"Kamu serius mau pergi, Jen?" Ambar kembali menyeka air mata yang jatuh membasahi pipinya karena dia sebentar lagi akan berpisah dengan sahabat baiknya.
"Padahal kamu kemarin ngotot banget nyuruh aku menerima pinangan mas Abi. Tapi kenapa kamu sekarang malah menangis?"
"Kamu tuh, nggak akan ngerti, Jen." Ambar berdecak kesal karena Jena tidak memahami kesedihannya.
"Nggak ngerti gimana?"
"Sudahlah lupakan," sahut gadis yang rambutnya selalu dikepang dua itu malas.
Jena tersenyum tipis sambil mengusap bahu Ambar agar perasaan sahabatnya itu mrnjadi lebih tenang. Jena sebenarnya sangat memahami apa yang saat ini sedang Ambar rasakan. Akan tetapi dia tidak ingin menunjukkan kesedihannya di depan Bik Ijah karena wanit itu pasti akan ikut bersedih.
Mengingat Bik Ijah membuat Jena ingin sekali meneteskan air mata karena dia sebentar lagi akan berpisah dengan wanita yang sudah merawat dan menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Berat rasanya bagi Jena untuk berpisah dengan Bik Ijah. Akan tetapi dia tidak mungkin tinggal bersama Bik Ijah selamanya karena dia sebentar lagi akan menikah dengan Abi.
Jena cepat-cepat mengusap sudut matanya yang berair karena Bik Ijah tiba-tiba menoleh ke arahnya. Bagaimana pun juga dia tidak boleh menunjukkan kesedihannya meskipun air matanya sejak tadi mendesak ingin keluar.
Sebuah mobil SUV berwarna putih memasuki halaman rumah Bik Ijah. Tanpa perlu diberi tahu, Jena, Bik Ijah, dan Ambar tahu kalau mobil tersebut datang untuk menjemput Jena.
Seorang lelaki paruh baya keluar dari kursi belakang satelah sopir membukakan pintu untuknya. Dewangga berjalan menghampiri Jena dan Bik Ijah yang sudah menunggu kedatangannya dengan senyum cerah.
Dewangga tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya karena Jena akhirnya mau menerima perjodohan yang sudah dia atur bersama almarhum sahabat baiknya.
"Selamat siang, Bik Ijah," ucapnya sembari menyalami tangan wanita yang sudah merawat Jena. Setelah itu dia memberi salam pada calon menantunya yang berdiri tepat di sebelah Bik Ijah.
Jena pun menyalami tangan Dewangga dengan penuh rasa hormat.
"Bagaimana kabarmu, Jena? Apa semalam kamu tidur nyenyak?"
"Em, iya Pak," jawab Jena sambil melirik ke arah mobil SUV putih yang ada di belakang Dewangga.
"Apa kamu mencari, Abi?"
Pertanyaan Dewangga barusan sukses membuar Dara tergagap. Apa terlihat sangat jelas kalau dia sedang mencari Abi?
"Ti-tidak, Pak," jawab Jena terdengar gugup.
Dewangga malah tersenyum. "Abi sedang ada pekerjaan penting, Jena. Karena itu dia tidak bisa ikut menjemput kamu," jelasnya tanpa Jena meminta.
Jena hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan semburat merah yang menghiasi wajah cantiknya. Dia pikir, Abi tidak ikut menjemputnya karena kapok datang ke desanya. Namun, lelaki itu ternyata sedang ada pekerjaan penting.
"Abi tadi nitip permintaan maaf sama, Om. Dia minta maaf karena tidak bisa jemput kamu."
Ucapan Dewangga barusan sukses membuat wajah Jena semakin terasa panas. Jantung pun berdebar hebat.
Melihat tingkah Jena yang seperti itu membuat Ambar yakin kalau sahabatnya itu tertarik dengan Abi.
"Mari masuk dulu, Pak," ucap Bik Ijah.
Dewangga mengangguk, lalu mengikuti Bik Ijah masuk ke dalam rumah. Jena pun bergegas ke belakang karena ingin membuat secangkir teh hangat untuk calon ayah mertuanya itu.
Dewangga tanpa sadar tersenyum tipis melihat sofa baru yang ada di ruang tamu Bik Ijah. Tempat duduk itu jauh lebih nyaman dibanding dengan kursi kayu milik Bik Ijah dulu.
"Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih pada Pak Dewangga karena sudah memberikan semua barang-barang ini untuk saya dan Non Jena."
Dewangga mengangguk. "Sama-sama, Bik. Semoga barang-barang ini berguna untuk, Bibik."
"Sekali lagi terima kasih, Pak. Semoga Tuhan membalas kebaikan, Bapak."
"Aamiin," sahut Dewangga tulus.
Jena datang dari dapur sambil membawa empat gelas cangkir teh hangat lalu meletakkannya di atas meja.
"Silakan diminum, Pak."
Dewangga mengangguk. Salah satu alasan yang membuatnya menyukai Jena karena gadis itu bisa membuat teh yang sangat enak. "Kenapa kamu membuat teh banyak sekali, Jena?" tanya Dewangga setelah menyesap sedikit teh-nya.
"Yang satu ini buat sopir, Bapak."
"Oh ...." Dewangga mengangguk-angguk lantas meminta sopirnya yang menunggu di luar untuk masuk lalu memberinya secangkir teh panas buatan Jena.
Sopir tersebut tampak senang mendapat secangkir teh panas karena kebetulan sekali cuaca saat ini sedang mendung. "Terima kasih banyak, Non," ucapnya terdengar tulus.
Jena mengangguk lantas mendudukkan diri di samping Bik Ijah.
"Apa kamu sudah siap tinggal bersama om, Jena?"
Pertanyaan Dewangga yang tiba-tiba itu membuat Jena tersentak hingga tanpa sadar meremas nampan yang ada di atas pangkuannya dengan erat.
"Bagaimana, Jena? Apa kamu sudah siap?" Dewangga kembali bertanya, padahal Jena belum sempat menjawab pertanyaannya.
Jena melirik Bik Ijah yang duduk tepat di sampingnya. Wanita tua itu tiba-tiba saja meraih tangannya yang terasa dingin lalu menggengganya. Rasanya sangat hangat dan nyaman. Seperti tersihir, perasaan Jena pun berubah menjadi lebih tenang sekarang
Jena menarik napas panjang sebelum bicara. "I-iya, Pak. Jena sudah siap."
***
Perjalanan dari desa ke kota membutuhkan waktu sekitar empat jam. Dewangga pun meminta Jena untuk tidur agar tidak terlalu lelah saat di perjalanan. Akan tetapi kedua mata Jena sulit sekali untuk dipejamkan. Apa lagi ketika dia sudah tiba di kota.
"Wah!" gumam Jena tanpa sadar ketika melihat gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di sepanjang jalan. Papan-papan iklan led, jembatan penyeberangan yang instagramable, serta sebuah pusat perbelanjaan semuanya terlihat menakjubkan di mata Jena.
Mata Jena terpaku pada sebuah restoran ayam cepat saji yang terkenal dengan logo orang tuanya. Tanpa sadar gadis itu menelan ludah karena sudah lama sekali dia ingin mencicipi makanan tersebut.
Tanpa Jena sadari Dewangga sejak tadi memperhatikannya. Dewangga pun meminta sopirnya untuk mampir ke restoran tersebut sebelum pulang.
Rasanya Jena ingin sekali berteriak untuk meluapkan kebahagiaannya karena dia akhirnya bisa makan ayam goreng krispi. Akan tetapi dia tidak mungkin melakukannya karena tidak ingin membuat Dewangga malu.
"Kamu mau pesan apa, Jena?" tanya Dewangga begitu mereka tiba di depan meja kasir.
"Pesan saja apa pun yang kamu mau, jangan sungkan," imbuhnya.
Kening Jena berkerut dalam melihat menu yang terpampang jelas di hadapannya. Semuanya terlihat lezat dan menggiurkan. Namun, Jena bingung harus memilih yang mana. Lagi pula tulisan tersebut terlihat tidak jelas di matanya.
"Saya bingung, Pak," ucap gadis bermata hezel itu takut-takut.
Dewangga malah tersenyum. Dia tidak marah karena ini adalah pengalaman pertama bagi Jena. Dia pun memesan menu yang sekiranya cocok dengan selera gadis itu.
Setelah pesasan mereka siap, Jena dan Dewangga pun kembali melanjutkan perjalan menuju rumah Dewangga. Mulut Jena sontak menganga lebar melihat bangunan megah yang ada di hadapannya. Rumah bergaya klasik itu benar-benar terlihat sangat mewah di matanya. Semoga saja dia betah tinggal di sana.
"Ayo turun, Jena!" ucap Dewangga setelah membukakan pintu mobil untuk gadis itu.
Jena pun segera turun dari mobil SUV tersebut, lantas mengucapkan terima kasih pada Dewangga karena sudah membukakan pintu untuknya.
"Tolong ambil koper Jena yang ada di bagasi, setelah itu taruh di kamar Abi."
"Apa?!" Jena tersentak mendengar ucapan Dewangga barusan. Apa dia dan Abi akan tidur dalam satu kamar?
[ Bersambung ]
"Om cuma bercanda." Dewangga tidak bisa menahan tawa ketika melihat Jena yang begitu terkejut setelah mendengar ucapannya. Dewangga memang sudah tidak sabar ingin memiliki cucu dari Abi dan Jena hingga tidak sadar menyuruh pelayan membawa koper Jena ke kamar Abi. Lagi pula dia tidak ingin membuat Eyang Putri terkena serangan jantung jika tahu Abi dan Jena sudah tidur dalam satu kamar sebelum menikah. "Mari, ikut om, Jena." Jena mengangguk lantas mengikuti Dewangga masuk ke dalam rumah. Beberapa pelayan sontak berbaris rapi sambil menundukkan kepala menyambut kedatangan mereka. Anita yang mendengar mobil Dewangga memasuki halaman bergegas turun untuk menyambut kedatangan suaminya. Selain itu, dia juga ingin tahu seperti apa wajah calon menantunya. Apakah benar kalau Jena memiliki wajah yang sangat cantik seperti yang selalu Dewangga katakan pada dirinya? "Selamat datang di rumah om, Jena." Mulut Jena menganga lebar mengagumi betapa megahnya kediaman Dewangga. Dindingnya didomin
Jena terus berbalik mencari posisi tidur yang nyaman. Entah kenapa kedua matanya sulit sekali untuk dipejamkan padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Masih tergambar jelas di ingatan Jena bagaimana ekspresi Abi, Dewangga, dan Anita ketika mengetahui kalau dirinya tidak bisa membaca. Terkejut bukan main.Saat berumur 10 tahun, Jena pernah diculik oleh orang suruhan pamannya yang ingin menguasai harta kedua orang tuanya. Dia disekap di dalam sebuah rumah kosong yang berada di tengah hutan dan dipaksa membaca cerita tentang penculikan dan pembunuhan anak perempuan yang tubuhnya dimutilasi kemudian dijadikan santapan lezat oleh si pembunuh.Perut Jena terasa sangat mual ketika membaca cerita tersebut, tubuhnya pun berkeringat dingin. Dia tidak sanggup lagi untuk meneruskan, tapi mereka malah memaksanya agar membaca cerita tersebut dengan suara lantang.Jena masih ingat dengan jelas orang-orang yang menculiknya tertawa senang melihatnya yang menangis ketakutan. Dia pun memohon-mohon p
"Jena, tolong keluarkan puding mangga yang ada di lemari es," pinta Anita. "Iya, Bu." Jena pun segera mengeluarkan puding yang dibuat Anita tadi pagi dari lemari es. Tumben sekali calon mertuanya itu mau repot-repot membuat puding karena Anita biasanya selalu menyuruh pelayan untuk menyiapkan semuanya. "Kalau sudah taruh di meja." Jena pun meletakkan puding mangga itu dengan hati-hati di atas meja makan sesuai perintah Anita. "Makan puding paling enak pakai vla vanila." Jena tanpa sadar menelan ludah melihat Anita yang sedang menuangkan vla vanila di atas puding mangga buatannya, kemudian memotong puding tersebut menjadi beberapa bagian untuk diberikan pada Abi dan Dewangga saat mereka sudah pulang dari kantor. "Ini, untukmu." "Untuk Jena?" tanya Jena sambil menunjuk dirinya sendiri. Anita memutar bola mata karena Jena masih saja bertanya. "Iya, Jena. Puding ini untuk kamu." Jena malah diam menatap sepiring puding yang Anita ulurkan pada dirinya. Padahal dia sudah mengecewakan
"Rangga jaga ucapanmu," ucap Anita dengan nada penuh peringatan agar putra keduanya itu tidak bicara sembarangan pada Jena.Elrangga mendesah panjang. "Coba Ibu pikir. Kak Abi itu sangat pintar dan hebat. Apa Ibu ingin menjodohkan anak kesayangan Ibu dengan gadis seperti ini?"Elrangga memperhatikan Jena dari atas sampai bawah, seolah-olah menilai penampilan gadis itu. "Wajah pas-pasan, dada rata, bokong tidak terlalu padat, pendek ...."Wajah Jena sontak memerah, amarah dan kekesalan tergambar jelas di wajah cantiknya. Jena benar-benar kesal karena Erlangga sudah menghina dirinya. Apa lagi di depan Anita."Elrangga jaga ucap—" Anita tidak melanjutkan kalimatnya karena Jena menyela ucapannya."Mulutmu itu pernah disekolahin nggak, sih?" Jena menatap Elrangga dengan tajam. "Tubuhku tidak terlalu rata. Ada tanjakan juga belokan di sana!" ucapnya tidak terima atas hinaan yang Elrangga tunjukkan pada dirinya."Mana?" Elrangga balas menatap Jena dengan pandangan merendahkan, seolah-olah J
"Mas ada meeting mendadak siang ini. Kamu nggak papa kan, kalau pergi sama Rangga?"Jena sebenarnya ingin sekali menjawab tidak karena dia pasti tidak akan bisa memilih baju untuk acara pertunangan mereka dengan tenang jika pergi bersama Elrangga. Namun, dia tak mungkin mengatakan tidak karena Abi diwajibkan hadir di meeting tersebut."Kenapa Kak Abi nyuruh Rangga buat nemenin Jena?" tanya Rangga sewot. Sepertinya dia juga enggan mengantar Jena pergi ke butik."Karena cuma kamu yang bisa kakak andalkan, Rangga. Kakak titip Jena sebentar. Tolong jaga dia baik-baik," pesan Abi sebelum pergi ke kantor.Jena terus menatap mobil Abi sampai menghilang dari pandangannya hingga tidak menyadari jika Elrangga memanggilnya sejak tadi.Tin ....Jena tergagap karena mendengar klakson dari Audy RS7 yang ada di hadapannya."Buruan masuk!" seru Rangga sambil menurunkan kaca mobil bagian kiri agar bisa melihat Jena.Jena pun membuka pintu mobil bagian belakang dan mendudukkan diri di sana."Kenapa kam
Elrangga tanpa sadar menggelengkan kepala. Dia tidak mungkin terpesona dengan gadis kampung seperti Jena.Ya, itu tidak mungkin.Namun, Elrangga akui kalau Jena memang terlihat sangat cantik. Andai saja Jena tidak berasal dari kampung, mungkin dia sudah jatuh hati pada gadis itu."Astaga, Rangga sadarlah!" Rangga menampar pipinya sendiri dengan cukup keras agar berhenti memikirkan hal yang tidak-tidak tentang Jena.Vincent tersenyum geli melihat apa yang Elrangga lakukan. "Gimana menurut, yey? Jena cantik, kan?""Biasa saja.""Kalau biasa saja kenapa air liurmu menetes?"Elrangga refleks mengusap sudut bibirnya setelah mendengar pertanyaan Vincent untuk berjaga-jaga apakah air liurnya benar-benar keluar karena melihat penampilan Jena. Namun, telapak tangannya ternyata kering.Sialan!Apa Vincent sedang menggodanya?Tawa Vincent seketika pecah karena Elrangga tidak mau mengaku kalau dirinya terpesona dengan Jena. Selain dingin dan cuek, Elrangga ternyata juga mudah sekali tersinggung.
"Aduh!" Jena terjengkang karena Elrangga mendorongnya lumayan keras. "Kenapa Mas El dorong Jena?" tanyanya sambil mengusap pantatnya yang berdenyut sakit."Sa-salah sendiri! Kenapa kamu deket-deket sama aku." Elrangga menjawab pertanyaan Jena terbata-bata karena sibuk menormalkan detak jantungnya."Siapa yang mau deket sama Mas El, sih? Mas El sendiri kan, yang meluk Jena," sungut Jena kesal karena Elrangga membuat pantatnya sakit."Aku refleks memelukmu karena kamu tadi hampir jatuh Jena.""Tapi kenapa Mas El tiba-tiba dorong Jena?"Elrangga terdiam karena dia tidak mungkin memberi tahu Jena alasan yang membuatnya tiba-tiba mendorong gadis itu."Ujung-ujungnya Jena tetap jatuh, kan?" sungut Jena kesal. "Aduh, pantatku rasanya sakit sekali." Jena mencoba untuk berdiri. Namun, dia tidak bisa berdiri sendiri karena terhalang gaunnya yang panjang."Mas El bantuin." Jena mengulurkan kedua tangannya, tapi Elrangga malah meninggalkannya begitu saja.Lelaki itu ... sangat menyebalkan dan suk
"Yey harus pergi ke Halte S. Parman Podomoro City yang ada di depan sana. Lalu naik Busway ke jurusan Pondok Indah dua. Kalau udah sampai langsung cus deh, ke rumah pak Dewangga. Mengerti, Jena?""Eung?" Jena menggaruk rambutnya yang tidak gatal karena belum paham dengan penjelasan Vincent. Jena memutuskan untuk kembali ke butik Vincent selepas kepergian Elrangga karena dia ingin meminta alamat rumah Dewangga.Vincent menghela napas panjang karena Jena tidak juga paham dengan apa yang dia jelaskan. Padahal dia sudah lima kali memberi tahu gadis itu cara pergi ke rumah Dewangga."Eyke sudah ngasih tahu yey alamat rumah pak Dewangga lima kali, Jena. Kenapa yey nggak paham-paham juga, sih?" desah Vincent menahan kesal."Ma-maaf, Madam ...," ucap Jena penuh rasa bersalah karena sudah merepotkan Vincent."Ini juga Si Rangga. Kok, dia tega banget sih, nyuruh yey pulang sendirian?" gerutu Vincent sambil menulis alamat rumah Dewangga pada secarik kertas."Nih, eyke udah tulis nama halte dan