Ma, Mama, jangan menangis, ayo kita pulang," bisik Naswa sambil menarik tanganku ke pintu keluar.

 

"Tidak! Biar kita kacaukan semua ini, Nak."

 

"Tidak ada gunanya, Ma, wanita itu sudah sah jadi Istri Papa, biar kita pikirkan cara membalas mereka, Mama jangan sedih, masih ada aku, aku janji akan membalas mereka, kita punya senjata untuk melawan, jika mereka pura-pura baik di depan kita, kita balas pura-pura juga."

 

Mungkin rasa sakit ini harus kunikmati. Melalui sebuah proses, hingga proses itu berakhir. Aku harus bisa berdiri lagi, kuat dan tak akan menyerah. Karena menyerah akan membuatku hancur. 

 

Demi anakku satu-satunya, aku harus kuat.

 

Apakah aku akan memaafkan mereka? Jawabanya tidak! Karena rasa sakit ini akan kujadikan kekuatan untuk membalas mereka. 

 

Silahkan tersenyum di belakangku. Senyum itu akan kubuat mereka menangis. Tuhan, maaf aku tidak bisa memaafkan mereka. Luka ini terus menganga hingga aku lupa apa rasanya sembuh.

 

Bersambung

 

 

 

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
GOBLOOOOOOOOOOK udah ada di tempat kok nggak bisa bertindak
goodnovel comment avatar
Ruqi Ruqiyah
bagus thor lanjuuuutttt
goodnovel comment avatar
Anggra
heran dehh laki²..anak dah gede msih jga nurutin syahwat..dasar laki² GK prnah puas
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status