Share

Part 3 Leluasanya

 

"Tapi, Bu, aku belum butuh karyawan baru, dan rumahku juga tak terlalu kotor hingga repot minta bantuan untuk bersih-bersih." 

 

Kutolak permintaan ibu mertua dan kakak ipar secara halus. Bukan tanpa sebab, hanya ingin melihat sejauh mana usaha mereka. Dari cara Tuti menyapa dan leluasa ingin ke dapurku, ini sudah menandakan ia inginkan sesuatu dari rumah ini. Dan mereka mempelancar usaha Tuti.

 

"Sarah, kamu tak usah bayar Tuti, ia hanya numpang berteduh hingga suaminya datang menjeput," ucap ibu kukuh agar aku menerima Tuti.

 

Suami yang mana? Suamiku juga? Dasar pembohong!

 

"Iya, Sar, lagian biaya makan Tuti tidak begitu banyak, aku rasa tidak memberatkan kok." Mbak Imar juga berusaha meyakinkanku.

 

"Mm tapi, kok tidak tinggal di rumah Ibu saja, lagian aku jarang di rumah karena sibuk di sebelah, nggak enak kan saat hari minggu ia berdua dengan mas Feri di rumah, kalau Naswa Ibu kan tau sendiri, ia sibuk di kamarnya."

 

"Kamu kan tau kamar di rumah Ibu hanya dua, lagian Itu mah gampang, Sar, hari minggu Ibu akan ke sini jagain, lagian jangan mikir macam-macam sebelum ada bukti," bela ibu lancar. Hebat sekali sandiwaranya, berbohong tanpa ragu dan bahkan orang lain melihat tak akan percaya dia sedang berbohong.

 

"Iya, Sar, lagian selama ini apa kamu punya bukti Feri macam-macam?" 

 

"Belum sih, Mbak, tapi jika itu terbukti ...." Kata-kataku sengaja digantung sambil menatap mereka. 

 

"Ji-jika terbukti gimana maksudnya, Sar?" Ibu mertua tergagap. Bahkan matanya berpaling seketika.

 

"Jika terbukti, ya ...." Aku diam lagi tak melanjutkan ucapan.

 

"Udah jangan mikir macam-macam, Sar, sekarang apakah bisa Tuti tinggal di rumah ini untuk sementara?" Mbak Imar berusaha mengalihkan pembicaraan.

 

Anak dan ibu sama saja. Seandainya mas Haris yang punya istri lain, apa ia masih bisa bilang 'tidak memberatkan'

 

"Gimana, ya, Bu, Mbak, sebaiknya kutanyakan Mas Feri dulu." Kupancing lagi mereka dengan membawa nama mas Feri.

 

"Feri pasti setuju kok, lah yang minta Ibu, Sar," jawab mbak Imar seperti sudah tahu keputusan suamiku. Tentu ia tahu karena yang diminta tinggal adalah istri baru adiknya.

 

"Ini teh hangat untuk Ibu dan teh es untuk Mbak Imar." Tuti meletakan dua gelas teh tersebut.

 

"Dan ini untuk Mbak Sarah." Tuti juga meletakan segelas teh es di meja depanku. Nampan masih dipegangnya.

 

"Maaf, Tut, aku tak suka teh es, biar kamu aja yang minum," tolakku.

 

"Oh, maaf, Mbak, aku tidak tahu," jawab Tuti.

 

"Tapi karena ini bikinanmu, tetap aku minum."

 

"Ah Mbak, bikin aku nggak enak aja, lagian Mbak suka minum apa? Biar kubuatkan."

 

"Kopi panas sedikit gula, tapi nggak usah, lagian tadi aku juga sudah minum kopi."

 

Kulirik Naswa. Ia duduk di samping neneknya sambil memperhatikan Tuti. Terlihat matanya membenci semua yang datang. Dan aku juga merasakan itu.

 

"Mbak mau makan opor ayam? Aku bisa bikinin yang paling enak, Ibu bilang, Mbak suka opor ayam, ya?" 

 

Tuti sok akrab. Seolah ia bersikap sudah lama mengenalku. Dikiranya aku tak tahu siapa dia sebenarnya. Tapi justru ini membuatku semakin bersemangat membalas mereka. 

 

"Iya, aku suka opor ayam, ternyata Ibu perhatian juga dengan makanan kesukaanku," jawabku sambil melihat ke ibu.

 

"Apa pun yang kamu suka, Ibu sudah hapal, Sar, lagian Feri juga sering cerita, itulah kenapa Ibu bawa Tuti ke sini, ia juga bisa setrika baju kalian, karena Ibu tau kamu pasti sibuk mengurus mini market."

 

Wow, jadi ibu mertua menceritakan banyak tentang aku ke menantu barunya. Apa ia mau menggantikan posisiku dengan Tuti di rumah ini? Jangan harap! Justru kalian dan lelaki berstatus suamiku, akan kusingkirkan setelah rasa sakitku terbalaskan.

 

"Ibu sangat perhatian sekali, makasi ya, Bu."

 

"Kamu menantu kesayangan Ibu, Sar," timpa mbak Imar memuji.

 

"Itu karena aku satu-satunya menantu wanita, iya kan, Bu?" Kutatap ibu mertua.

 

"Oh, i-iya, Sar, tentu," jawab ibu tergagap sambil melirik Tuti. Tuti menunduk dengan ekspresi wajah terdiam, mungkin juga merasa tak enak mendengarnya. Atau mungkin lagi ia cemburu.

 

"Naswa, siapkan kamar untuk Nenek, Tante Imar dan Tante Tuti," titahku ke Naswa.

 

"Iya, Ma, tapi berapa kamar?" Naswa bangkit dari duduknya.

 

"Dua, Nas, satu kamar Nenek dan Tante Imar, sementara Tuti tidur di kamar terpisah aja," jawab ibu sebelum aku menjawab.

 

"Tuti tidur bersama Naswa aja, Bu, lagian Naswa tidur sendiri," sanggahku.

 

"Sebaiknya aku tidur sendiri aja, Mbak Sarah, kebiasaanku terbangun malam hari dan takutnya mengganggu Naswa," tolak Tuti. Aku tahu ia pasti ingin mengajak mas Feri ke kamarnya. Mereka pengantin baru pasti sudah tak sabar ingin  merasakan malam pertama. Tapi ..., aku penasaran dengan apa yang mereka lakukan nanti malam. 

 

'Oke Tuti, kuberi yang kamu mau,' bathinku.

 

"Dua kamar, Nak, seperti perkataan Nenekmu." Akhirnya kusetujui keingin ibu mertua dan Tuti.

 

Tuti langsung tersenyum menanggapi.

 

***

 

Baru satu jam Tuti di rumah ini, ia sudah seperti tinggal di rumah sendiri. Tanpa disuruh, ia menyapu dan mengepel lantai. Tak peduli jika sudah larut malam. 

 

"Loh, kamu mencuci baju kotorku, Tut?" tanyaku melihatnya berdiri di samping mesin cuci. Keranjang baju kotor yang biasa kuletakan di dudut ruang, terlihat kosong. Rencana baju itu subuh besok kucuci.

 

"Iya, Mbak, kata Ibu, Mbak sibuk siang hari, pasti capek, jadi kalau kucuci sekarang, dijemur pun nggak masalah."

 

"Tapi, dalam keranjang itu banyak pakaian dalam suamiku loh," ucapku memancing Tuti.

 

"Nggak masalah, Mbak, oh ya, Mbak mau aku bikinin sesuatu?"

 

Wow, Tuti pintar juga mengambil hatiku. Seandainya aku tak melihatnya menikah dengan mas Feri, mungkin sudah kuanggap ia seperti adikku. 

 

"Kamu rajin dan baik," ucapku memuji sambil menyentuh lengannya.

 

'Oke Tuti, lanjutkan ambisimu,' bathinku. Kupasang senyum manis menanggapinya.

 

"Biasa aja kok, Mbak, aku sudah biasa mengerjakan ini dulu di rumah majikanku."

 

"Oh ya? Jadi dulu kerja ya?"

 

"Iya, Mbak, tuntutan ekonomi."

 

Pembantu? Pantas Tuti mau diperintah seperti pembantu mengerjakan semua pekerjaan rumah. Tapi kenapa ibu mertua menerimanya sebagai menantu, kalau alasan uang sudah pasti tak mungkin karena ia tak berduit. Keturunan laki-laki? Itu hanya alasan yang tidak mensyukuri, menurutku.

 

Kubiarkan ia mengerjakan itu. Lalu aku beranjak ke ruang tengah, duduk depan televisi, sendiri menunggu mas Feri pulang. Sementara ibu mertua, Mbak Imar dan Naswa sudah tidur.

 

"Kok Mas Feri belum pulang?" gumamku sambil melihat jam dinding, menujukan jam sebelas lewat dua puluh lima menit. Tak sabaran ingin melihat reaksi pasangan sejoli ini berpura-pura di depanku. 

 

Tok tok tok!

 

Tok tok tok tok!

 

"Pasti Mas Feri," ucapku ingin melangkah ke pintu.

 

Akan tetapi, Tuti sudah berlari terlebih dulu ke pintu sambil berucap, "Biar aku yang buka,  Mbak istirahat aja."

 

Ia berlari tanpa mempedulikan apa yang akan kujawab. Seperti terburu-buru menunggu sesuatu, seperti itulah tingkahnya. 

 

'Kalian kira bisa bermesraan di rumahku!' bathinku.

 

Aku tetap melangkah ke pintu.

 

"Mas mau kubikini kopi?" terdengar suara Tuti bertanya. Suaranya pelan tapi aku bisa mendengar karena aku tak jauh dari belakangnya. 

 

"Sarah mana?" tanya mas Feri sambil melepaskan sepatu. Matanya tertuju ke kakinya hinga tak menyadari kehadiranku.

 

"Ada di." Tuti memalingkan muka ke belakang sambil menujuk, seketika ia langsung terdiam melihatku melangkah mendekatinya.

 

"Ada tamu, Mbak," ucap Tuti menujuk mas Feri.

 

Aku diam tidak menanggapi. Wajah sepasang pengantin baru ini terlihat tegang melihat kehadiranku.

 

"Sarah, mm ini siapa?" Mas Feri menunjuk Tuti seolah terkejut dan belum kenal. Tuti langsung menjauhinya seperti takut ketahuan.

 

"Ada apa?" tanyaku santai.

 

"Suami baru pulang kok nanya itu, Sar, biasanya cium tanganku dulu." 

 

"Penting ya?" 

 

"Oh maaf, Mbak, aku kira tamu," sahut Tuti, tentu pura-pura terkejut.

 

Jika ada audisi pemilihan pemain senetron ikan terbang, aku yakin mereka lulus. Ektingnya luar biasa.

 

Kuabaikan permintaan maaf itu.

 

"Maaf, Mas, kamu dari luar, sebaiknya cuci tangan dulu, banyak virus bertebaran di luar sana, aku takut ketularan," jawabku menolak mencium tanganya.

 

"Tumben kamu begini?" Mas Feri mendekat, lalu merangkul pundakku mesra.

 

Tuti melihat adegan ini. Ia terpana sesaat lalu berlalu ke belakang. Mungkin ia cemburu. Mas Feri bersikap mesra lebih dari seperti biasa. 

 

"Tumben kamu mesra depan orang, Mas?"

 

"Biar yang lain lihat betapa aku beruntung punya istri sepertimu, Sar."

 

Apakah ini ciri-ciri jika suami punya wanita lain? Sikap berubah mesra seperti menutupi perbuatanya. 

 

"Kenapa pulang larut, Mas?"

 

"Tadi banyak kerjaan, Sar, pokoknya minggu besok kita pergi jalan-jalan sesuai kemauanmu dan Naswa."

 

"Oke."

 

"Oh ya, yang tadi siapa?" 

 

'Jangan pura-pura nggak tau, Mas, baru tadi pagi kamu menikahinya,' bathinku.

 

"Hey! Kok diam? Yang tadi siapa?" tanya mas Feri lagi karena belum kujawab.

 

"Masak kamu nggak tau, Mas?" Kutatap dalam mas Feri.

 

"Ma-maksudmu?" Ia tergagap dan memalingkan mata.

 

"Masak kamu nggak kenal dengan Tuti?" Mataku masih belum beralih darinya. Kunikmati setiap sudut ekspresi wajahnya.

 

"Oh, Tuti namanya?"

 

"Benaran kamu nggak tau?" 

 

"Ya mana aku tau, Sar, jumpa aja baru kali ini," sanggah mas Feri, kali ini ucapanya lancar.

 

"Mari kukenalkan," kutarik tangan mas Feri.

 

Kami menuju ruang tengah. Dan di meja sudah tersedia secangkir kopi panas. Aku tahu itu minuman yang dibuat Tuti untuk mas Feri.

 

"Tuti! Tuti!" panggilku sambil duduk di samping mas Feri.

 

"Iya, Mbak," sahut Tuti tergopoh-gopoh menghampiri kami.

 

Kini ia sudah berdiri depan kami.

 

"Tau Mas Feri bukan?" Kutunjuk mas Feri.

 

"A-apa, Mbak?" Tuti tergagap, matanya membulat.

 

"Santai aja, Tut, kok tegang gitu mukanya, perkenalkan ini Suamiku."

 

"Oh iya, Tuti, Mas." Tuti mengulurkan tangan pada mas Feri.

 

"Feri," ucap mas Feri menyambut tangan Tuti.

 

Tidak terlihat mencurigakan. Mereka berekting seperti baru kenal. 

 

"Tuti ini siapa, Sar?" tanya mas Feri sambil mengambil secangkir kopi yang sudah tersedia.

 

"Jangan pura-pura nggak tau, Mas," jawabku tersenyum sinis. 

 

"Aw!" Cangkir langsung terlepas dari tangan mas Feri, hingga kopi panas tertumpah mengenai celananya.

 

Bersambung ....

 

 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Jee Esmael
Luarbiasa actingnya
goodnovel comment avatar
Embah Wid
makin menarik......
goodnovel comment avatar
Koki Garasi
tidak bosan membacanya,sangat menginspirasi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status