Share

Jangan Mengusik Singa Tidur

Setelah seharian menunggu akhirnya Asma pulang. Tapi dia tak membawa motornya, dimana dia meletakkan benda itu. Aku harus bertanya padanya.

"Kau darimana seharian terus mana motor kita? Kenapa kau tak membawanya pulang? Aku butuh untuk kerja asma. Kau jangan main-main."

Mendengar aku bertanya bukannya berhenti dia justru pergi seolah tak perduli.

" Sebelum bicara omong kosong. Minta ipar kesayanganmu itu menghapus statusnya atau aku buat dia malu sekalian."

Asma terlihat marah besar, aku tak tau status apa maksudnya. Aku segera mengecek status mbak Ani tapi tak ada yang aneh.

"Kau jangan cari masalah, Asma. Masalah kita belum selesai, kau belum jawab dimana motor kita?"

Asma tak langsung menjawab, dia justru asyik menikmati minuman dingin yang tadi dia beli.

"Motorku bukan motor kita, karena tak ada sepeser pun uangmu di motor itu. Asal ingat aku beli itu sebelun kita menikah, jadi terserah mau aku apakan."

Kurang ajar dia berani ungkit-ungkitan pada suaminya. Meski tak ada uangku di sana, tapi aku punya hak karena dia istriku.

"Jangan bilang kau merasa punya hak karena kita sudah menikah. Ingat mas kalau bercerai semua harta sebelum menikah tidak dikira harta gino-gini, jadi paham kan siapa yang akan rugi kalau kita cerai?"

Perempuan sialan kenapa dia jadi kurang ajar. Apa mungkin uang sepuluh ribu, benar-benar membuatnya gila.

"Tolong bawa pergi baju kotor mu. Selain makan di rumah ibumu, dia pasti mau sekalian mencuci, kalau jatah lima puluh ribuku kau berikan padanya."

Asma berkata dengan kesal, dia bahkan menendang plastik berisi baju kotor yang aku bawa dari rumah ibu. Mana mungkin aku biarkan ibu mencuci, meski mengunakan mesin cuci karena aku sudah menikah.

"Tapi motor itu aku gunakan untuk mencari nafkah, Asma. Kalau motor itu tak ada, bagaimana aku pergi kerja?" ujarku pelan.

"Pikirkan sendiri, toh nafkah yang kau cari bukan untuk aku dan anak kita, tapi untuk ibu dan iparmu. Jadi jangan gunakan motorku."

Asma bicara seolah tak perduli, dia justru masuk ke kamar membawa sebuah bungkusan. Sepertinya nasi bungkus dari aromanya pasti nasi Padang.

"Aku lapar, Asma. Apa kau mau makan sendiri di kamar?" Dia menjawab tanpa membuka pintu "Aku yang lapar karena dari pagi belum makan, bukankah kau sudah makan di rumah ibumu pakai ayam lagi."

Istri durhaka dia masih tak mengalah, apa salahnya membagi nasi Padang itu berdua. Aku kan kepingin juga merasakan makanan itu.

Brak....

Aku terkejut saat melihat Asma membanting pintu kamar. Dia segera mencuci tangan sambil mengomel panjang.

"Sudah aku bilang jangan mengusikku tapi kakak iparmu itu memang perlu diberi pelajaran."

Asma segera berlari keluar sedangkan aku yang kebingungan tak berbuat apa-apa, karena tak tau dia ada masalah apa dengan mbak Ani.

"Alam! Asma dan Ani sedang ribut itu, cepat pisahkan mereka!"

Aku terkejut saat mendengar seorang wanita berteriak di depan rumah. Dia bilang Asma ribut dengan mbak Ani, masalah apa lagi yang di buat istriku kali ini.

"Janda gatal apa tak ada pria lain yang bisa kau poroti selain iparmu. Sekarang kau berani memfitnah aku juga."

Plak ...plak ....

Aku melihat Asma menarik rambut mbak Ani dan juga menampar wajah kakak iparku dua kali. Aku hendak melerai tapi seseorang mencekal tanganku.

"Biar aku saja kau memang tak berguna. Bisa-bisanya istri sah berkelahi dengan kakak iparmu."

Bagus berdiri dan berteriak pada Asma. Herannya wanita itu langsung berhenti, setelah menghempaskan tubuh mbak Ani ke tanah.

"Sudah aku bilang sabar, kalau tak bisa tinggalkan mereka. Mbak Asma."

Bagus berdiri di dekat Asma yang terduduk lemas setelah menghajar mbak Ani. Bagus hanya berdiri tak menyentuh sama sekali tubuh Asma.

"Sekali lagi kau bilang aku serakah, karena menguasai uang mas Alam, aku habisi kau. Pakai otakmu setiap bulan dua kali kau meminjam uang pada adik iparmu itu. Masih bisa kau bilang aku menguasai uangnya, bahkan untuk nafkah aku dan anaknya saja dia lalai, dia lebih mementingkan kau dan ibunya. Jadi jangan pernah bilang aku serakah kalau tidak lihat apa yang bisa aku lakukan pada janda gatal sepertimu."

Asma berteriak dan melemparkan beberapa lembar kertas ke arah mbak Ani. Membuat beberapa orang memunggut dan melihatnya.

"Itu mutasi dari rekening mas alam padamu, jadi jangan pernah lagi kau bilang aku menguasai gaji adik iparmu. Sekarang kalau sudah gatal kali barangmu, bawa dia pulang aku sedekahkan."

"Asma!"

Aku berteriak, meski yang dia katakan benar soal uang yang lebih banyak aku pinjamkan pada mbak Ani. Tapi dia tak berhak mempermalukan suaminya di depan umum.

"Pulang sekarang kita bicara di rumah, jelaskan soal perselingkuhanmu dengan Bagus."

Plak ...plak ....

"Tutup mulutmu itu dasar laki-laki tak berguna. Kau bahkan diam saat janda gatal ini mengatai istrimu. Sekarang saat aku membela harga diri, kau berniat membuat fitnah baru."

Aku terdiam karena tak menyangka. Asma akan menampar wajah ku di depan umum begini. Dia benar-benar marah besar kali ini, entah apa yang membuatnya jadi seperti ini. Selama ini dia jenis istri penurut tapi sekarang dia mulai melawan.

"Siapa yang bilang Mbak Asma berselingkuh dengan suamiku? Tunjukkan buktinya. Atau aku akan bawa masalah ini ke polisi, karena ini sudah termasuk pencemaran nama baik suamiku."

Aku terkejut mendengar suara seorang wanita dari belakang. Ternyata Bagus datang bersama istrinya, pantas dia tak menyentuh Asma dari tadi.

"Kasihan kau mbak bukan mendapat dukungan, justru Mbak Asma mendapat fitnahan dari suami mu sendiri."

Sekarang semua orang menatap padaku. Perempuan itu segera membantu Asma berdiri dan membersihkan kotoran di bajunya.

"Kasihan jadi selama ini Asma yang tertindas. Ani dan mertuanya ternyata pintar saat menyebarkan fitnah, aku merasa bersalah karena ikut menghakimi Asma."

Terdengar lagi seorang wanita berkata bisik-bisik. Dia bilang mbak Ani dan ibu menyebarkan fitnah, apa yang dia maksudkan kenapa aku tak tau.

"Sudah bubar! Semua sudah selesai dan kau Asma, sampai matipun aku tak akan menganggap mu menantu, bisanya bikin malu saja."

Ibu tampak marah dan berusaha menolong mbak Ani. Melihat perbuatan ibu, bukannya sedih Asma justru tertawa kearah ibu.

"Terima kasih, Bu. Aku harap jangan pernah menganggap ku menantu, karena kelak kau akan gila jika tau sebuah kebenaran, saat itu aku pun tak sudi merawatmu."

Plak ....

Aku sudah kehabisan kesabaran, bisa-bisanya Asma kurang ajar pada ibu. Aku bisa menerima setiap tingkah kurang ajarnya, tapi tidak ...jika dia juga tak menghargai ibuku.

"Akhirnya kau bisa bertindak tegas, Mas. Sayang kau salah tempat, kita ketemu di pengadilan agama segera."

Kembali aku terkejut saat mendengar Asma hendak meminta cerai. Masalah kecil begini dia sampai meminta cerai, di depan banyak orang pula.

"Tidak aku tak akan menceraikan mu, Asma. Tolong maafkan aku karena khilaf hingga menamparmu."

Aku terpaksa berlutut karena tak mau kehilangan Asma. Karena dia satu-satunya penopang hidup ku yang belum mapan.

"Alam apa yang kau lakukan? Biarkan dia pergi. Ibu janji akan mencarikan kau istri yang jauh lebih baik dari dia."

"Diam! Sudah cukup, Bu. Aku tak mau berpisah dengan Asma. Mulai sekarang jangan ganggu kami lagi."

Aku terpaksa membentak ibu agar dia segera diam. Apa dia lupa kalau Asma yang bisa menerima semua kekuranganku.

"Terima kasih karena kau mau menerima lamaran ku, Ma. Mulai sekarang aku janji, akan bekerja lebih giat agar keluarga kecil kita bahagia."

Hari itu awal aku menikah dengan Asma. Dia mendukung dengan memberiku motor untuk kerja, lalu menopang semua biaya rumah kami dengan uang tabungannya. Sekarang aku masih belum bisa berpisah dengannya, karena masih membutuhkan dirinya.

"Kau sudah berani meninggikan suara pada ibu, Lam. Dasar anak durhaka, kau tak akan pernah merasakan bahagia, karena sudah menyakiti wanita yang melahirkan mu."

Ibu menangis sembari pergi masuk ke dalam rumah. Sebenarnya aku sedih, tapi demi mengambil hati Asma aku harus kuat untuk saat ini. Setidaknya sampai keuangan ku jauh lebih kuat.

"Asma, tunggu jangan pergi. Mas minta maaf."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status