Jena terus berbalik mencari posisi tidur yang nyaman. Entah kenapa kedua matanya sulit sekali untuk dipejamkan padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Masih tergambar jelas di ingatan Jena bagaimana ekspresi Abi, Dewangga, dan Anita ketika mengetahui kalau dirinya tidak bisa membaca. Terkejut bukan main.Saat berumur 10 tahun, Jena pernah diculik oleh orang suruhan pamannya yang ingin menguasai harta kedua orang tuanya. Dia disekap di dalam sebuah rumah kosong yang berada di tengah hutan dan dipaksa membaca cerita tentang penculikan dan pembunuhan anak perempuan yang tubuhnya dimutilasi kemudian dijadikan santapan lezat oleh si pembunuh.Perut Jena terasa sangat mual ketika membaca cerita tersebut, tubuhnya pun berkeringat dingin. Dia tidak sanggup lagi untuk meneruskan, tapi mereka malah memaksanya agar membaca cerita tersebut dengan suara lantang.Jena masih ingat dengan jelas orang-orang yang menculiknya tertawa senang melihatnya yang menangis ketakutan. Dia pun memohon-mohon p
"Jena, tolong keluarkan puding mangga yang ada di lemari es," pinta Anita. "Iya, Bu." Jena pun segera mengeluarkan puding yang dibuat Anita tadi pagi dari lemari es. Tumben sekali calon mertuanya itu mau repot-repot membuat puding karena Anita biasanya selalu menyuruh pelayan untuk menyiapkan semuanya. "Kalau sudah taruh di meja." Jena pun meletakkan puding mangga itu dengan hati-hati di atas meja makan sesuai perintah Anita. "Makan puding paling enak pakai vla vanila." Jena tanpa sadar menelan ludah melihat Anita yang sedang menuangkan vla vanila di atas puding mangga buatannya, kemudian memotong puding tersebut menjadi beberapa bagian untuk diberikan pada Abi dan Dewangga saat mereka sudah pulang dari kantor. "Ini, untukmu." "Untuk Jena?" tanya Jena sambil menunjuk dirinya sendiri. Anita memutar bola mata karena Jena masih saja bertanya. "Iya, Jena. Puding ini untuk kamu." Jena malah diam menatap sepiring puding yang Anita ulurkan pada dirinya. Padahal dia sudah mengecewakan
"Rangga jaga ucapanmu," ucap Anita dengan nada penuh peringatan agar putra keduanya itu tidak bicara sembarangan pada Jena.Elrangga mendesah panjang. "Coba Ibu pikir. Kak Abi itu sangat pintar dan hebat. Apa Ibu ingin menjodohkan anak kesayangan Ibu dengan gadis seperti ini?"Elrangga memperhatikan Jena dari atas sampai bawah, seolah-olah menilai penampilan gadis itu. "Wajah pas-pasan, dada rata, bokong tidak terlalu padat, pendek ...."Wajah Jena sontak memerah, amarah dan kekesalan tergambar jelas di wajah cantiknya. Jena benar-benar kesal karena Erlangga sudah menghina dirinya. Apa lagi di depan Anita."Elrangga jaga ucap—" Anita tidak melanjutkan kalimatnya karena Jena menyela ucapannya."Mulutmu itu pernah disekolahin nggak, sih?" Jena menatap Elrangga dengan tajam. "Tubuhku tidak terlalu rata. Ada tanjakan juga belokan di sana!" ucapnya tidak terima atas hinaan yang Elrangga tunjukkan pada dirinya."Mana?" Elrangga balas menatap Jena dengan pandangan merendahkan, seolah-olah J
"Mas ada meeting mendadak siang ini. Kamu nggak papa kan, kalau pergi sama Rangga?"Jena sebenarnya ingin sekali menjawab tidak karena dia pasti tidak akan bisa memilih baju untuk acara pertunangan mereka dengan tenang jika pergi bersama Elrangga. Namun, dia tak mungkin mengatakan tidak karena Abi diwajibkan hadir di meeting tersebut."Kenapa Kak Abi nyuruh Rangga buat nemenin Jena?" tanya Rangga sewot. Sepertinya dia juga enggan mengantar Jena pergi ke butik."Karena cuma kamu yang bisa kakak andalkan, Rangga. Kakak titip Jena sebentar. Tolong jaga dia baik-baik," pesan Abi sebelum pergi ke kantor.Jena terus menatap mobil Abi sampai menghilang dari pandangannya hingga tidak menyadari jika Elrangga memanggilnya sejak tadi.Tin ....Jena tergagap karena mendengar klakson dari Audy RS7 yang ada di hadapannya."Buruan masuk!" seru Rangga sambil menurunkan kaca mobil bagian kiri agar bisa melihat Jena.Jena pun membuka pintu mobil bagian belakang dan mendudukkan diri di sana."Kenapa kam
Elrangga tanpa sadar menggelengkan kepala. Dia tidak mungkin terpesona dengan gadis kampung seperti Jena.Ya, itu tidak mungkin.Namun, Elrangga akui kalau Jena memang terlihat sangat cantik. Andai saja Jena tidak berasal dari kampung, mungkin dia sudah jatuh hati pada gadis itu."Astaga, Rangga sadarlah!" Rangga menampar pipinya sendiri dengan cukup keras agar berhenti memikirkan hal yang tidak-tidak tentang Jena.Vincent tersenyum geli melihat apa yang Elrangga lakukan. "Gimana menurut, yey? Jena cantik, kan?""Biasa saja.""Kalau biasa saja kenapa air liurmu menetes?"Elrangga refleks mengusap sudut bibirnya setelah mendengar pertanyaan Vincent untuk berjaga-jaga apakah air liurnya benar-benar keluar karena melihat penampilan Jena. Namun, telapak tangannya ternyata kering.Sialan!Apa Vincent sedang menggodanya?Tawa Vincent seketika pecah karena Elrangga tidak mau mengaku kalau dirinya terpesona dengan Jena. Selain dingin dan cuek, Elrangga ternyata juga mudah sekali tersinggung.
"Aduh!" Jena terjengkang karena Elrangga mendorongnya lumayan keras. "Kenapa Mas El dorong Jena?" tanyanya sambil mengusap pantatnya yang berdenyut sakit."Sa-salah sendiri! Kenapa kamu deket-deket sama aku." Elrangga menjawab pertanyaan Jena terbata-bata karena sibuk menormalkan detak jantungnya."Siapa yang mau deket sama Mas El, sih? Mas El sendiri kan, yang meluk Jena," sungut Jena kesal karena Elrangga membuat pantatnya sakit."Aku refleks memelukmu karena kamu tadi hampir jatuh Jena.""Tapi kenapa Mas El tiba-tiba dorong Jena?"Elrangga terdiam karena dia tidak mungkin memberi tahu Jena alasan yang membuatnya tiba-tiba mendorong gadis itu."Ujung-ujungnya Jena tetap jatuh, kan?" sungut Jena kesal. "Aduh, pantatku rasanya sakit sekali." Jena mencoba untuk berdiri. Namun, dia tidak bisa berdiri sendiri karena terhalang gaunnya yang panjang."Mas El bantuin." Jena mengulurkan kedua tangannya, tapi Elrangga malah meninggalkannya begitu saja.Lelaki itu ... sangat menyebalkan dan suk
"Yey harus pergi ke Halte S. Parman Podomoro City yang ada di depan sana. Lalu naik Busway ke jurusan Pondok Indah dua. Kalau udah sampai langsung cus deh, ke rumah pak Dewangga. Mengerti, Jena?""Eung?" Jena menggaruk rambutnya yang tidak gatal karena belum paham dengan penjelasan Vincent. Jena memutuskan untuk kembali ke butik Vincent selepas kepergian Elrangga karena dia ingin meminta alamat rumah Dewangga.Vincent menghela napas panjang karena Jena tidak juga paham dengan apa yang dia jelaskan. Padahal dia sudah lima kali memberi tahu gadis itu cara pergi ke rumah Dewangga."Eyke sudah ngasih tahu yey alamat rumah pak Dewangga lima kali, Jena. Kenapa yey nggak paham-paham juga, sih?" desah Vincent menahan kesal."Ma-maaf, Madam ...," ucap Jena penuh rasa bersalah karena sudah merepotkan Vincent."Ini juga Si Rangga. Kok, dia tega banget sih, nyuruh yey pulang sendirian?" gerutu Vincent sambil menulis alamat rumah Dewangga pada secarik kertas."Nih, eyke udah tulis nama halte dan
Elrangga memasukkan mobilnya ke garasi begitu tiba di rumah. Raut lelah tergambar jelas di wajah tampannya karena dia sempat cekcok dengan orang yang membeli resepnya dari salah satu karyawannya yang tidak bertanggung jawab. Percekcokan mereka terjadi lumayan lama karena orang tersebut tidak mau mengakui kesalahannya.Untung saja dia mempunyai bukti yang cukup kuat untuk membuktikan kalau resep tersebut adalah miliknya. Dia berniat akan membawa masalah ini ke jalur hukum jika orang yang membeli resepnya tidak mau mengaku. Jika dia tidak tegas, maka dia akan kehilangan resep tersebut dan kerugian yang sangat besar."Aku pulang," teriak Elrangga ketika memasuki rumah. Dia beranjak ke dapur untuk mengambil air putih karena tenggorokannya terasa sangat kering. Sepertinya dia juga butuh mandi agar tubuhnya terasa lebih segar."Kamu sudah pulang, Ga?""Iya, Bu.""Jena mana?""Jena ...." Kening Elrangga berkerut dalam mendengar pertanyaan Anita barusan. "Bukankah dia sudah pulang?""Pulang?"