Share

7. Perpisahan Termanis

"Kamu serius mau pergi, Jen?" Ambar kembali menyeka air mata yang jatuh membasahi pipinya karena dia sebentar lagi akan berpisah dengan sahabat baiknya.

"Padahal kamu kemarin ngotot banget nyuruh aku menerima pinangan mas Abi. Tapi kenapa kamu sekarang malah menangis?"

"Kamu tuh, nggak akan ngerti, Jen." Ambar berdecak kesal karena Jena tidak memahami kesedihannya. 

"Nggak ngerti gimana?"

"Sudahlah lupakan," sahut gadis yang rambutnya selalu dikepang dua itu malas.

Jena tersenyum tipis sambil mengusap bahu Ambar agar perasaan sahabatnya itu mrnjadi lebih tenang. Jena sebenarnya sangat memahami apa yang saat ini sedang Ambar rasakan. Akan tetapi dia tidak ingin menunjukkan kesedihannya di depan Bik Ijah karena wanit itu pasti akan ikut bersedih.

Mengingat Bik Ijah membuat Jena ingin sekali meneteskan air mata karena dia sebentar lagi akan berpisah dengan wanita yang sudah merawat dan menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Berat rasanya bagi Jena untuk berpisah dengan Bik Ijah. Akan tetapi dia tidak mungkin tinggal bersama Bik Ijah selamanya karena dia sebentar lagi akan menikah dengan Abi.

Jena cepat-cepat mengusap sudut matanya yang berair karena Bik Ijah tiba-tiba menoleh ke arahnya. Bagaimana pun juga dia tidak boleh menunjukkan kesedihannya meskipun air matanya sejak tadi mendesak ingin keluar.

Sebuah mobil  SUV berwarna putih memasuki halaman rumah Bik Ijah. Tanpa perlu diberi tahu, Jena, Bik Ijah, dan Ambar tahu kalau mobil tersebut datang untuk menjemput Jena.

Seorang lelaki paruh baya keluar dari kursi belakang satelah sopir membukakan pintu untuknya. Dewangga berjalan menghampiri Jena dan Bik Ijah yang sudah menunggu kedatangannya dengan senyum cerah.

Dewangga tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya karena Jena akhirnya mau menerima perjodohan yang sudah dia atur bersama almarhum sahabat baiknya.

"Selamat siang, Bik Ijah," ucapnya sembari menyalami tangan wanita yang sudah merawat Jena. Setelah itu dia memberi salam pada calon menantunya yang berdiri tepat di sebelah Bik Ijah.

Jena pun menyalami tangan Dewangga dengan penuh rasa hormat.

"Bagaimana kabarmu, Jena? Apa semalam kamu tidur nyenyak?"

"Em, iya Pak," jawab Jena sambil melirik ke arah mobil SUV putih yang ada di belakang Dewangga.

"Apa kamu mencari, Abi?" 

Pertanyaan Dewangga barusan sukses membuar Dara tergagap. Apa terlihat sangat jelas kalau dia sedang mencari Abi?

"Ti-tidak, Pak," jawab Jena terdengar gugup.

Dewangga malah tersenyum. "Abi sedang ada pekerjaan penting, Jena. Karena itu dia tidak bisa ikut menjemput kamu," jelasnya tanpa Jena meminta.

Jena hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan semburat merah yang menghiasi wajah cantiknya. Dia pikir, Abi tidak ikut menjemputnya karena kapok datang ke desanya. Namun, lelaki itu ternyata sedang ada pekerjaan penting.

"Abi tadi nitip permintaan maaf sama, Om. Dia minta maaf karena tidak bisa jemput kamu."

Ucapan Dewangga barusan sukses membuat wajah Jena semakin terasa panas. Jantung pun berdebar hebat. 

Melihat tingkah Jena yang seperti itu membuat Ambar yakin kalau sahabatnya itu tertarik dengan Abi.

"Mari masuk dulu, Pak," ucap Bik Ijah.

Dewangga mengangguk, lalu mengikuti Bik Ijah masuk ke dalam rumah. Jena pun bergegas ke belakang karena ingin membuat secangkir teh hangat untuk calon ayah mertuanya itu.

Dewangga tanpa sadar tersenyum tipis melihat sofa baru yang ada di ruang tamu Bik Ijah. Tempat duduk itu jauh lebih nyaman dibanding dengan kursi kayu milik Bik Ijah dulu.

"Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih pada Pak Dewangga karena sudah memberikan semua barang-barang ini untuk saya dan Non Jena."

Dewangga mengangguk. "Sama-sama, Bik. Semoga barang-barang ini berguna untuk, Bibik."

"Sekali lagi terima kasih, Pak. Semoga Tuhan membalas kebaikan, Bapak."

"Aamiin," sahut Dewangga tulus.

Jena datang dari dapur sambil membawa empat gelas cangkir teh hangat lalu meletakkannya di atas meja.

"Silakan diminum, Pak."

Dewangga mengangguk. Salah satu alasan yang membuatnya menyukai Jena karena gadis itu bisa membuat teh yang sangat enak. "Kenapa kamu membuat teh banyak sekali, Jena?" tanya Dewangga setelah menyesap sedikit teh-nya.

"Yang satu ini buat sopir, Bapak."

"Oh ...." Dewangga mengangguk-angguk lantas meminta sopirnya yang menunggu di luar untuk masuk lalu memberinya secangkir teh panas buatan Jena.

Sopir tersebut tampak senang mendapat secangkir teh panas karena kebetulan sekali cuaca saat ini sedang mendung. "Terima kasih banyak, Non," ucapnya terdengar tulus.

Jena mengangguk lantas mendudukkan diri di samping Bik Ijah.

"Apa kamu sudah siap tinggal bersama om, Jena?"

Pertanyaan Dewangga yang tiba-tiba itu membuat Jena tersentak hingga tanpa sadar meremas nampan yang ada di atas pangkuannya dengan erat.

"Bagaimana, Jena? Apa kamu sudah siap?" Dewangga kembali bertanya, padahal Jena belum sempat menjawab pertanyaannya.

Jena melirik Bik Ijah yang duduk tepat di sampingnya. Wanita tua itu tiba-tiba saja meraih tangannya yang terasa dingin lalu menggengganya. Rasanya sangat hangat dan nyaman. Seperti tersihir, perasaan Jena pun berubah menjadi lebih tenang sekarang 

Jena menarik napas panjang sebelum bicara. "I-iya, Pak. Jena sudah siap."

***

Perjalanan dari desa ke kota membutuhkan waktu sekitar empat jam. Dewangga pun meminta Jena untuk tidur agar tidak terlalu lelah saat di perjalanan. Akan tetapi kedua mata Jena sulit sekali untuk dipejamkan. Apa lagi ketika dia sudah tiba di kota.

"Wah!" gumam Jena tanpa sadar ketika melihat gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di sepanjang jalan.  Papan-papan iklan led, jembatan penyeberangan yang instagramable, serta sebuah pusat perbelanjaan semuanya terlihat menakjubkan di mata Jena.

Mata Jena terpaku pada sebuah restoran ayam cepat saji yang terkenal dengan logo orang tuanya. Tanpa sadar gadis itu menelan ludah karena sudah lama sekali dia ingin mencicipi makanan tersebut.

Tanpa Jena sadari Dewangga sejak tadi memperhatikannya. Dewangga pun meminta sopirnya untuk mampir ke restoran tersebut sebelum pulang.

Rasanya Jena ingin sekali berteriak untuk meluapkan kebahagiaannya karena dia akhirnya bisa makan ayam goreng krispi. Akan tetapi dia tidak mungkin melakukannya karena tidak ingin membuat Dewangga malu.

"Kamu mau pesan apa, Jena?" tanya Dewangga begitu mereka tiba di depan meja kasir.

"Pesan saja apa pun yang kamu mau, jangan sungkan," imbuhnya.

Kening Jena berkerut dalam melihat menu yang terpampang jelas di hadapannya. Semuanya terlihat lezat dan menggiurkan. Namun, Jena bingung harus memilih yang mana. Lagi pula tulisan tersebut terlihat tidak jelas di matanya.

"Saya bingung, Pak," ucap gadis bermata hezel itu takut-takut.

Dewangga malah tersenyum. Dia tidak marah karena ini adalah pengalaman pertama bagi Jena. Dia pun memesan menu yang sekiranya cocok dengan selera gadis itu.

Setelah pesasan mereka siap, Jena dan Dewangga pun kembali melanjutkan perjalan menuju rumah Dewangga. Mulut Jena sontak menganga lebar melihat bangunan megah yang ada di hadapannya. Rumah bergaya klasik itu benar-benar terlihat sangat mewah di matanya. Semoga saja dia betah tinggal di sana.

"Ayo turun, Jena!" ucap Dewangga setelah membukakan pintu mobil untuk gadis itu.

Jena pun segera turun dari mobil SUV tersebut, lantas mengucapkan terima kasih pada Dewangga karena sudah membukakan pintu untuknya.

"Tolong ambil koper Jena yang ada di bagasi, setelah itu taruh di kamar Abi."

"Apa?!" Jena tersentak mendengar ucapan Dewangga barusan. Apa dia dan Abi akan tidur dalam satu kamar?

[ Bersambung ]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status