Share

Part 2 Keinginan Ibu Mertua

 

 

Aku bisa saja menghentikan saat suamiku mengucapkan ijab kabul. Tertahan lantaran ingin melihat reaksi ibu mertua dan ipar-iparku. Selama ini akulah yang banyak membantu keuangan mereka. Di sini lah aku ingin membuktikan langsung bagaimana perlakuan mereka sesungguhnya di belakangku.

 

"Ma, ayo pulang," bisik Naswa.

 

Dadaku sesak. Rasanya tak menyangka kalau mereka tega melakukan ini padaku. Tapi apa alasan mas Feri berbuat ini? Apa salahku. Bahkan aku sudah menunjukan bakti sebagai istri dan menantu ibunya.

 

"Mudah-mudahan tetap langgeng dan bahagia dunia akhirat," ucap Mbak Imar memberi selamat ke adik dan adik ipar barunya.

 

Layaknya pengantin baru. Raut wajah suamiku dan istri barunya seperti dua insan sedang jatuh cinta hingga berbunga-bunga. Umur tidak menghalangi keinginanya punya istri baru. 

 

"Aamiin, makasi, Mbak, Tuti pasti jadi Istri yang baik dan bisa memberiku keturunan laki-laki," jawab mas Feri sambil menatap istri barunya. Tangan wanita bernama Tuti langsung digenggam meskipun beberapa orang melihat mereka.

 

Deg!

 

Jantungku terasa dipompa kencang secara mendadak. Ucapan mas Feri sudah bisa kubaca maksudnya. Apakah ini bentuk tak merasa syukur karena hanya memiliki satu keturunan saja? Dan keturunan itu adalah Naswa, putri kami.

 

"Apakah aku tak diinginkan Papa, Ma?" 

 

Naswa juga menyimak percakapan mas Feri. Ada tersirat luka dari caranya bertanya sambil menatap mereka.

 

"Ayo kita pulang, Nak." Kali ini aku yang menarik tangan Naswa.

 

Melaju motor, Naswa diam disepenjang perjalanan. Mungkin saja ia sedang memikirkan tentang ucapan mas Feri. Anak laki-laki adalah sesuatu yang didambakan. Apakah ini hanya sekedar alasan atau memang ini yang diinginkan suamiku menikah lagi. 

 

Aku tertipu. Selama ini mas Feri tak pernah berbuat jahat. Kata kasar ataupun melayangkan tangan tak pernah kuterima, bahkan pujian yang sering dilontarkan dengan penuh kasih sayang. Bahkan, aku merasa hidupku sudah sempurna.

 

Apakah aku bodoh dengan membiarkan ijab kabul itu? Jika ada niat ia ingin mengkhianatiku, berarti lelaki seperti itu tak pantas kupertahankan meskipun memberiku satu orang putri. Seandainya kuhentikan ijab kabul itu. Tetap saja hatiku tak inginkan dia lagi karena ada niat dan suatu saat itu akan terjadi lagi. Kebetulan saja aku melihatnya hari ini.

 

Seiring yang terjadi, mencambukku agar sadar. Rasa sakit membuat hatiku kebal dan tangisan ini cukup sekali saja. Ya, cukup sekali saja.

 

***

 

"Mama jangan sedih, kita bisa hidup tanpa mereka kok."

 

Kupalingkan mata ke Naswa. Ia terlihat santai seolah itu bukan masalah besar. 

 

"Papamu tega, Nas, Nenekmu, Tantemu, semuanya sangat tega," piluku membayangkan mereka satu persatu.

 

"Ma, mulai sekarang, tolong hati-hati dalam masalah keuangan, jangan biarkan pelakor itu menguasai harta Mama, apa lagi Papa memakai uang Mama menafkahi Istri barunya."

 

Putriku sangat tahu yang terjadi. Selama ini Naswa lah yang sering mengantarkan uang untuk neneknya karena aku sibuk mengurus mini matket-ku. Bukan hanya itu, pinjaman untuk ipar-iparku atau pun bantuan dariku juga Naswa lah yang mengantarkanya. Betapa istimewanya kuperlakukan mereka.

 

Bagiku tak masalah. Itu lah gunanya bersaudara. Semua saudara mas Feri kuperlakukan seperti saudara kandungku. Tapi tidak untuk kedepanya. 

 

Berusaha untuk tidak menangis lagi. Semua kuterima dengan api amarah dan akan kubalas. Mulai hari ini, aku akan membuat mereka tahu siapa aku. 

 

Jam 20.30 wib.

 

"Papa belum pulang ya, Ma? Bagus lah, biar nggak pernah pulang sekalian," ucap Naswa datar tapi mengandung amarah.

 

"Namanya juga pengantin baru, lagian nggak usah dipikirkan, Mama cuma minta, tolong biasakan mulai sekarang untuk kehilangan Papamu, karena lambat laun ia pasti bersama istri barunya."

 

"Tapi aku juga punya permintaan, Ma."

 

"Apa, Nak?"

 

"Jangan pernah menangis lagi untuk mereka,  masih ada aku, Ma, jangan takut."

 

Tuhan punya cara tersendiri membuatku kuat. Alhamdulillah. Aku beruntung punya putri seperti Naswa.

 

Tok tok tok!

 

Tok tok tok!

 

"Mungkin itu Papa pulang, Ma," ucap Naswa sambil melihat ke arah pintu.

 

"Biar Mama yang buka." Lalu aku beranjak menuju pintu.

 

Pintu kubuka.

 

"Ibu?" Mataku membelalak melihat yang datang adalah ibu mertua. Tapi yang membuatku hampir tak mengedipkan mata, ibu datang bersama mbak Imar dan istri baru suamiku. Mereka tersenyum menatapku.

 

"Sarah, ini Ibu bawakan mangga dan kue-kue basah kesukaanmu." Ibu menjinjing dua kantong kresek, sementara wanita yang bernama Tuti, juga menenteng kotak kue dalam kantong kresek putih. Namanya melekat di ingatanku saat suamiku tadi pagi mengucapkan ijab kabul.

 

Dadaku terasa sesak. Mereka bersikap seolah tak terjadi apa-apa. 

 

"Siapa yang datang, Ma?" tanya Naswa.

 

Aku diam tidak menjawab. Susah memahan hati. Tapi aku harus tenang agar tahu sampai mana permainan mereka.

 

"Nenek?" Naswa terkejut melihat neneknya datang bersama wanita yang sudah dinikahi papanya. Matanya tak bisa bohong seiring rasa terkejutnya.

 

"Naswa cucu Nenek, ayo bawa ini ke dalam." Ibu menyodorkan kantong bawaanya ke Naswa.

 

"Mm i-iya, Nek," jawab Naswa tergagap. Matanya masih menatap istri baru papanya.

 

"Ooh, ini Tante Tuti, Naswa, sepupu Om Haris," kata mbak Imar menunjuk Tuti.

 

"Sarah, kenalkan ini Tuti sepupu suamiku." Mbak Imar memperkenalkanku dengan wanita itu.

 

Sepupu mas Haris? Tak pernah kudengar tentang dia. Selama ini mereka tak pernah cerita atau pun sekedar menyebut namanya. Akan kuselidiki dari mana suamiku bertemu wanita ini. Aku tak yakin ia sepupu mas Haris.

 

Jika wanita ini diperkenalkan sebagai sepupu mas Haris, kenapa ia terlihat bahagia dan melempar senyum padaku dan Naswa. Tak ada rasa ragu, sepintas ia tak terlihat sedang mengunjungi rumah istri pertama suaminya. Ini terasa mengganjal.

 

"Baik, Nek, ayo masuk," ucap Naswa sambil mencolek punggungku memberi kode agar aku menuruti permainanya.

 

"Oh, iya, Bu, maaf, aku hanya kurang enak badan hingga terkejut dengan kedatangan Ibu dan Mbak Imar," polesku berusaha mencairkan suasana. 

 

"Mbak Sarah, aku Tuti." Wanita itu mengulurkan tangan ingin bersalaman.

 

Ada rasa ragu. Dengan pertimbangan, kusambut tanganya. "Aku tidak perlu sebut namaku lagi karena kamu sudah tau bukan?"

 

"Iya, Mbak, Mbak Imar benar, Mbak wanita yang baik," pujinya. Kubalas tetap terpaksa tersenyum.

 

Jadi mereka sudah membicarakan tentangku di belakang. Predikat 'wanita baik' dilontarkan seolah aku sudah disanjung-sanjung. Tapi itu tidak membuatku tersanjung, justru aku ingin melihat apa yang mereka inginkan dari sandiwara ini.

 

Kini, kami sudah duduk di sofa ruang tengah. 

 

"Nenek mau minum apa? Tante Imar dan Tante Tuti juga mau minum apa?" tanya Naswa setelah meletakan katong bawaan ibu di meja.

 

"Teh hangat saja, Nas, tapi sedikit gula," jawab ibu mertua santai seperti biasa berkunjung.

 

"Iya, tapi biar kubantu membuatkan teh hangatnya, Nas, lagian pegal dari tadi duduk terus," sahut Tuti di luar dugaanku. 

 

Apakah duduk yang dimaksud adalah duduk saat acara pernikahanya dengan mas Feri?

 

"Aku teh es saja ya, Tut," ucap mbak Imar seperti berusaha membuat Tuti agar leluasa di rumahku.

 

"Biar Naswa saja yang bikin minum, Mbak, nggak enak karena Tuti tamu di rumah ini," ucapku berusaha tenang.

 

"Nggak apa-apa, Sarah, Tuti sudah biasa melakukan pekerjaan rumah, lagian ia juga harus membiasakan diri membantumu."

 

Deg!

 

Apakah ibu mertua ingin agar aku menerima Tuti sebagai maduku di rumah ini? Dikiranya aku patung tak punya perasaan?

 

"Loh, kok Tuti harus membiasakan diri di sini, Bu?"

 

"Naswa, ayo tunjukan Tante dapurmu." Tuti langsung bangkit berdiri. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.

 

"Iya, Nas, biar Tuti yang sajikan kue-kue yang barusan dibawa," timpa mbak Imar.

 

"Mm." Naswa tampak ragu sambil melihatku.

 

"Naswa, ajak Tante Tuti ke dapur, lagian Tante Tuti juga sepupu Om Haris kok," sahutku agar Naswa secepatnya mengambil tindakan.

 

"Oh, iya, Ma," jawab Naswa. Lalu ia menoleh ke Tuti. "Ayo Tante." 

 

Naswa dan Tuti berlalu ke dapur.

 

"Sarah, bisa Ibu minta tolong?"

 

"Apa, Bu?"

 

"Tuti yatim piatu, biarkan ia tinggal di rumahmu buat bantu-batu kamu membereskan rumah, atau terima ia kerja di mini marketmu, ia wanita yang rajin dan dijamin semua pekerjaan rumah akan terselesaikan, jadi kamu bisa fokus melakukan yang lain."

 

Oh, jadi ini maksud ibu mertua membawa menantu barunya masuk ke rumahku? Aku tahu itu hanya alasan, tapi jika mereka memulai kebohongan ini, maka aku juga akan memulai pembalasanku.

 

"Iya, Sar, Tuti baru saja menikah tapi sudah pisah dengan suaminya," ucap mbak Imar memperpanjang kebohongan ini.

 

"Loh, baru nikah kok sudah pisah, Mbak?" tanyaku menyelidiki.

 

"Faktor ekonomi, Sar, nanti setelah suaminya mampu dalam materi, baru mereka berkumpul lagi."

 

Makin lama sandiwara mereka makin bertambah. Kebohongan yang disajikan akan kunikmati. Akan kulihat sampai mana permainan ini. Jika aku langsung minta cerai, ini terlihat mudah dan kurang menyiksa mereka.

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
penasaran dengan tingkah manusia DAJJAL
goodnovel comment avatar
Irmawati Ali
bagus, dan bikin penasaran
goodnovel comment avatar
Koki Garasi
cerita yang sangat enak di baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status