"Dua juta mbak, buat apa uang sebanyak itu?"
Aku terkejut saat mendengar mbak Ani mau meminjam uang lagi padaku. Apa dia tak tau aku saja sampai rela memakai ponsel yang retak layarnya demi berhemat. Dia dengan enaknya pinjam lagi."Mbak mau coba buka usaha, Lam. Kasihan Adit kalau ibunya tak punya uang saat dia ingin jajan, sedangkan kau sudah jarang memberinya uang walau hanya lima ribu perak."Aku menarik napas kenapa sekarang semua masalah yang datang tak jauh dari uang. Sedangkan Asma benar-benar menguji kesabaran ku akhir-akhir ini."Maaf mbak tapi aku memang tak punya uang, kalau tak percaya lihat ini. Ponselku retak tapi sampai sekarang belum bisa memperbaikinya."Mbak Ani menatap ponselku tapi sepertinya dia tak percaya. Matanya justru melihat kearah rumahku, jangan bilang dia mau minta aku pinjam ke Asma, bisa perang dunia lagi."Aku pergi dulu, Mbak. Maaf tak bisa lagi memberi pinjaman."Aku bergegas pergi kerja, tak perduli meski mbak Ani masih berdiri di depan rumahku. Biar saja kalau dia mau berurusan dengan Asma."Mas Alam, apa kabar motor yang di jual Asma, belum ada gantinya nih. Aku lihat betah banget jalan kaki ke pangkalan ojek."Kebiasaan wanita ini mau ikut campur aja urusan orang lain. Sesekali memang harus di beri pelajaran biar gak kurang ajar."Bu Sum juga apa kabar? Masih betah aja sama pak Kondo, padahal kan dia sudah punya istri muda. Jarang pulang pula yang katanya banyak proyek."Aku hampir tertawa begitu melihat wajahnya yang terkejut, dia kira aku bodoh ketika dia cerita kalau suaminya sibuk kerja, makanya tak pulang-pulang."Alam apa maksud ucapanmu?"Aku tersenyum lagi karena seorang wanita justru bertanya apa maksud ucapanku barusan. Bu Sum takut saat aku hendak membuka mulut lagi."Sudah pergi sana, kerja yang baik jangan sampai Asma pergi karena kau tak pintar cari uang.""Salah, justru pria yang pintar cari duit bisa cari istri muda, Bu Sum. Seperti pak Kondo, apa mau tau rumah istri mudanya yang cantik dan bahenol itu."Wanita itu benar-benar mati kutu. Belum tau saja dia siapa aku yang sebenarnya. Diam ketika di hina, membalas kemudian."Mas Alam bawa betina ini pergi, sebelum aku habisi dia!"Aku terkejut mendengar teriakan Asma. Entah gara-gara apa dia ribut, aku lihat tangannya sudah memegang rambut mbak Ani yang habis dia gunting."Apa yang kau lakukan, Asma?"Asma tak menjawab, dia hanya menatap mbak Ani yang menangis di halaman. Sekarang semua orang berlari ke rumahku, karena ingin tau ada kejadian apa."Aku sudah bilang jangan mengusikku lagi, tapi dia makin berani, aku minta dia menganti skincare yang dia rusak malah nyolot. Ini sebagai gantinya karena tak mampu bayar."Asma melemparkan rambut mbak Ani yang langsung berserak di badan pemiliknya."Sudah aku bilang jangan minta uang padaku. Kalau mau uang dengan gampang, pergi sana jual diri bukankah kau sudah ahlinya, Mbak?" sindirnya."Asma jaga bicaramu dia itu janda. Berdosa kau zolim dengan janda dan anak yatim," ujar ku oelan"Lalu kau pikir dia tak berdosa yang terus meminta uang suami orang, Mas."Aku menarik napas panjang, Asma kembali mengungkit pinjaman mbak Ani. Kalau begini semua akan kembali ruwet."Terserah kau saja menyelesaikan masalah ini. Aku sudah muak dan mau pergi kerja saja.""Alam jangan tinggalin, Mbak. Istri gilamu bisa membunuh ku!"Mbak Ani berteriak dengan lebai, dia pikir Asma akan semudah itu membunuh orang, ada hukum yang harus di takuti olehnya."Kau dengar wanita jalang, iparmu sudah tak perduli. Sebelum aku kehabisan kesabaran, sebaiknya kau segera pergi dari sini."Aku masih mendengar ucapan Asma, biarlah kali ini mbak Ani menerima hukuman. Sudah aku bilang jangan mengusik Asma dulu. Dia seperti melupakan peringatan ku.Ting....Belum juga sampai pangkalan ojek, sudah ada pesan masuk ke ponselku. Dari siapa lagi kalau bukan dari ibu.(Terserah aku tak mau tau, Bu. Sudah aku ingatkan jangan menganggu Asma tapi mbak Ani membandel.)Aku segera membalas pesan ibu yang bertanya, kenapa aku membiarkan Asma memangkas rambut menantunya.(Tapi gak gini juga, Lam. Ani bisa melaporkan istrimu ke polisi.)Bodoh lapor polisi memangnya semudah itu, butuh uang dan tenaga sebelum menangkap seseorang.(Silahkan kalau mbak Ani punya uang dan sanggup bolak-balik ke kantor polisi.)Aku menarik napas lega, karena tak ada lagi balasan dari ibu. Pasti saat ini mbak Ani sedang meratapi nasibnya, karena tak bisa melawan Asma."Mas, ojek."Aku segera naik ojek setelah sampai di pangkalan. Setelah drama tadi, akhirnya aku sampai juga ke kantor.Miris aku justru merasa tenang ketika berada di kantor, sementara sebagian besar orang akan tenang dan nyaman ketika sampai di rumah bersama keluarga
"Kenapa terkejut, Mas? Aku hanya mau bilang, kipas angin di kamar mati, percuma kau kekamar pasti kegerahan lagi."Setelah itu aku menarik napas lega begitu mendengar jawaban Asma. Kenapa bisa terpikir aku akan di bunuh olehnya dasar bodoh.--"Aneh, ada orang mau pindah kemari kenapa harus bilang padaku. Dasar RT tolol bikin susah orang aja.Aku yang baru pulang dari rumah pak RT, jadi makin susah karena harus jalan kaki sendirian."Jadi kau tak dengarkan dulu penjelasan pak RT, Mas. Mana mungkin tak penting kalau dia minta kau datang, walau hanya untuk memberitahu soal warga baru yang mau pindah."Dasar Asma bodoh mana mungkin dia bisa jadi pintar. Memangnya apa hubungannya denganku kalau ada warga baru, aku bukan lurah juga tak ada jabatan sebagai aparat desa."Karena itu seharusnya kau dengar sampai habis penjelasan pak RT jangan main pergi saja, Mas."Aku menatap Asma kenapa dia jadi nyolot gitu. Sudah di bilang tak penting masih tak
Aku segera menghidupkan lampu dan berusaha menetralkan detak jantung yang berdetak sangat kencang. Bukan karena cinta ataupun nafsu tapi karena takut."Tak perlu takut sampai melompat begitu, Mas. Aku hanya mau bilang sebentar lagi gajian, jangan lupa semuanya serahkan padaku."Dasar perempuan setan serakah, dia tau besok aku gajian, menakuti hanya untuk menagih janjiku kemarin."Tak bisa semua, aku harus memberi ibu juga, Asma.""Berikan semuanya biar aku yang memberi ke ibumu, agar dia tau kalau ada menantu yang memberinya uang, meski tetap saja uang anaknya."Bicara dengan Asma benar-benar tak bisa menang. Lebih baik aku diam dan menuruti kemauannya biar aman."Kalau begitu terserah kau saja, yang penting ibu tak mengangguku dengan permintaannya soal uang. Kasih juga mbak Ani anggap sedekah ke janda."Asma berbalik dia yang akan masuk ke kamar, kini kembali berbalik dan menatap kearahku."Kalau aku menjadi j
"Asma!"Aku hanya bisa menyaksikan ponselku yang malang hancur berantakan di lantai. Kali ini benda itu pasti tak bisa lagi di gunakan."Apaan sih, Mas. Aku hanya bicara pelan tapi kau selalu saja terkejut tak tentu arah. Katakan apa ada yang kau sembunyikan?"Asma menatap kearahku yang terduduk, sembari memunguti ponselku yang malang."Kasihan, sepertinya kau memang tak perlu ponsel, mas. Hanya membuatmu menumpuk dosa, apalagi jika di gunakan untuk hal yang tak penting."Dia bilang aku tak perlu ponsel. Seharusnya dia yang tak perlu benda itu, karena tak ada gunanya. Setiap saat dia plototi tapi tak menghasilkan uang sama sekali."Kalau begini aku butuh uang, Ma. Benda ini penting, bagaimana kalau ada orang kantor menghubungi, bisa gawat kalau tak aku angkat."Asma berdiri setelah membantuku memunguti ponsel yang terjatuh tadi. Entah apa yang dia pikirkan karena hanya terdiam menatapku
Aku terkejut karena Asma tau aku mendekati lemari. Tak ada alasan kecuali bilang, mau ambil baju untuk kerja."Masih ada waktu besok pagi, Mas. Biasanya aku yang siapkan. Kenapa kali ini kau yang mau ambil sendiri, jangan bilang sudah tak mau aku layani lagi?"Sialan lagi-lagi dia menekan ku, heran ada saja caranya untuk membuatku mati kutu. Lemari itu sudah di depan mata, kira-kira terkunci atau tidak ya?""Terserah kau saja, tadi aku hanya berniat membantu agar kau tak kerepotan lagi besok pagi. Ternyata niat baikku kau curigai lagi."Aku segera keluar dan menutup pintu kamar. Entah sampai kapan harus tidur di luar begini. Sedangkan Asma seperti tak perduli pada penderitaan ku ini."Mas bangun kau tak pergi kerja? Sudah siang itu."Karena menangisi ponsel yang terbanting semalam, membuatku bangun kesiangan. Asma juga kenapa tak membangunkan aku lebih awal, kan gak perlu kalang-kabut begini jadinya."Sudah tak usah bingung begitu, Mas. Cepat mandi dan sarapan mu juga sudah ada di atas
Takut-takut aku bertanya, karena pindah ke kantor cabang berarti ini akan jadi masalah besar."Tak ada pilihan selain menyerahkan pengunduran diri. Karena saat ini kantor pusat kelebihan pekerja, sedangkan kantor cabang justru kekurangan pekerja."Sial dia memberiku pilihan sulit, seperti makan simalakama kalau begini. Di terima salah di tolak lebih salah lagi."Bagaimana pak Alam, apa bisa saya letakkan nama anda di salah satu karyawan yang menerima pemindahan ini?"Aku menarik napas panjang, mau tak mau aku hanya bisa menganggukkan kepala. Aku belum siap kehilangan pekerjaan untuk sekarang ini, sebelum punya modal untuk buka usaha sendiri."Perusahaan akan mulai memindahkan pegawai ke kantor cabang mulai bulan depan, Pak Alam. Silahkan koordinasi kapan bersedia berangkat."Aku kembali mengangguk sebelum dia mempersilahkan untuk kembali ke meja kerjaku. Di ruangan pekerja semua orang menatap ke arahku, sepertinya mereka tau apa yang telah terjadi."Sudah kalian bekerja lagi, jangan m
"Kalau begitu hiduplah berdua, jangan menyusahkan aku, Mas Alam memang anak ibu tapi dia suamiku. sudah cukup kalian membuatnya zalim selama ini, jadi terima uang itu kalau tak mau terserah."Aku hendak masuk ke dalam rumah, namun sebelum menutup pintu aku melihat mas Alam sudah pulang kerja."Alam lihat Asma memberi ibu tiga ratus ribu, sedangkan biasanya jatah ibu dua juta darimu.""Apa?"Aku berteriak pura-pura terkejut, lalu menatap mas Alam agar dia menjelaskan maksud ucapan ibunya."Dua juta Mas. Apa tak salah? Sedangkan aku hanya dapat lima puluh ribu, sudah termasuk rokok dan kopi mu. Wah kau memang hebat, aku tak menyangka Setega itu kau padaku."Aku pura-pura marah dan menutup pintu dengan keras. Namun dari balik pintu, aku mendengar pembicaraan mereka bertiga."Ibu tak mau tau, Alam. Kau ambil lagi gaji mu dan beri pada ibu dua juta. Cepat!"Aku tersenyum saat mendengar teriakan ibu mertua sepertinya sudah saatnya aku mendapat sebuah bukti."Cukup Bu, terima saja uang itu.
"Maafkan ibu, Asma. Bagaimana pun dia orang tuaku, berarti orang tuamu juga."Aku menatap ibu mertua yang terlihat menunduk di ruang tamu. Meski mas Alam sudah memohon, aku masih tak percaya kalau ibunya bisa berubah secepat itu."Baiklah, Bu. Asma juga minta maaf tapi soal uang, aku hanya bisa memberi tiga ratus ribu. Sedang makan dan keperluan lainnya akan Asma belikan.""Mana cukup tiga ratus ribu, Asma. Ibu pasti punya keperluan lainnya."Aku menatap mbak Ani, wanita ini selalu saja jadi perusuh, buat apa dia datang kalau hanya untuk memperkeruh suasana."Ibu terima meski kau hanya memberi tiga ratus ribu, Asma. Ibu tak akan protes lagi."Aku memicingkan mata mendengar ucapan ibu mertua. Entah kenapa aku merasa dia seperti orang yang sedang buang tabiat alias mau metong."Kalau mau minta maaf tak perlu datang dengan banyak orang begini, Bu. Apalagi membawa mbak Ani yang selalu bikin rusuh, kan bisa bertemu berdua saja."Aku menatap mbak Ani yang tampak geram saat melihatku menjul