❤️TAMAT❤️ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahu( Kata-kata itu do'a )Aku tersentak saat mas Feri tiba-tiba berada di depan pintu. Dan ini bertepatan waktu aku dilamar mas Adam.Beberapa bulan ini, mas Adam mendekatiku. Awalnya ia hanya mengantarkan putrinya berkunjung. Tapi lama kelamaan kami berkomunikasi nyambung dan aku pun merasa nyaman. Setelah masa iddah berakhir, baru secara jelas mengatakan ingin menikahiku."Sebentar kupanggilkan Naswa," ucapku bangkit dari duduk. Belum juga memberi jawaban ke mas Adam."Mau gabung di sini, Pak Feri?" tanya mas Adam ramah."Tunggu, Sarah! Bisakah aku bicara dengan Pak Adam?" pinta mas Feri. Tawaran mas Adam diabaikan sejenak."Tapi, bu
"Mas kok rapi sekali? Bukankah sekarang hari minggu?" tanyaku sambil meletakan secangkir kopi di meja."Ada orang dari kantor pusat datang, mau tak mau ya harus kerja, Sar," jawab mas Feri sambil menggulung lengan kemejanya hingga pertengan pergelangan.Ada rasa mengganjal. Biasanya ke kantor tak pernah pakai kemeja putih polos. Tapi kuabaikan karena merasa tak mungkin jika mas Feri mengkhianatiku. Kami sudah punya seorang putri, perekenomian keluarga bisa dibilang lebih dari cukup karena punya warisan orang tuaku, seperti tiga ruko yang kukontrakan. Rumah pun sudah punya karena ini rumah peninggalan orang tuaku juga. Dalam keseharian, aku juga membuka mini market tepat di samping rumah.Apa lagi yang kurang? Bahkan aku tak pernah ingkar memenuhi kebutuhan bathin suamiku. Tak masalah gaji mas Feri tak seberapa, toh aku juga punya uang. Tiap
Aku bisa saja menghentikan saat suamiku mengucapkan ijab kabul. Tertahan lantaran ingin melihat reaksi ibu mertua dan ipar-iparku. Selama ini akulah yang banyak membantu keuangan mereka. Di sini lah aku ingin membuktikan langsung bagaimana perlakuan mereka sesungguhnya di belakangku."Ma, ayo pulang," bisik Naswa.Dadaku sesak. Rasanya tak menyangka kalau mereka tega melakukan ini padaku. Tapi apa alasan mas Feri berbuat ini? Apa salahku. Bahkan aku sudah menunjukan bakti sebagai istri dan menantu ibunya."Mudah-mudahan tetap langgeng dan bahagia dunia akhirat," ucap Mbak Imar memberi selamat ke adik dan adik ipar barunya.Layaknya pengantin baru. Raut wajah suamiku dan istri barunya seperti dua insan sedang jatuh cinta hingga berbunga-bunga. Umur tidak menghalangi keinginanya punya istri
"Tapi, Bu, aku belum butuh karyawan baru, dan rumahku juga tak terlalu kotor hingga repot minta bantuan untuk bersih-bersih."Kutolak permintaan ibu mertua dan kakak ipar secara halus. Bukan tanpa sebab, hanya ingin melihat sejauh mana usaha mereka. Dari cara Tuti menyapa dan leluasa ingin ke dapurku, ini sudah menandakan ia inginkan sesuatu dari rumah ini. Dan mereka mempelancar usaha Tuti."Sarah, kamu tak usah bayar Tuti, ia hanya numpang berteduh hingga suaminya datang menjeput," ucap ibu kukuh agar aku menerima Tuti.Suami yang mana? Suamiku juga? Dasar pembohong!"Iya, Sar, lagian biaya makan Tuti tidak begitu banyak, aku rasa tidak memberatkan kok." Mbak Imar juga berusaha meyakinkanku."Mm tapi, kok tidak tinggal di rumah Ibu saja, lagian aku jarang di rumah ka
"Ini lapnya, Mas." Tuti langsung menyodorkan tisu yang diambil dari meja. Padahal meja itu di depanku dan jaraknya lebih dekat. Tapi aku tetap duduk bersandar dan kali ini menyilangkan kaki."Makasih, Tut," ucap mas Feri memerima tisu itu."Kamu kenapa sih, Mas?""Tanganku licin, Sar.""Kirain terkejut dengar ucapanku.""Kalau gitu aku permisi ke kamar dulu, Mbak, Mas,' ucap Tuti seperti menghindar."Tunggu, Tut!""Iya, Mbak?" ucap Tuti membalikan badan."Ini kopi kamu yang bikin?""Iya, Mbak, ini untuk Suami Mbak," jawab Tuti melihat sekilas ke mas Feri."Kamu tau
"Maaf, Mas, aku kan nggak tau, scara mimpi loh." Aku memasang muka seperti merasa bersalah dan kasihan melihatnya. Tepatnya di hatiku bilang 'rasain lo! emang enak' Astagfirullah'alaziim, maafkan hamba jadi istri yang durhaka ya Allah. Aamiin. "Aduh! Sakit, Sar, untung hidungku tidak patah." Mas Feri memegang hidungnya dengan ekspresi muka mengernyit kesakitan. Akan tetapi dalam hatiku ada sebuah penyesalan besar. Bahkan penyesalan ini tak ada gunanya karena acara sudah selesai. Penyesalanku yaitu 'Kok tinjuku kurang kuat ya? Belum puas rasanya sebelum hidungmu patah, Mas'. Andaikan waktu bisa diputar, pasti kupasang tenaga super meninju hidungnya, bukan hanya hidung tapi juga antenanya. Ah, sudah lah, masih banyak waktu kok. Mudah-mudahan cita-cita ini tercapai. "Mari kita obatin, darah mengalir di bibirmu, Mas." "Ambil kotak P3k, Sar, cepat! sakit nih." "Iya iya," jawabku lalu beranjak ke luar. Huh! Menyusahkan saja. Mana mataku mulai ngantuk. Terpaksa ke ruang tengah menga
"Sarah! Aduh! Ia kenapa?" Ibu mertua terlihat panik berdiri memegang pipinya yang bekas kutampar. Kasihan juga, ia seumuran almarhum ibuku. Tapi rasa sakit dengan apa yang kualami menghilangkan rasa hormatku padanya."Ha ha ha, mmmmhg ha ha ha." Aku tertawa besar sambil melototi mereka satu persatu. Rasanya ingin kupatahkan tangan mereka satu persatu.Mereka mempermainkan kehidupan rumah tanggaku. Aku tak terima! Padahal aku sudah berkorban banyak. Aku kesal! Aku marah!Rasa amarahku melihat mereka, membuat tanganku ingin mengambil sapu yang tak jauh dari sofa karena tadi Tuti sedang menyapu. Seperti seseorang lepas kendali, kupukuli mereka satu persatu."Ugh!" Kupukul punggung mas Feri dengan tangkai sapu, lalu ...."Uhg!" Tangkai sapu melayang k
"Mama sudah sadar, Mama sudah sadar, Nek," ucap Naswa terdengar senang. Mataku kubuka, lalu kupejam lagi mata sambil memegang kepala dengan ekspresi mengernyit, layaknya orang pusing. Lama-lama jadi ngantuk. Memukul mereka seperti olah raga hingga keringatku bercucuran. Seru-seru capek tapi ada leganya."Benaran, Nas? Nenek takut Mamamu kambuh lagi," jawab ibu mertua terdengar khawatir."Iya, Nek," jawab Naswa sambil mencubit pelan tanganku bentuk memberi kode."Naswa ...." Kali ini aku bersuara loyo, dan mata dibuka sambil melihat sekitar, harus terlihat kebingungan seperti orang baru sadar dari pingsan."Mama, Alhamdulillah Mama sadar, aku sangat khawatir." Loh, Naswa sejak kapan pintar akting.Maafkan hamba yang memberi pelajaran tak baik untuk putri