Share

Kesialan Alam

"Ini seratus ribu, aku harap kau yakin kalau aku berniat berubah."

Asma tak bersuara dia masih asyik dengan sayuran di depannya. Setelah menjual motor, dia masih mengambil sayur liar di belakang rumah.

"Seratus ribu hanya untuk keperluan makan dan segala macam kebutuhanmu atau termasuk dengan uang perawatan anak kita di rumah ibu?"

Asma bertanya dengan ketus. Mendengar dari ucapannya, sepertinya dia mau aku membiayai hidup anak yang buruk rupa itu.

"Maksudmu apa? Dia sudah besar. Tak perlu susu dan pempers kan?"

"Memangnya selama dua tahun ini apa kau memberi uang pada ibuku? Untuk membantu biaya hidup anak kita."

Sialan, semakin di turuti dia semakin besar kepala, sekarang dia mau aku membayar biaya hidup anaknya di kampung.

"Aku tak ada uang sekarang, kita bicarakan lagi bulan depan."

Asma tak menjawab dia bahkan tak mengambil uang seratus ribu itu. Dia meletakkan sayuran di atas meja dan bergegas kembali ke kamar mengambil handuk.

"Kau mau kemana, Asma?" Tanyaku.

"Mandi lalu mulai cari kerjaan di luar."

Asma menjawab dengan ketus. Dasar istri kurang ajar, dia berusaha memeras suaminya. Kalau begini mau tak mau terpaksa aku keluarkan juga, uang yang rencananya untuk ibu.

"Gak usah macam-macam ambil ini dan kirim ke ibu, untuk menganti biaya hidup anak itu." ujarku ketus.

"Anak kita ingat itu. Kelak kau akan menyesal telah menghinanya."

Asma berjalan menuju ke kamar mandi, tak lama terdengar suara air di tuang dengan kasar. Suara gayung menimpa Air bersautan silih berganti.

Mau pergi kerja tapi makanan hanya ada nasi dan tempe goreng semalam. Sungguh malang nasibku beristrikan Asma, kalau tak punya rencana ogah bertahan dengan wanita bodoh itu.

"Alam kau mau pergi kerja? Mbak datang di suruh ibu. Untuk minta uang yang kau janjikan semalam."

"Telat mbak, aku sudah berikan pada Asma. Biar dia kelola uang itu, asal makan dan minumku terjaga olehnya."

"Terjaga bagaimana? selama ini kau hanya di beri makan nasi dan tempe memang ada gizinya?"

Aku menarik napas masih pagi tapi mbak Ani sudah siap bikin aku sengsara. Kalau Asma tau dan dengar pasti dia merajuk lagi.

"Tenang saja, Mbak. Mulai hari ini aku akan memberi adik iparmu makanan yang enak. Lihat dengan uang sebanyak ini, baru bisa minta makan enak."

Mampus Asma datang justru dengan menunjukkan lembaran merah yang cukup banyak. Membuat mbak Ani menatapku tajam.

"Sudah siang, Mas. Berangkat sana agar banyak uang untuk makan enak. Sekarang aku mau ke bank kirim uang buat ibu dan mau belanja skincare masa kalah sama janda."

Mbak Ani terlihat marah sedangkan Asma terlihat santai menaiki armada online. Dia bahkan tak menawari aku ikut, meski hanya sampai depan saja.

"Dasar suami takut istri, lihat saja ibu pasti marah besar karena kau berikan uang yang kau janjikan pada Asma."

Mbak Ani pergi begitu saja, dia juga tak berniat mengantar aku kerja, bukankah dia naik motor gak lama kalau dia mengantar aku kerja.

"Mbak aku minta..."

"Aku sibuk ada urusan dengan ibumu, dia pasti sudah menunggu lama."

Dia pergi tanpa memberiku kesempatan bicara. Aku hanya bisa menarik napas panjang, saat melihat kelakuan mbak Ani.

"Jalan kaki...!"

Aku terkejut saat mendengar teriakan seseorang di kejauhan, tampak beberapa orang wanita tertawa kearahku.

Sialan para pengosip itu sudah berada di posisi rupanya. Pantas Asma terlihat senang, saat mengibaskan uang pemberianku tadi.

"Beli motor sendiri, Mas Alam. Jadi kalau istri marah tak bisa merampas dan menjual motor karena bukan miliknya!"

Kembali terdengar teriakan yang membuatku malu. Dengan terpaksa aku menunduk dan berjalan di depan mereka.

Asma benar-benar telah menjatuhkan harga diriku. Orang-orang jadi bersemangat mengejek dari tadi.

"Asma memang terlihat bodoh tapi sebenarnya dia pintar. Lihat saja dengan menjual motornya bisa pergi shoping."

Aku meraih ponsel dan melihat status Asma. Karena aku lihat para wanita itu menujukkan ponsel, berarti mereka mengikuti kegiatan Asma.

SEBELUM SHOPPING KIRIM UANG DULU BUAT IBU DI KAMPUNG, BIASA ANTRI DULU.

Aku melihat Asma membuat status di sebuah mesin ATM. Dengan gambar sebuah kartu tabungan.

Sejak kapan dia punya benda itu, dia hanya wanita miskin dan bodoh, kok bisa punya rekening tabungan.

Tin......!"

Aku terkejut saat mendengar suara klakson melengking panjang di belakangku. Hingga tanpa sadar membuat ponselku jatuh dan berantakan.

"Sialan!"

""Buta matamu ya, jalan menunduk di tengah jalan pula. Kalau mau mati jangan di sini, menyusahkan orang saja!"

Aku menarik napas dan memunguti ponsel yang berserak di tanah. Lalu memberi orang itu jalan, karena aku baru sadar ternyata berada di tengah jalan.

"Sudah salah bukan minta maaf melotot pula, dasar gila."

Terdengar pria itu mengomel aku tak perduli, karena sibuk membetulkan ponselku yang rusak parah.

"Mas Alam mau pergi kerja, butuh ojek gak, masa mau jalan kaki ke kantor?"

Sialan ada tukang ojek, tapi caranya bicaranya membuatku emosi. Pakai acara menyindir pula.

"Iya naik lah, kan nampak mau ke pangkalan. Udah ayo berangkat gak usah banyak bacot."

Aku berkata ketus tapi pria itu justru tertawa, dia seakan tak tau kalau aku sedang kesal.

"Ok berangkat...!"

Pria itu bicara seperti salah satu tokoh di sinetron tukang ojek.

Mulai berangkat kerja sudah bikin emosi, begitu sampai kantor suasana mulai tak enak. Beberapa orang menatap sinis padaku entah karena apa.

"Aku punya suami seperti itu mending aku buang. Gayanya selangit ternyata Pelit."

Para pegawai wanita itu berkata dengan antusias sekali, seakan orang yang mereka bicarakan ada di ruangan ini.

"Lihat senyumnya itu sungguh menjijikan."

Tapi kenapa kata-katanya seperti tepat saat aku tersenyum pada mereka. Ah ...mungkin hanya perasaanku saja.

"Pak Bagus sudah datang rupanya, tolong cerita dong kejadian semalam."

Mereka bilang kejadian semalam, berarti benar mereka sedang menceritai aku rupanya. Ini pasti ulah Bagus dia harus di beri pelajaran.

"Ikut aku sekarang juga."

Aku menarik kerah baju Bagus tapi pria itu langsung menepis tanganku dengan kasar.

"Ini kantor bukan kebun binatang, kalau mau bicara gunakan etika sebagai manusia. Atau jangan-jangan, kau sudah kehilangan etika juga setelah kehilangan harga diri."

"Tutup mulutmu itu atau aku ...."

Aku bersiap melayangkan pukulan. Namun sebuah suara menghentikan gerakan tangan ku.

"Alam, Bagus masuk ke ruangan saya!"

Aku dan Bagus terkejut saat mendengar teriakan dari ruangan pak direktur. Kami melangkah menuju ke ruangan pria itu.

"Memalukan kalian sudah berusia tapi ribut di depan umum. Sekarang jelaskan apa yang kalian ributkan."

"Bagus pak, dia telah ikut campur pada urusan rumah tangga saya. Bahkan menceritakan masalah saya, pada semua rekan kerja di kantor ini."

Aku bicara duluan agar pimpinan tau kelakuan Bagus yang sebenarnya. Biar di pecat sekalian daripada terus ikut campur.

"Saya tak perlu bicara pada semua orang, Pak. Mereka cukup mengerti dengan melihat Vidio ini."

Aku menatap Bagas yang menyerahkan ponselnya pada pimpinan kami. Aku masih tak mengerti Vidio yang dia maksudkan.

"Memalukan, urusan rumah tangga bisa tersebar seperti ini, Pak Alam? Sebagai pimpinan anda saya merasa malu, punya bawahan seperti ini. Bukannya intropeksi diri anda justru menyalahkan orang lain."

Aku terdiam setelah melihat Vidio dari ponsel Bagus. Entah mau di taruh dimana mukaku, keributan semalam di rekam dan di sebarkan oleh seseorang.

"Cepat minta maaf pada pak Bagus. Anda sudah keterlaluan mempermalukan beliau di depan banyak orang, dengan menarik kerah bajunya."

Sialan, sudah jatuh ketimpa tangga. Apa rasa malu ini seimbang dengan rencana membalas sakit hatiku pada Asma.

"Lain kali berpikir dulu sebelum bertindak, jangan sampai menyesal kemudian. Aku tak akan ikut campur kalau kau tak menyakiti seorang wanita."

Bagus seakan begitu percaya diri karena mendapat pembelaan pimpinan, dia jadi bertingkah sok hebat.

"Terima kasih tapi anda lupa, wanita yang anda maksudkan adalah istriku. Dalam urusan rumah tangga sudah biasa pertengkaran kecil, jadi tak perlu anda ikut campur."

Aku meninggalkan Bagus yang juga berjalan menuju ke mejanya. Semua orang menatap pada kami, seakan begitu penasaran dengan apa yang terjadi di ruangan pak direktur.

"Mulai kerja tak perlu ikut campur urusan orang lain. Jangan sampai kinerja kalian turun hanya karena memikirkan masalah orang."

Kembali terdengar suara pimpinan yang berkata keras dari depan pintu ruangannya. Aku menarik napas lega, setidaknya selamat dari pandangan sinis rekan kerjaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status