Share

4. Meyakinkan Jena

"Non Jena ayo, masuk. Jangan melamun di depan pintu terus."

Jena tergagap mendengar ucapan Bik Ijah barusan lantas cepat-cepat kembali masuk ke dalan rumah. Tanpa disuruh, gadis itu membawa cangkir kotor bekas Abi dan Dewangga ke belakang untuk dicuci.

Aroma musk yang menguar dari tubuh Abi masih belum hilang, padahal lelaki itu sudah pergi meninggalkan rumahnya. Dan entah kenapa, jantungnya kembali berdebar-debar ketika mengingat lelaki berkaca mata itu.

"Aduh, Non Jena. Kenapa repot-repot mencuci piring segala, sih? Sini, biar Bik Ijah saja yang nyuci."

"Nggak papa kok, Bik. Lagian Jena sudah biasa." Jena tetap meneruskan pekerjaannya padahal Bik Ijah sudah berulang kali melarang. Wanita paruh baya itu bahkan masih memanggil 'Nona' dan memperlakukaannya seperti seorang majikan padahal beliau sudah tidak menjadi pembantunya lagi.

"Soal lamaran pak Dewangga tadi gimana, Non?"

Tangan Jena sontak berhenti membilas piring ketika mendengar pertanyaan Bik Ijah. "Jena bingung, Bik."

"Kenapa bingung?"

Jena menaruh gelas dan piring yang sudah selesai dicuci ke rak piring. "Jena belum begitu kenal sama mas Abi."

"Mas Abi kayaknya orang baik, Non. Lagi pula, almarhum tuan Fabian dan pak Dewangga sudah berjanji ingin menjodohkan Non Jena dan mas Abi."

"Jena nggak tahu, Bik." Jena beranjak ke kamar setelah selesai mencuci piring, Bik Ijah pun mengikutinya.

"Amanah orang yang sudah meninggal itu harus dilaksanakan, Non. Apa lagi ini amanah almarhum ayah Non Jena sendiri."

Jena menghela napas panjang lantas mendudukkan diri di tepi ranjang. Jujur, dia belum siap untuk berumah tangga meskipun gadis yang tinggal di kampung sepertinya sudah banyak yang menikah, bahkan memiliki anak. Lagi pula dia tidak tega meninggalkan Bik Ijah tinggal di rumah sendirian karena dia pasti akan ikut Abi jika mereka sudah menikah nanti.

"Jena takut, Bik."

"Kenapa takut, Non?" tanya Bik Ijah tidak mengerti.

Jena menarik napas panjang sebelum bicara. "Jena nggak tega ninggalin Bik Ijah sendirian kalau sudah menikah dengan mas Abi ."

Bik Ijah tersenyum hangat lantas meraih kedua tangan Jena dan menggenggamnya lumayan erat. Kedua sorot matanya begitu hangat dan meneduhkan membuat Jena merasa tidak kehilangan sosok ibu meskipun ibu kandungnya sudah lama meninggal.

"Non Jena nggak usah khawatir karena bibik sudah biasa tinggal sendiri. Lagi pula di rumah ini masih ada Jeno." Bik Ijah terkekeh pelan membayangkan ayam jantan perliharaannya yang diberi nama Jeno oleh Jena.

"Bibik ...." Jena memberenggut kesal karena Bik Ijah malah mengajaknya bercanda padahal mereka sedang membahas masalah serius sekarang.

"Maaf, Non." Bik Ijah tidak bisa menahan tawanya melihat Jena yang memberenggut kesal. Gadis itu masih saja terlihat menggemaskan meskipun usianya sudah dua puluh tahun.

"Bagaimana kalau Bibik ikut tinggal bersama Jena?"

Bik Ijah dengan tegas menggeleng karena dia ingin menghabiskan masa tua di tanah kelahirannya. Lagi pula dia tidak bisa tinggal jauh dari mendiang suaminya yang dimakamkan di kampung ini.

"Yah ...." Jena mengembuskan napas panjang. Di satu sisi dia ingin menerima perjodohan ini demi memenuhi amanah terakhir sang ayah. Akan tetapi di lain sisi dia tidak tega meninggalkan Bik Ijah sendirian.

Apa yang harus Jena lakukan?

"Non." Bik Ijah mempererat genggaman tangannya. "Bik Ijah yakin sekali mas Abi orang baik. Kalau tidak baik pak Dewangga tidak mungkin menjodohkan Non Jena dengan mas Abi. Bibik Juga yakin ... sekali kalau hidup Non Jena pasti akan lebih bahagia setelah menikah dengan mas Abi."

"Benarkah?"

Bik Ijah mengangguk. Tidak ada keraguan yang terpancar dari kedua sorot matanya. Bik Ijah hanya berharap kebahagiaan bagi Jena, dan dia yakin sekali Abi pasti bisa mewujudkannya.

"Tolong terima perjodohan ini, Non. Bibik mohon ...."

Jena malah terdiam dengan perasaan yang tidak karuan. Haruskah dia menerima perjodohan ini?

***

Abi tidak pernah mengalihkan pandang dari jalanan yang ada di hadapannya karena salah memilih jalan sedikit, bisa dipastikan mobil SUV miliknya akan terjebak di dalam lumpur.

"Santailah sedikit, Bi. Jangan terlalu tegang," ucap Dewangga sambil mengusap lengan putra sulungnya itu.

"Ayah lebih baik diam kalau tidak ingin mendengar Abi mengumpat," desis Abi terdengar kesal karena Dewangga sejak tadi hanya mengoceh tanpa memberi bantuan apa-apa.

Dewangga malah terkekeh. Lelaki yang rambutnya sebagian sudah beruban itu memang suka bercanda. Namun, di balik sifatnya itu Dewangga sosok ayah yang sangat sayang dan perhatian pada keluarga.

"Ayah ucapkan banyak-banyak terima kasih karena kamu mau menuruti permintaan ayah, Bi."

"Hanya terima kasih?"

Dewangga kembali terkekeh. "Ayah akan menaikkan jabatanmu di perusahaan sesuai dengan kesepakatan yang sudah kita buat."

Abi tersenyum senang. Selain untuk memenuhi janji yang dibuat oleh kedua orang tuanya dan Jena, Abi mau menerima perjodohan ini untuk mendapatkan posisi yang sudah lama dia incar di perusahaan ayahnya.

"Dasar licik!" Dewangga tersenyum miring melihat senyum tipis yang menghiasi bibir tipis Abi.

"Memang," sahut Abi cuek karena sebagian besar sifat Dewangga menurun pada dirinya. Dia tidak mungkin mau menerima perjodohan ini jika tidak menguntungkan dirinya.

"Bagaimana pendapatmu tentang, Jena?" tanya Dewangga tiba-tiba karena dia ingin tahu bagaimana kesan pertama Abi ketika melihat gadis itu.

"Biasa saja."

Dewangga memutar bola mata malas karena Abi jawaban Abi sangat singkat. "Jawab pertanyaan ayah lebih jelas, Bi."

"Lebih jelas gimana?" Abi menambah laju kecepatan mobilnya setelah berhasil melewati jalanan berlumpur tadi. Sepertinya dia harus membawa mobilnya ke bengkel untuk diperiksa jika sudah tiba di kota.

"Beri tahu ayah kesan pertamamu saat melihat Jena."

"Haruskah?" tanya Abi sambil mengangkat sebelah alisnya. Ekspresi lelaki 28 tahun itu terlihat sangat menyebalkan di mata Dewangga.

"Iya," sahut Dewangga malas.

Abi menghela napas panjang sebelum bicara. "Tubuh kurus, dada rata, bokong tidak padat, penampilannya kampungan—"

Mulut Dewangga menganga lebar. Dia tidak pernah menyangka kalimat kasar seperti itu yang keluar dari bibir Abi. 

"Stop, Bi. Jangan diterusin lagi."

"Memangnya kenapa?"

"Ayah tidak tahan mendengarnya."

Abi terkekeh pelan. "Abi kan, cuma ingin berkata jujur, Yah."

"Ayah tahu, tapi jawabanmu tidak masuk akal." 

"Tidak masuk akal gimana maksud, Ayah?" tanya Abi tidak mengerti.

"Menurut ayah dada Jena tidak terlalu rata. Selain itu wajahnya lumayan cantik."

"Memang." Abi akui kalau Jena memiliki wajah yang lumayan cantik. Hanya saja penampilan gadis itu sedikit kampungan.

"Bahkan lebih cantik dari pada Dea."

Wajah Abi berubah pias, kedua tangannya tanpa sadar mencengkeram kemudi dengan erat hingga buku-buku jarinya gemetar karena mendengar nama perempuan yang disebut oleh Dewangga.

Dia, Deandra Puspita. Mantan kekasihnya sejak duduk di bangku SMA. Abi terpaksa mengakhiri hubungannya dengan Dea karena wanita itu lebih memilih lelaki yang dijodohkan oleh kedua orang tuanya.

Bagaimana kabar Dea sekarang?

Apa wanita itu hidup bahagia dengan lelaki pilihannya?

Abi tidak tahu bagaimana kabar Dea sejak hubungan mereka berakhir karena dia ingin melupakan perasaannya pada wanita itu. Namun, sampai sekarang tidak ada perempuan yang berhasil menggeser nama Dea dari hatinya.

"Kamu juga berhak bahagia, Bi. Ayah harap kamu akan hidup bahagia bersama Jena," ucap Dewangga terdengar tulus karena Abi seolah-olah kehilangan sebagian hidupnya setelah berpisah dengan Dea.

Dia ingin melihat Abi hidup bahagia dengan Jena dan melupakan sakit hatinya pada Dea.

Abi masih terdiam. Apakah Jena mampu membuatnya melupakan perasaannya pada Dea?

[Bersambung]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status