Share

3. Debaran Halus

"Bibik bercanda, kan?" Reaksi Jena sama persis dengan Bik Ijah ketika mendengar Dewangga yang ingin menjodohkan Jena dengan Abi sesuai janji yang sudah dia buat bersama Fabian. Jena terkejut bukan main karena dia baru pertama kali ini bertemu dengan Abi.

"Non Jena, dengerin Bik Ijah dulu. Pak Dewangga ingin menjodohkan Non Jena dengan Mas Abi demi memenuhi amanah terakhir ayah Non Jena."

"Benarkah?" Jena menatap wanita yang sudah merawatnya sejak kedua orang tuanya meninggal itu dengan pandangan tidak percaya.

Bik Ijah mengangguk.

"Maaf kalau ucapan om membuatmu terkejut, Jena."

Jena sontak menoleh, menatap lelaki paruh baya yang duduk di hadapannya. Dewangga terlihat sangat tegas dan berwibawa. Pembawaannya yang tenang membuat Jena seolah-olah melihat sosok ayahnya yang sudah meninggal dalam diri Dewangga.

Dewangga menarik napas panjang sebelum bicara. "Lima belas tahun yang lalu, om dan almarhum ayahmu berjanji akan menjodohkan anak kami jika mereka sudah dewasa. Karena itu om sekarang ingin menjodohkanmu dengan Abi untuk memenuhi amanah terakhir ayahmu. Bagaimana, Jena? Apa kamu mau menerima perjodohan ini?"

Tidak ada nada paksaan di dalam pertanyaan yang Dewangga tunjukkan untuk Jena. Dia menyerahkan semua keputusan pada Jena, meskipun dia sangat berharap gadis itu mau menerima perjodohan ini.

Jena tidak menjawab. Gadis itu malah memainkan ujung kausnya hingga kusut sambil melirik lelaki yang duduk tepat di sebelah Dewangga.

Jena akui Abi memiliki wajah yang cukup tampan. Melihat dari penampilannya yang rapi, Jena yakin sekali Abi orang yang sangat pintar dan berpendidikan. Selain itu Abi sepertinya business man yang sukses dan mapan dari segi finansial.

Dengan wajah tampan, pendidikan tinggi, dan kekayaan yang dimilikinya, Jena yakin sekali pasti banyak perempuan yang mengantre ingin menjadi istri Abi. Namun, kenapa Abi malah mau dijodohkan dengan gadis kampung seperti dirinya?

Bukankah ini aneh?

"Bagaimana, Jena?" Dewangga kembali bertanya karena Jena tidak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Saya bingung, Pak."

Dewangga tersenyum hangat. "Bingung kenapa?"

"Saya belum begitu kenal sama—" Jena menggigit bibir bagian bawahnya sambil melirik Abi dengan takut-takut.

"Panggil saja mas Abi."

Jena terenyak. Kedua matanya menatap Abi dengan pandangan tidak percaya karena lelaki itu akhirnya membuka suara setelah sekian lama terdiam. Sedetik kemudian Jena kembali menunduk. Kedua tangannya tanpa sadar memilin ujung kausnya semakin erat menahan debaran halus yang menggelitik jantungnya karena melihat senyum manis Abi.

"Em, Mas Abi," ucapnya malu-malu.

Gadis itu ... sangat polos, pikir Abi. Baru pertama kali ini dia melihat gadis yang begitu polos seperti Jena karena gadis yang sering dia temui di kota kebanyakan terlalu agresif.

"Kalau begitu, om akan memberi kamu waktu untuk memikirkannya. Tapi om berharap kamu mau menerima perjodohan ini, Jena," ucap Dewangga setelah melihat benda mungil bertali yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

Tidak terasa sekarang sudah jam dua siang. Dia harus segera pulang agar tidak kemalaman di jalan. Tidak lupa dia meninggalkan kartu namanya agar Jena bisa menghubunginya sewaktu-waktu jika sudah mengambil keputusan. 

Jena hanya bisa mengangguk dan mempersilakan tamunya untuk pulang. Sedetik kemudian dia cepat-cepat menundukkan kepala karena tatapan kedua matanya tanpa sengaja bertemu dengan Abi. Entah kenapa Jena merasa gugup bukan main berada di dekat lelaki itu.

"Pak Dewangga, tunggu sebentar." Bik Ijah cepat-cepat menghampiri Dewangga yang ingin masuk ke mobil sambil membawa satu kantong plastik berwarna hitam.

"Saya ada sedikit teh buatan Non Jena untuk Bapak. Mohon diterima."

"Kenapa repot-repot, Bik? Anda tidak perlu memberi teh ini untuk kami." Mulut Dewangga memang berkata demikian, tapi tangannya menerima plastik hitam yang diulurkan Bik Ijah.

"Istri saya pasti suka dengan teh ini. Terima kasih banyak, Bik."

"Sama-sama, Pak." 

Dewangga pun masuk lebih dulu ke dalam mobil, tapi Abi malah memperhartikan Jena yang berdiri di depan pintu.

"Jena!" panggilnya.

Jena tersentak, jantungnya berdetak hebat karena Abi memanggil namanya. "I-iya, Mas?"

"Mas pulang dulu, ya? Jaga dirimu baik-baik." Abi masuk ke dalam mobilnya setelah mengatakan kalimat tersebut pada Jena lantas mengemudikan mobil SUV miliknya meninggalkan halaman rumah Bik Ijah.

Jena berdiri mematung di depan pintu. Sebenarnya tidak sedikit pemuda di kampung yang ingin meminangnya sebagai istri. Namun, Jena selalu menolak karena pemuda-pemuda tersebut tidak ada yang berhasil menggetarkan hatinya. Akan tetapi jantungnya sekarang berdebar hebat karena melihat senyum manis Abi.

Apa dia sudah tertarik pada lelaki yang akan dijodohkan dengannya itu?

[Bersambung]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status