Share

5. Penerimaan

"Jena, Jena, bangun!" Jena mengerjapkan kedua matanya perlahan karena merasa tubuhnya diguncang oleh seseorang lumayan kencang.

Kening gadis itu berkerut dalam menatap seorang gadis berkepang dua yang berada di hadapannya.

"Ambar?" gumamnya terdengar serak khas orang bangun tidur. "Kenapa kamu ke rumahku pagi-pagi sekali?"

"Pagi-pagi sekali katamu?" ucap gadis bernama Ambar itu penuh dengan tekanan.

Jena mengangguk polos. Gadis itu belum menyadari kalau matahari sudah bersinar terang dibalik jendela kamarnya yang masih tertutup gorden.

"Coba kamu lihat sekarang jam berapa?"

Jena pun menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Kedua mata gadis itu sontak membulat karena jarum pendek menunjuk angka sembilan, sementara jarum panjang menunjuk angka dua belas.

Pukul 09.00 pagi.

"Astaga! Kenapa aku baru bangun?" Jena cepat-cepat menyibak selimut yang menutupi tubuhnya lantas merapikan tempat tidurnya yang berantakan.

"Mana aku tahu," ucap Ambar sambil mengangkat kedua bahunya ke atas.

Semalam Jena memang sulit tidur karena memikirkan perjodohan yang diatur oleh almarhum ayahnya dan Dewangga. Sampai sekarang gadis itu belum memberi keputusan karena masih bingung.

Jena mengikat rambut cokelatnya dengan asal sebelum keluar dari kamarnya. Dia ingin meminta maaf pada Bik Ijah karena bangun kesiangan dan tidak sempat membantu wanita itu membersihkan rumah. Semoga saja Bik Ijah sudah pulang dari kebun.

"Eh ...." Jena terkejut karena Ambar malah menariknya ke depan, padahal dia ingin menemui Bik Ijah di kamar.

"Ikut aku!"

"Ke mana?"

"Nanti kamu juga tahu." Ambar terus menarik Jena ke depan. Jena pun pasrah dan mengikuti keinginan gadis yang sudah menjadi sahabat baiknya sejak tinggal di kampung bersama Bik Ijah.

"Lihat itu!"

Jena pun mengikuti arah telunjuk Ambar. Kedua mulut gadis itu sontak menganga lebar melihat beberapa orang sedang menurunkan sofa, televisi, lemari es, dan perabot rumah tangga lainnya dari sebuah mobil pick up.

Jena yakin sekali mereka pasti salah kirim karena dia tidak merasa memesan atau membeli barang-barang tersebut. Jena pun menghampiri lelaki berbaju biru yang dia yakini sebagai sopir agar memerintah teman-temannya untuk menaikkan barang-barang tersebut kembali ke mobil.

"Pak, maaf sebelumnya. Sepertinya Bapak salah alamat karena saya tidak pernah memesan semua barang-barang ini."

Kening lelaki berbaju biru itu berkerut dalam mendengar ucapan Jena barusan lantas mencocokkan alamat yang tertulis di surat kirim yang dia terima dari atasannya dengan alamat rumah Bik Ijah.

"Tapi saya sudah datang ke alamat yang tepat, Mbak."

"Benarkah?" tanya Jena tidak percaya.

"Kalau Mbak tidak percaya, Mbak bisa lihat sendiri surat ini." Lelaki itu menunjukkan surat bukti kirim yang dibawanya pada Jena.

Kening Jena berkerut dalam, setitik keringat dingin pun keluar membasahi pelipisnya. Mulut gadis itu bergumam tidak jelas melihat sederet kalimat yang tertulis di kertas berwarna putih tersebut.

"Sini, biar aku saja yang baca." Ambar merebut surat bukti kirim tersebut dari tangan Jena lalu membacanya dengan teliti.

Ternyata orang tersebut berkata jujur karena alamat tujuan yang tertulis di surat tersebut memang alamat rumah Bik Ijah.

Mulut Ambar sontak menganga lebar karena orang yang mengirim barang-barang tersebut adalah Dewangga. Ayah dari lelaki yang akan dijodohkan dengan Jena.

"Gila!" pekik Ambar tanpa sadar.

"Siapa yang gila, Mbar?" tanya Jena polos.

"Lihat ini, Jen!" Ambar menunjukkan surat tersebut pada Jena. Di surat itu tertulis jelas orang yang mengirim barang-barang tersebut adalah Dewangga.

Jena pun melihat surat yang ditunjukkan oleh Ambar. Namun, gadis itu tetap saja tidak paham. Ambar pun akhirnya memberi tahu Jena kalau orang yang mengirim barang-barang tersebut adalah Dewangga.

"Serius?" tanya Jena tidak percaya sekaligus kaget.

"Kamu nggak percaya sama aku?" Ambar malah balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Jena.

Jena menggeleng karena dia sangat mempercayai Ambar. Namun, untuk apa Dewangga mengirim barang-barang tersebut pada dirinya?

Apa ini salah satu cara yang Dewangga lakukan untuk membujuknya supaya mau dijodohkan dengan Abi?

Sebuah mobil pick up tiba-tiba memasuki halaman rumah Bik Ijah. Mobil tersebut membawa sembako dan beberapa pakaian untuk Jena dan Bik Ijah, serta para tetangga yang tinggal di sekitar rumah mereka.

"Gila! Orang tua calon suamimu kaya banget, Jen!" komentar Ambar sambil melihat-lihat pakaian yang Dewangga kirim untuk Jena. Semua terlihat bagus dan Ambar yakin sekali harganya pasti jauh lebih mahal dari pakaian yang Jena pakai sehari-hari.

Jena tidak menanggapi komentar Ambar karena perasaannya mendadak gamang. Melihat kebaikan dan kemurahan hati Dewangga membuat Jena ingin sekali menerima perjodohan tersebut. Akan tetapi dia tidak tega meninggalkan Bik Ijah sendirian di rumah karena wanita itu sangat berjasa pada dirinya.

"Kalau aku jadi kamu. Aku pasti langsung menerima perjodohan itu."

"Apaan sih, Mbar?" Jena berdecak kesal karena Ambar selalu menyuruhnya untuk menerima pinangan Abi setelah dia menceritakan perjodohan yang diatur oleh almarhum ayahnya dan Dewangga sebelum meninggal.

Ambar mendesah panjang. "Mas Abi kurang apa lagi sih, Jen? Udah ganteng, mapan, kaya, ayahnya juga baik banget sama kamu. Masa kamu mau nolak?"

Jena kembali terdiam. Haruskah dia menerima perjodohan ini dan meninggalkan Bik Ijah sendirian?

Bik Ijah yang baru saja pulang dari kebun terkejut bukan main karena banyak perabot baru di rumahnya. Semua terlihat mewah dan mahal. Bik Ijah yakin sekali barang-barang tersebut pasti didatangkan dari kota.

Mata wanita tua itu terlihat berbinar ketika melihat sofa baru yang berada di dalam ruang tamu. Sebenarnya Bik Ijah ingin mengganti kursi kayu yang ada di rumahnya sejak lama karena sudah lapuk. Namun, beliau menahan keras keinginannya karena tidak mempuyai uang.

Mata Bik Ijah kembali berbinar melihat lemari es dua pintu yang berada tidak jauh darinya. Sudah lama pula wanita itu ingin membeli lemari es karena ingin berjualan es lilin. Namun, Bik Ijah harus memendam dalam-dalam keinginannya karena uang yang dia miliki hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan Jena.

"Kenapa barang-barang ini ada di rumah kita, Non? Apa ada orang yang salah kirim?" tanya Bik Ijah penasaran.

Jena menggeleng. "Tidak, Bik. Semua barang-barang ini dari pak Dewangga."

"Apa? Pak Dewangga?" Bik Ijah terkejut mendengar ucapan Jena barusan. Wanita itu tidak pernah menyangka Dewangga memberikan semua barang ini untuknya dan Jena.

Jena mengangguk. Sampai sekarang pun dia masih kaget karena Dewangga memberinya perabot rumah tangga baru, pakaian, bahkan sembako untuk dibagikan ke tetangga sekitar.

"Pak Dewangga baik banget ya, Non?"

Jena mengangguk.

"Beliau pasti menunggu keputusan, Non. Apa Non Jena sudah mengambil keputusan?"

"Em ...." Jena meremas kesepuluh jemari tangannya yang terasa dingin. Entah kenapa dia merasa gugup dan begitu kesulitan menjawab pertanyaan Bik Ijah.

"Udah terima aja," celetuk Ambar membuat Jena ingin sekali melempar kepala sahabatnya itu dengan sekaleng susu kental manis yang ada di dekatnya.

"Kalau nggak mau, biar aku saja yang nikah sama mas Abi."

"Ambar!" decak Jena terdengar kesal.

Ambar malah terkekeh tanpa dosa. Entah kenapa dia suka sekali menggoda Jena.

"Gimana, Non?" tanya Bik Ijah lagi sambil menatap Jena dengan senyum penuh arti. Wanita itu yakin sekali Jena pasti mau dijodohkan dengan Abi.

Jantung Jena berdetak tidak nyaman. Telapak tangannya pun semakin terasa dingin dan basah karena Bik Ijah dan Ambar menatapnya dengan lekat, seolah-olah tidak sabar ingin mengetahui keputusannya.

Jena pun menarik napas panjang agar perasaannya menjadi lebih tenang sebelum mengambil keputusan.

Pelan, dia menganggukkan kepala.

[ Bersambung ]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status