bab 7"Ardaaan!" teriak seorang perempuan dari lantai atas, suaranya cukup melengking."I-iya, Ma!" jawab Ardan sambil berteriak pula.Kami semua mendongkakkan wajah, tapi belum ada seseorang yang muncul di pandangan."Ini sprei kotor kok masih di kamar Mama, bawain donk ke ruang cuci," sahut ia yang sudah pasti mertuanya Ardan.Kami semua saling memandang merasa heran, kenapa Ardan seperti seorang pembantu di rumah ini? aku yakin Mas Heri dan ibu pun merasakan kejanggalan ini.
Bab 8Ibu berdiri memandangi besannya penuh amarah, dadaku berdegup kencang takut jika ibu melakukan perbuatan kekerasan, sedangkan Mas Heri mencoba menyadarkan ibu dengan cara memegang lengannya."Kenapa Bu Besan? saya minta maaf kalau perkataan saya barusan menyinggung hati Anda, tapi gimana lagi ya lama-lama saya juga jengah melihat Ardan yang ga ada kemajuan, kalau bisa Bu Besan tolong nasihati dia supaya mau bekerja, ga minta makan terus sama mertua," ujar Mama Rista.Aku menghela napas, perkataan wanita cantik ini memang halus tapi nyakitin, sama seperti hatiku yang sering sakit saat dihina oleh ibu.Dan sekarang ibu sendiri yang dihina balik oleh besannya, di hadapan orang banyak pula, segala perbuatan pasti akan kembali pada diri sendiri, itu ternyata benar.Aku kok puas ya lihat ibu digituin, ehh."Saya permisi, Bu Besan," ujar ibu.Di luar dugaan ibu malah pergi dari rumah mewah ini,
bab 9Ponselmu untukkuIbu menangis kejer seperti anak kecil, ia duduk di tanah sambil meraung, aku dan Sela saling memandang, merasa heran melihat nenek tua meraung seperti anak kecil."Allah ga ridho kali ya duitnya dirampas paksa sama mertua Mbak, makanya ga lama langsung dicopet," bisik Sela.Kali ini aku setuju dengan pendapatnya."Mau disamperin ga? aku mah ogah mending masuk lagi, panaas," ujar Sela, lalu ia menjauh dari kerumunan.Sebenarnya aku ingin pergi saja dan memilih melaksanakan salat Dzuhur, tapi kasihan juga melihat ibu yang sedang terkena musibah, masa iya kutinggalkan sendirian."Bu, kenapa uangnya bisa dijambret sih? terus jambretnya ketangkep ga?" tanyaku sekaligus pada orang-orang yang berkerumun."Engga, jambretnya naik motor, Neng," jawab seorang bapak tukang parkir."Iya, jambretnya langsung kabur mana bawa motornya secepat kilat kaya
Bab 10Balasan datang begitu cepat"Gimana, Mir? ngalah aja ya, kamu tahu sendiri mana sanggup aku beli hape baru." Mas Heri menatapku iba.Aku mendelikkan mata, sebel juga ngasih nafkah seenaknya, giliran ia yang perlu maksa, suami macam apa coba."Engga! Enak aja main ambil-ambil, hape itu sering dipake Nasya belajar daring," balasku dengan tegas."Sudahlah, ambil aja sana," bisik ibu yang masih bisa kudengar.Dengan sigap Mas Heri menyambar ponselku yang sedang di cas di atas meja, sayangnya tanganku terlambat satu detik untuk meraih dan sudah keduluan sama Mas Heri."Balikin hape aku!" teriakku penuh emosi.Tak menghiraukan teriakkanku gegas lelaki itu berlari keluar."Beli lagi aja kenapa sih, kamu 'kan jualan tiap hari masa hape aja ga kebeli."Lelaki itu naik ke atas motor, tak dipedulikan istrinya yang menjerit memanggil di belakang, aku tak bisa mengejar kar
Bab 11.ABalasan Telak Untuk Heri dan IbuSempat terdengar ibu memaki dan menghinaku lagi, tapi aku tak peduli dengan hinaannya, gegas menstarter motor dan segera pergi.Semoga saja ponselku tak rusak, yang kukhawatirkan saat ini bukan keselamatan Mas Heri, melainkan ponsel yang harganya lumayan fantastis.Tiba di tujuan kulihat Mas Heri terbaring di ranjang pasien, tangan kanan dan kaki kirinya terbungkus perban, ia meraung kesakitan.Itulah adzab bagi orang yang suka mencuri, batinku berkata-kata.Saat hendak masuk ada seorang bapak-bapak mencegahku."Mbak ini istrinya?"Aku mengangguk."Oh ini dompet sama hape suami Mbak, tadi saya amankan takut ada yang nyuri," ujar lelaki itu dengan ramah.Aku tersenyum senang, akhirnya ponsel ini kembali dalam keadaan utuh, rezeki memang tak kemana."Terima kasih ya, Pak."Lelaki itu mengan
"Begitulah namanya orang kampung, ga bisa mengendalikan diri, apa lagi dia cuma lulusan SMP, ga berpendidikan beda jauh dengan Tania yang sudah sarjana," celetuk ibu memandangku dengan remeh. Oh, sekarang bahan perbandinganku bukan Rista lagi ternyata tapi sudah ganti jadi Tania, apa ia tak berkaca kedua anaknya juga sama-sama lulusan SMP. Beruntung mulutku tak tajam sepertinya, sehingga sebesar apapun rasa benciku, tak membuat aku mengeluarkan kata-kata tajam yang bisa menyebabkan dosa "Ibu ga mau tahu, pokoknya kamu harus ganti tv ibu dengan yang sama persis kaya gitu!" tegas ibu sambil mengempaskan bokong di sofa. Kini, saatnya aku yang bicara "Cuma tv yang rusak aja kalian heboh, terus gimana dengan hati aku yang setiap hari mendapatkan hinaan dari ibu? padahal jika ibu ga punya uang mintanya sama siapa? ya sama aku bukan sama Rista mantu kesayangan ibu itu." Ibu terlihat mencebikaan mulut sambil mengehela napas. "Tadi juga Ibu ngambil uang hasil jualanku di laci, apa aku m
Bab 12 Satu hari kemudian Mas Heri sudah pulang dari klinik, ia menjual ponselnya untuk membayar biaya perawatan selama di klinik, bukannya prihatin justru malah ingin tertawa melihat penderitaannya. "Coba aja waktu itu kamu ga rampas paksa hape-ku pasti kejadiannya ga bakalan begini," cetusku sambil menyeduh susu untuk Nasya. Lelaki itu hanya diam tanpa kata, sepulang dari klinik ia memang berbeda tak lagi mengajakku bicara, mungkin masih marah karena aku meninggalkannya di saat sedang kesusahan. Bukannya aku tega atau bermaksud berbuat durhaka terhadap suami sendiri, melainkan untuk menyadarkannya dari perbuatan dzalim, karena jauh dalam lubuk hati aku sangat menginginkan rumah tangga ini tentram dan damai. "Ayo, Heri makan dulu jangan ngelamun aja," sahut ibu yang baru selesai memasak nasi goreng. Nampaknya nasi goreng itu hanya untuk porsi dua orang, tak apalah mungkin ia masih marah, aku dan Nasya bisa
Bagai seekor burung yang terbang tinggi lalu dalam sekejap mata ia terhempas jatuh ke dasar bumi, sakit. Itulah yang dirasa hati ini.Di saat ada secercah harapan untuk merajut asa bersamanya, dan di saat itu pula semua angan beterbangan bak tertiup angin kencang.Aku menganggukkan kepala tanpa kata, apalah daya aku tak bisa memaksanya untuk tetap bersama, jika cinta ingin pergi maka lepaskanlah jangan pernah menahannya."Kamu setuju 'kan, Mir, kalau kita berpisah?" tanya Mas Heri.Lidah ini kelu tak sanggup menjawabnya, hanya bisa diam sambil menahan buliran bening yang mungkin akan mengalir deras."Apa ini semua karena perempuan tadi?" tanyaku dengan tenggorokan tercekat."Bukan, Mir. Aku ... aku cuma pengen kita bahagia aja, selama kita bersama aku ga pernah rasakan itu dan aku juga yakin kamu pun merasakan hal yang sama seperti aku," jelasnya sambil merubah posisi duduk.