Share

6. Kabar Bahagia

Tidak ada satu orang pun yang tidak sibuk di kediaman Dewangga saat pagi hari. Semua orang yang tinggal di rumah mewah bak istana tersebut sudah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

Terutama pelayan.

Mereka bolak-balik dari dapur ke ruang makan untuk mengambil makanan yang sudah selesai dimasak oleh koki lalu meletakkannya di atas meja makan.

"Apa semuanya sudah siap?" tanya nyonya besar pada salah satu pelayan. Dia Anita—istri Dewangga.

"Sudah, Nyonya," jawab pelayan tersebut.

Anita pun melihat meja makan untuk memastikan apakah makanan yang dia rekomendasikan untuk menu sarapan pagi ini sudah siap dihidangkan. Ternyata koki di rumahnya bekerja dengan sangat baik karena menu yang dia rekomendasikan semalam sudah tersaji di atas meja makan.

Setelah memastikan tidak ada yang kurang, Anita kembali ke kamar untuk membantu Dewangga memakai dasi. Rutinitas itu seolah-olah menjadi pekerjaan wajib bagi Anita setelah menikah dengan Dewangga karena lelaki itu tidak bisa memasang dasi dengan benar.

"Nah, kalau begini kan, rapi."

"Terima kasih banyak, Sayang," ucap Dewangga sambil mengecup bibir Anita sekilas. Dewangga tidak pernah malu mengecup bibir Anita karena itu merupakan salah satu caranya membuat pernikahannya dan Anita tetap langgeng.

"Ibu jadi ke sini?"

Dewangga mengangguk, kemarin malam sang ibu tiba-tiba saja menelepon dan mengatakan jika ingin berkunjung ke rumahnya dengan alasan kangen sama Abi.

"Ibu pasti mau menyuruh Abi agar cepat nikah."

"Mau bagaimana lagi, Sayang. Abi itu cucu kesayangan ibu. Lagi pula umur Abi sudah sangat cukup untuk menikah."

Anita menghela napas panjang. "Tapi Mas tahu sendiri kan, kalau Abi paling tidak suka dipaksa. Kenapa ibu selalu ngotot menyuruh Abi untuk menikah? Ibu bahkan ingin menjodohkan Abi dengan cucu temannya saat berkujung ke rumah terakhir kali. Apa Mas lupa?"

Dewangga tidak mungkin lupa. Dia masih bisa mengingat dengan jelas ibunya yang marah-marah karena Abi menolak dijodohkan dengan cucu temannya. Dewangga hanya bisa diam karena menyadari kekhawatiran yang dirasakan oleh wanita yang sudah melahirkannya itu. Nenek mana yang tidak khawatir melihat cucu kesayangannya tidak kunjung menikah padahal umurnya sudah sangat matang.

Dewangga pikir tidak ada. Karena itu dia memahami betul apa yang dirasakan oleh sang ibu. Akan tetapi di lain sisi dia tidak bisa memaksa Abi untuk menuruti keinginan neneknya.

Ah, semuanya jadi terasa serba salah. Abi pun sepertinya tidak memiliki hasrat untuk menikah setelah putus dengan mantan kekasihnya.

"Bagaimana dengan gadis yang ingin kamu jodohkan dengan Abi itu? Siapa namanya?" Kening Anita berkerut dalam mencoba mengingat-ingat nama gadis yang ingin Dewangga jodohkan dengan putra sulung mereka.

"Maksudmu, Jena?"

"Nah, itu. Apa dia sudah memberi kabar?"

Dewangga menggeleng lesu. Dia pikir Jena akan langsung menghubunginya begitu dia dan Abi sudah tiba di rumah. Akan tetapi sampai sekang Jena belum juga memberi kabar.

"Apa mungkin Jena menolak dijodohkan dengan Abi?"

"Itu tidak mungkin."

"Kenapa Mas yakin sekali?"

"Feeling saja. Mas yakin sekali Jena pasti mau dijodohkan dengan Abi."

Anita memutar bola mata malas. "Terserah Mas saja. Anita cuma ingin yang terbaik buat Abi."

Dewangga tersenyum lantas menggenggam jemari Anita dengan lembut. "Kamu tenang saja. Pilihan mas tidak akan pernah salah."

Tiba-tiba saja pintu kamar Dewangga dan Anita diketuk dari luar, disusul masuknya seorang pelayan ke dalam kamar mereka.

"Maaf kalau saya mengganggu Tuan dan Nyonya. Saya ingin memberi tahu kalau Eyang Putri sudah datang."

***

Semua pelayan menunduk dalam ketika seorang nenek-nenek berusia 70 tahun berjalan angkuh memasuki kediaman Dewangga. Aura yang terpancar dari perempuan tua itu membuat siapa pun yang berada di dekatnya merasa tidak nyaman hingga ketakutan tanpa sebab.

Perempuan yang akrab disapa Eyang Putri itu berjalan mendekati seorang pelayan perempuan yang berdiri paling ujung. Pelayan tersebut tanpa sadar meremas kesepuluh jemari tangannya karena Eyang Putri menatapnya dari atas sampai bawah dengan lekat seolah-olah ingin menguliti tubuhnya.

"Kenapa rokmu pendek sekali? Apa kau ingin menggoda cucuku, hah?" Suara Eyang Putri membuat semua pelayan yang ada di sana semakin takut dan gemetar. Apa lagi pelayan yang sedang berdiri tepat di hadapannya.

Talapak tangan pelayan itu terasa semakin dingin dan basah. Jantungnya pun berdetak tidak nyaman karena tatapan Eyang Putri sangat tajam. "M-maaf, Eyang Put—"

"Maaf-maaf!" Pelayan tersebut terlonjak kaget karena dibentak Eyang Putri.

"Coba kau lihat seragam temanmu. Apa ada yang pendek seperti punyamu?" tanya Eyang Putri sambil menunjuk lutut pelayan tersebut dengan tongkat yang dibawanya.

Anita yang mendengar suara Eyang Putri bergegas ke depan agar ibu mertuanya itu berhenti membuat keributan. "Kenapa Ibu marah-marah?" tanyanya terdengar lembut.

"Coba kamu lihat seragam anak itu?" Eyang Putri menunjuk pelayan yang tadi dimarahinya.

Anita pun mengikuti arah pandang Eyang Putri, menatap seorang pelayan yang berdiri ketakutan tidak jauh darinya.

"Kenapa seragam anak itu lebih pendek dari yang lain. Apa dia ingin menggoda cucuku?"

"Ibu jangan berpikiran buruk seperti itu. Dia pelayan baru di rumah ini. Dia terpaksa memakai seragam bekas karena seragamnya belum jadi," jelas Anita.

"Kalau seragamnya sudah jadi, Anita pasti langsung suruh ganti," imbuhnya sebelum Eyang Putri kembali mencari-cari kesalahan pelayan tersebut untuk dijadikan bahan marah-marah.

"Awasi dia! Jangan sampai muncul di depan Abi sebelum seragamnya yang baru jadi!"

"Iya, Bu," ucap Anita tanpa emosi, padahal dia sudah merasa gereget setengah mati.

Dia pun memerintahkan para pelayan untuk melanjutkan kembali pekerjaannya tanpa sepengetahuan Eyang Putri sebelum ibu mertuanya itu kembali mengomel lagi.

"Selamat datang, Ibu," ucap Dewangga menyambut kedatangan Eyang Putri lalu menyalami tangan wanita yang sudah melahirkannya itu dengan penuh rasa hormat.

"Ini dia si anak durhaka."

"Maksud, Ibu?" Dewangga begitu terkejut mendengar sang ibu menyebutnya anak durhaka, begitu pula dengan Anita.

"Kamu pantas disebut anak durhaka karena tidak pernah datang ke rumah ibu. Apa harus selalu ibu yang datang ke rumahmu?"

"Ibu tahu sendiri kan, kalau Dewangga sangat—"

"Alah, kebanyakan alasan," cibir Eyang Putri. "Bilang saja kalau kamu memang sudah lupa sama ibu."

Dewangga melirik Anita lewat kedua ekor matanya, seolah-olah meminta tolong Anita agar membebaskannya dari omelan sang ibu.

"Anita tadi meminta koki untuk memasak makanan favorit Ibu. Kita makan dulu, yuk! Ibu pasti belum sarapan, kan?" Anita menuntun Eyang Putri ke meja makan, untung saja ibu mertuanya itu mau menuruti ucapannya.

Dewangga sontak mengembuskan napas lega. Dia pun bergegas menyusul istri dan ibunya itu ke ruang makan.

Pelayan di rumah Dewangga biasanya hanya menyajikan nasi goreng, sereal, oatmeal, atau roti bakar untuk menu sarapan. Akan tetapi kali ini mereka juga menyajikan asem-asem ikan bandeng karena Eyang Putri sangat menyukai makanan tersebut.

Anita pun bergegas mengambilkan nasi beserta kepala ikan bandeng untuk Eyang Putri sebelum wanita tua itu kembali mengomel.

"Selamat menikmati, Ibu."

Eyang Putri menatap makanan yang ada di hadapannya dengan lekat selama beberapa detik kemudian meraih sebuah sendok yang sudah Anita sediakan untuknya.

Anita tanpa sadar meremas kesepuluh jemari tangannya melihat Eyang Putri yang bersiap memakan asem-asem bandeng buatan koki di rumahnya. Semoga saja rasa makanan tersebut sesuai dengan selera ibu mertuanya itu.

"Di mana, Abi? Kenapa dia belum turun?" Pertanyaan Eyang Putri yang tiba-tiba itu membuat Anita tergagap.

"Abi masih siap-siap di kamarnya, Bu."

Eyang Putri meletakkan sendoknya dengan kasar hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. "Apa dia tidak ingin bertemu dengan eyang-nya? Suruh dia turun!"

"Baik, Bu." Anita pun cepat-cepat meninggalkan ruang makan, lantas pergi ke kamar Abi yang berada di lantai atas.

"Ibu jangan suka marah-marah, nanti tekanan darah Ibu naik."

Eyang Putri sontak menatap Dewangga yang duduk di kursi berseberangan dengannya. "Bagaimana mungkin ibu tidak marah-marah kalau melihat ada yang tidak benar di rumahmu?"

Dewangga menghela napas panjang dan memilih melanjutkan kembali sarapannya karena sang ibu akan terus mengoceh jika terus ditanggapi.

"Kenapa cucuku turunnya lama sekali? Apa kamar Abi pindah ke planet Mars?"

"Abi di sini, Eyang."

Eyang Putri sontak menoleh, menatap lelaki berkaca mata yang berjalan menghampirinya. "Cucu kesayanganku," ucapnya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

Abi pun mendekat lantas masuk ke dalam dekapan neneknya.

"Sudah lama sekali eyang tidak melihatmu. Kamu semakin tampan saja, Bi." Eyang Putri menatap Abi dari atas sampai bawah dengan wajah berbinar. Dia amat sangat menyayangi cucu pertamanya itu.

Abi hanya tersenyum menanggapi ucapan Eyang Putri. "Terima kasih, Eyang."

Anita pun meminta Abi dan Eyang Putri untuk sarapan karena makanan mereka sudah hampir dingin.

"Umurmu tahun ini berapa, Bi?" tanya Eyang Putri di sela-sela makan.

"Dua puluh delapan tahun, Eyang. Memangnya kenapa?"

"Apa kamu sudah mempunyai rencana untuk menikah?"

Pertanyaan itu selalu Eyang Putri tunjukkan pada Abi bila datang ke rumah. Entah kenapa Abi masih sering merasa kesal mendengarnya karena Eyang Putri pasti ujung-ujungnya ingin menjodohkannya dengan cucu temannya yang entah mana lagi.

"Sudah." Bukan Abi yang menjawab pertanyaan tersebut, melainkan Dewangga.

"Abi sudah Dewangga jodohkan dengan anak sahabat baik Dewangga," imbuhnya.

Ucapan Dewangga barusan membuat Abi terkejut pasalnya Jena sampai sekarang belum juga memberi keputusan. Abi tidak tahu gadis itu mau dijodohkan dengannya atau tidak. Namun, ayahnya dengan santainya malah memberi tahu Eyang Putri kalau dia sudah dijodohkan dengan Jena.

"Ayah jangan bicara yang tidak-tidak sama, Eyang. Kita saja belum tahu Jena mau dijodohkan dengan Abi atau tidak," dengkus Abi terdengar kesal.

"Apa gadis itu menolak cucuku?" tanya Eyang Putri sewot.

Tepat saat itu ponsel milik Dewangga berdering. Ada panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Dewangga pun menunjukkan ponselnya pada semua orang yang ada di meja makan dengan senyum bahagia.

"Kamu lihat, Bi. Jena pasti menerima perjodohan ini."

[Bersambung]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status