Share

Part 6 Aksi Bar bar

 

 

"Sarah! Aduh! Ia kenapa?" Ibu mertua terlihat panik berdiri memegang pipinya yang bekas kutampar. Kasihan juga, ia seumuran almarhum ibuku. Tapi rasa sakit dengan apa yang kualami menghilangkan rasa hormatku padanya.

 

"Ha ha ha, mmmmhg ha ha ha." Aku tertawa besar sambil melototi mereka satu persatu. Rasanya ingin kupatahkan tangan mereka satu persatu.

 

Mereka mempermainkan kehidupan rumah tanggaku. Aku tak terima! Padahal aku sudah berkorban banyak. Aku kesal! Aku marah! 

 

Rasa amarahku melihat mereka, membuat tanganku ingin mengambil sapu yang tak jauh dari sofa karena tadi Tuti sedang menyapu. Seperti seseorang lepas kendali, kupukuli mereka satu persatu.

 

"Ugh!" Kupukul punggung mas Feri dengan tangkai sapu, lalu ....

 

"Uhg!" Tangkai sapu melayang ke lengan Tuti.

 

"Ugh!" Kali ini lengan mbak Imar juga ikut kupukul.

 

Sapu kulempar, lalu dengan rasa kesal yang tak terbendung. Kutarik songkok rajut kepala ibu mertua hingga terlepas dan memperlihatkan rambut ubannya. Kujambak rambutnya lalu kudorong kepalanya hingga ia terduduk di lantai. Pikiran sehatku berperang dengan amarah. Umurnya yang sudah tua ada rasa tak tega menghajarnya dengan sapu. Tapi tidak untuk yang tiga orang ini.

 

"Aduh! Jangan Sarah, ampun!" teriak ibu mertua berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.

 

"Aaagh! Ha ha ha, kalian manusia licik!" ucapku berusaha merubah suaraku lebih tebal. Namanya juga akting, biasanya kulihat orang kesurupan suaranya berubah dengan tatapan menantang. Itulah kenapa mataku membelalak melihat mereka.

 

"Aduh, Naswa! Naswa! Cepat cari bantuan," titah mas Feri terdengar panik. Naswa yang pura-pura ketakutan berdiri di antara pintu ruang tengah dan ruang tamu.

 

"Aku takut, Pa," jawab Naswa juga pura-pura panik.

 

"Gunakan ponselmu!"

 

Waduh! Aku harus melampiaskan lagi karena rasa kesalku belum hilang.

 

"Aaagk! Hi hi hi hi." Kali ini aku bersuara melengking mirip hantu wanita. Kutatap Tuti, ia ketakutan berinsut ke balik sofa kecil untuk berlindung.

 

Tanpa berpikir panjang, kuinjak sofa itu lalu kutarik hijap Tuti hingga rambutnya terlihat. kujambak sekuat tenaga seiring rasa marahku karena ia pelakor di rumah tanggaku.

 

"Apun! Tolong Mas! Tolong aku!" teriak Tuti kesakitan. Ia tak bisa berbuat banyak kerana tanganku semakin kuat menjambak rambutnya.

 

'Mau minta tolong ke suamiku? Rasakan ini pelakor,' bathinku, jika di ruangan ini ada cabe sudah kumandikan ia dengan cabe. 

 

"Sarah! Lepaskan Tuti! Sarah!" Mas Feri menarik tanganku dari belakang agar rambut Tuti terlepas. Ini menyulitkanku karena tenaga mas Feri lebih kuat. Tapi, bukan perempuan namanya kalau tak banyak akal. 

 

Kulepaskan rambut Tuti, lalu dengan tangan kiriku, kutinju hidung mas Feri sekuat tenaga super yang kumiliki. 

 

"Aduh! Aak!" Mas Feri berteriak memegang hidungnya.

 

Alhamdulillah, cita-citaku semalam tercapai. Batang hidung mas Feri bengkok, maksudnya tidak terlihat seperti normal. Patah mungkin.

 

"Ha ha ha, hi hi hi hi." Dua macam tawa kukeluarkan, tentunya dengan suara yang berbeda. Satu suara kutebalkan, dan satu lagi suara kulengkingkan. Lumayan menyita kerongkongan. Tak apalah, yang penting aku puas.

 

"Feri! Cepat kita pegang Sarah!" teriak mbak Imar.

 

"Nggak bisa! Hidungku sakit!" Mas Feri meringkuk sambil memegang hidungnya.

 

Dasar lelaki tak punya otak atas, otak bawah saja yang berfungsi hingga main kawin lagi. Kamu kira aku diam saja dengan perbuatanmu. Rasakan itu, untung bukan kepalamu kupecahkan.

 

Wanita jika terlalu sakit hati, rasa sakit itu lah yang jadi kekuatan. Ditambah dengan amarah besar, dan mungkin jika dikeluarkan akan membentuk kobaran api yang siap membakar.

 

'Makanya jangan coba-coba mempermainkanku, Mas,' bathinku puas melihatnya.

 

"Cepat, Mbak! Cepat bantu aku!"

 

Uh sial! Tuti merangkulku kuat dari belakang. Ingin melawan sulit karena tenaganya juga kuat. Mbak Imar juga berlari mendekat.

 

"Aaaghk! Aaaagk!" Aku beronta sekuat tenaga agar lepas. Jika mbak Imar ikut memegangku, pasti aku kalah tenaga dan tak bisa berbuat apa-apa. Tapi aku punya akal. Biar tangan dipegang, kakiku masih bisa melawan.

 

"Ugh!" Kutendang mbak Imar setelah berjarak selangkah di depanku. Tendanganku mengenai perut bawahnya, hingga ia terjatuh. Lalu, kuinjak kaki Tuti dengan tumpuan tumitku agar rangkulannya terlepas. Gerakan cepat diperlukan dalam tindakan ini.

 

"Aduh!" jerit Tuti kesakitan, seketika tanganya  dilepas.

 

Plak!

 

Plak!

 

Plak!

 

Plak!

 

Empat kali tamparan melayang ke kedua pipi Tuti. Dengan semangat 45 kukobarkan bendera peperangan dari istri sah untuk pelakor. Saat menampar, ada rasa puas tersendiri. Artikel yang kubaca benar, ada rasa lega setelah tersalurkan.

 

"Aak! Sakit! Rasain ini!" 

 

Ops! Tuti mengambil sapu ingin membalasku? Waduh, gimana ini? Aku pasti kalah kalau tak punya senjata.

 

Kualihkan mata ke Naswa. Matanya membulat melihat Tuti akhirnya bisa menggapai sapu.

 

"Hi hi hi hi." Agar mereka tak curiga, aku tertawa melengking sambil mendekati mas Feri yang meringkuk kesakitan. Untuk bangkit pun sepertinya sulit.

 

"Hiaaaaaaap!" 

 

Astaga naga, Tuti berlari mendekatiku sambil membawa sapu. Bisa mampus aku dipukulnya. 

 

'Ayo Sarah, cari jalan,' bathinku mensugesti diri agar otakku berpikir cepat dalam situasi darurat.

 

"Jangan, Tante! Jangan pukul Mamaku!" teriak Naswa juga berlari mendekat, ingin melindungiku.

 

Paak!

 

Sapu mendarat dari ayunan tangan Tuti.

 

"Aak!" Mas Feri langsung tergeletak pingsan.

 

Aku menghindar saat Tuti ingin memukulku dengan sapu. Mas Feri yang berada di dekatku, akhirnya ia yang menerima serangan Tuti.

 

'Alhamdulillah,' ucapku di hati. Untung aku berhasil menghindar.

 

"Mas Feri! Mas!" Tuti shock melihat mas Feri tak sadarkan diri.

 

"Feri!" teriak ibunya.

 

Di sini aku istrinya yang diakui, tapi kok malah Tuti yang kelihatan sedih melihat mas Feri pingsan.

 

Terserah deh, yang penting Tuti pasti disalahkan karena dalam keadaan sadar memukul. Begok juga dia.

 

Mbak Imar pun tak berani mendekatiku.

 

"Bismillahirahmanirahiim, allāhu lā ilāha illā huw, al-ḥayyul-qayyụm, lā ta`khużuhụ sinatuw w* lā na`ụm, lahụ mā fis-samāwāti w* mā fil-arḍ ...." Nasw* membacakan ayat kursi seperti mengusir jin syetan. Syukurlah agar pura-pura kesurupanku cepat berakhir. Capek juga karena akting ini harus profesional. Mungkin juga aku bisa mengalahkan akting BCL, he he.

 

Aku memberonta sambil melangkah mundur. Seperti orang kesurupan dibacakan ayat Allah. Tujuanku mundur agar pura-pura pingsan di sofa panjang, jika di lantai pasti tidak enak. 

 

"Man żallażī yasyfa'u 'indahū illā bi`iżnih, ya'lamu mā baina aidīhim w* mā khalfahum, w* lā yuḥīṭụna bisyai`im min 'ilmihī illā bimā syā ...." Nasw* terus melanjutkan membaca ayat kursi. Dan akhirnya aku berhasil mencari tempat empuk untuk pura-pura pingsan.

 

"Aah!" Tubuhku kuhempaskan di sofa panjang. Memejamkan mata, pura-pura pingsanku berhasil.

 

'huh, leganya, capek juga,' bathinku sambil bernafas lega menikmati empuknya sofa.

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (21)
goodnovel comment avatar
Jitro Paparang
sumpah,,bikin Ngakak ......
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Ya Allah ngakak sampe sakit perut bhahahaha
goodnovel comment avatar
Vhia Vhioletta
novel yg lain untuk membuka kunci cm 14, ini 20 mahal bgt...balik badan deh nyari novel lain
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status