Share

2. Gadis Kampung

Sepasang mata bulat milik Jena mengerjab beberapa kali melihat dua orang lelaki yang sedang duduk di ruang tamu bersama Bik Ijah. Wajah kedua lelaki itu terlihat asing di matanya.

Bik Ijah pun beranjak dari tempat duduknya lantas menghampir Jena yang masih berdiri di depan pintu. "Kenapa baju Non Jena bisa kotor kayak gini?"

"Jena tadi nggak sengaja jatuh ke sawah waktu nyari cacing buat umpan mancing, Bik," jawab Jena sambil melirik Abi dan Dewangga yang sedang menatapnya.

"Mereka siapa, Bik?" tanyanya ingin tahu.

"Mereka tamu dari kota. Non Jena buruan mandi, gih. Jangan lupa pakai baju yang agak bagusan dikit."

Kening Jena berkerut dalam. Dalam hati dia bertanya-tanya kenapa Bik Ijah memintanya untuk memakai pakaian yang bagus di depan tamu mereka.

"Memangnya kena—"

"Sudah, jangan banyak tanya. Cepat mandi sana." Bik Ijah mendorong Jena masuk ke dalam setelah itu kembali menemui Abi dan Dewangga.

"Maaf, kalau penampilan non Jena membuat Anda merasa risih, Pak," ucap Bik Ijah terdengar sungkan.

Dewangga tersenyum hangat. "Anda tidak perlu minta maaf. Lagi pula kami memakluminya. Iya kan, Bi?"

Kening Abi berkerut dalam mendengar pertanyaan Dewangga barusan.

Maklum?

Haruskah dia memaklumi penampilan calon istrinya yang kotor seperti itu?

Seharusnya Jena menunjukkan sisi terbaiknya di awal pertemuan mereka, bukan malah berpenampilan kotor seperti itu.

Abi benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran sang ayah yang ingin menjodohkannya dengan gadis kampung yang penampilannya mirip orang-orangan sawah seperti Jena. Padahal dia bisa saja mencari calon istri yang lebih cantik dari pada Jena.

"Bi?"

Abi tergagap karena Dewangga menyikut lengannya. Sedetik kemudian dia mengangguk pelan.

Bik Ijah tersenyum. Ada perasaan hangat yang menjalari hatinya karena Abi dan Dewangga tidak mempermasalahkan penampilan Jena. Bik Ijah sekarang yakin kalau Abi memang pantas mendampingi gadis yang sudah dia anggap seperti anak kandung sendiri itu.

Mereka pun terlibat obrolan sembari menunggu Jena selesai membersihkan diri. Dewangga banyak bertanya pada Bik Ijah tentang insiden buruk yang dialami oleh Jena sepuluh tahun lalu.

Saat itu dia mendapat kabar dari Fabian kalau Jena diculik. Dia tidak bisa membantu Fabian mencari Jena karena saat itu sedang pergi ke luar negeri untuk menemani istrinya berobat. Selang seminggu kemudian dia mendengar kabar kalau Jena berhasil ditemukan. Namun, di hari itu juga dia mendapat kabar kalau Fabian dan Natasha mengalami kecelakaan hebat yang merenggut nyawa mereka.

Sejak saat itu dia tidak pernah tahu bagaimana kabar Jena karena fokus pada pengobatan istrinya.

"Saya yakin sekali tuan Sanjaya yang menjadi dalang di balik kecelakaan yang dialami oleh tuan Fabian dan nyonya Natasha. Tuan Sanjaya sengaja melenyapkan tuan Fabian dan nyonya Natasha agar bisa menguasai harta mereka." Kedua tangan Bik Ijah mengepal kuat. Ada amarah yang tersirat di dalam ucapannya.

Dewangga hanya diam mendengarkan penuturan Bik Ijah. Sementara Abi malah asyik men-scroll layar ponselnya karena dia tidak minat dengan pembicaraan mereka.

Dewangga sebenarnya juga curiga dengan Sanjaya karena adik kandung Fabian itu selalu memberi jawaban yang berbeda-beda setiap kali dia bertanya di mana keberadaan Jena. Namun, dia tidak mempunyai bukti yang cukup kuat untuk membongkar kejahatan Sanjaya.

"Tuan Sanjaya bahkan ingin melenyapkan non Jena. Untung saja saat itu saya berhasil membawa non Jena pergi dari rumahnya."

Wajah Dewangga mengeras, rahangnya pun mengatup rapat. Amarah tergambar jelas di wajahnya setelah mendengar cerita Bik Ijah.

Sedikit pun Dewangga tidak pernah menyangka Sanjaya tega membunuh kakak kandungnya sendiri demi uang dan kekuasaan. Sanjaya bahkan ingin melenyapkan Jena padahal gadis itu masih sangat kecil dan belum mengerti apa-apa.

Sanjaya benar-benar jahat.

Untung saja dia berhasil menemukan Jena. Jika tidak, dia akan merasa menyesal seumur hidupnya karena tidak bisa melaksanakan amanah terakhir Fabian.

Jena menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi sesak yang menghimpit dadanya karena tanpa sengaja mendengar cerita Bik Ijah dari dalam kamar. Tipisnya dinding penyekat antar ruangan membuat Jena bisa mendengar dengan jelas apa yang sedang Bik Ijah katakan pada Dewangga.

Kejadian mengerikan tersebut memang sudah lama berlalu. Namun, Jena masih bisa mengingat dengan jelas ketika seorang lelaki berpakaian serba hitam membekap mulutnya dengan sangat kuat lalu membawanya ke sebuah rumah kosong yang berada di tengah hutan.

Mereka mengurungnya selama beberapa hari di sana dan memaksanya untuk membaca cerita tentang penculikan yang membuatnya trauma hebat sampai sekarang.

"Non Jena."

Jena tergagap lantas cepat-cepat menghapus air mata yang tanpa sadar membasahi pipinya karena Bik Ijah datang menghampirinya.

"Iya, Bik?"

Bik Ijah tersenyum menatap Jena yang tampak ayu memakai kaus putih dan rok plisket berwarna cokelat muda yang panjangnya dibawah lutut.

Sebenarnya Bik Ijah ingin sekali membeli baju yang lebih bagus untuk Jena. Namun, dia masih belum punya cukup uang. Semoga saja Jena kelak bisa memakai pakaian yang lebih bagus setelah menjadi istri Abi.

"Tamu kita sudah nungguin Non Jena dari tadi. Ayo, keluar, Non." Bik Ijah ingin mengajak Jena menemui Abi dan Dewangga, tapi gadis itu malah menahannya.

"Mereka siapa sih, Bik? Kenapa mereka ingin ketemu sama, Jena?"

"Nanti Non Jena juga tahu," jawab Bik Ijah sambil tersenyum penuh arti.

Entah kenapa jantung Jena berdetak tidak nyaman. Telapak tangannya pun terasa dingin dan basah karena Bik Ijah mengajaknya menemui dua orang lelaki yang tidak dia kenal.

Abi memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana karena calon istrinya sudah datang. Sepasang mata abu-abu miliknya menatap Jena dari atas sampai bawah untuk menilai penampilannya. Ternyata Jena mempuyai wajah yang lumayan cantik. Hanya saja penampilan gadis itu sedikit kampungan. Abi yakin sekali Jena pasti tidak kalah cantik dari artis yang sering muncul di layar televisi jika wajahnya diberi sedikit riasan dan memakai pakaian yang bagus.

Jena tanpa sadar meremas kesepuluh jemari tangannya karena tatapan lelaki berkaca mata yang duduk tepat di hadapannya membuat perasaannya mendadak tidak nyaman.

"Non Jena kenalkan, dia Pak Dewangga dan ini putranya, Mas Abi."

Jena mengangkat kepalanya perlahan, menatap dua orang lelaki yang sedang tersenyum hangat pada dirinya lantas memperkenalkan diri.

"Sa-saya Jena," ucapnya terdengar gugup sambil menyalami Abi dan Dewangga bergantian.

Abi nyaris saja tertawa karena telapak tangan Jena terasa sangat dingin ketika bersalaman dengannya. Sepertinya calon istrinya itu merasa sangat gugup sekarang.

"Senang bisa bertemu denganmu, Jena," ucap Dewangga ramah.

Jena mengangguk kaku menanggapi ucapan Dewangga barusan. Jujur, dia tidak tahu tujuan Dewangga datang menemuinya.

"Pak Dewangga ini teman baik almarhum ayah Non Jena. Dia datang jauh-jauh dari kota karena ingin menjodohkan Non Jena dengan Mas Abi."

"APA?" Jena tersentak mendengar ucapan Bik Ijah barusan.

[Bersambung]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status