Aku segera menghidupkan lampu dan berusaha menetralkan detak jantung yang berdetak sangat kencang. Bukan karena cinta ataupun nafsu tapi karena takut.
"Tak perlu takut sampai melompat begitu, Mas. Aku hanya mau bilang sebentar lagi gajian, jangan lupa semuanya serahkan padaku."Dasar perempuan setan serakah, dia tau besok aku gajian, menakuti hanya untuk menagih janjiku kemarin."Tak bisa semua, aku harus memberi ibu juga, Asma.""Berikan semuanya biar aku yang memberi ke ibumu, agar dia tau kalau ada menantu yang memberinya uang, meski tetap saja uang anaknya."Bicara dengan Asma benar-benar tak bisa menang. Lebih baik aku diam dan menuruti kemauannya biar aman."Kalau begitu terserah kau saja, yang penting ibu tak mengangguku dengan permintaannya soal uang. Kasih juga mbak Ani anggap sedekah ke janda."Asma berbalik dia yang akan masuk ke kamar, kini kembali berbalik dan menatap kearahku."Kalau aku menjadi j"Asma!"Aku hanya bisa menyaksikan ponselku yang malang hancur berantakan di lantai. Kali ini benda itu pasti tak bisa lagi di gunakan."Apaan sih, Mas. Aku hanya bicara pelan tapi kau selalu saja terkejut tak tentu arah. Katakan apa ada yang kau sembunyikan?"Asma menatap kearahku yang terduduk, sembari memunguti ponselku yang malang."Kasihan, sepertinya kau memang tak perlu ponsel, mas. Hanya membuatmu menumpuk dosa, apalagi jika di gunakan untuk hal yang tak penting."Dia bilang aku tak perlu ponsel. Seharusnya dia yang tak perlu benda itu, karena tak ada gunanya. Setiap saat dia plototi tapi tak menghasilkan uang sama sekali."Kalau begini aku butuh uang, Ma. Benda ini penting, bagaimana kalau ada orang kantor menghubungi, bisa gawat kalau tak aku angkat."Asma berdiri setelah membantuku memunguti ponsel yang terjatuh tadi. Entah apa yang dia pikirkan karena hanya terdiam menatapku
Aku terkejut karena Asma tau aku mendekati lemari. Tak ada alasan kecuali bilang, mau ambil baju untuk kerja."Masih ada waktu besok pagi, Mas. Biasanya aku yang siapkan. Kenapa kali ini kau yang mau ambil sendiri, jangan bilang sudah tak mau aku layani lagi?"Sialan lagi-lagi dia menekan ku, heran ada saja caranya untuk membuatku mati kutu. Lemari itu sudah di depan mata, kira-kira terkunci atau tidak ya?""Terserah kau saja, tadi aku hanya berniat membantu agar kau tak kerepotan lagi besok pagi. Ternyata niat baikku kau curigai lagi."Aku segera keluar dan menutup pintu kamar. Entah sampai kapan harus tidur di luar begini. Sedangkan Asma seperti tak perduli pada penderitaan ku ini."Mas bangun kau tak pergi kerja? Sudah siang itu."Karena menangisi ponsel yang terbanting semalam, membuatku bangun kesiangan. Asma juga kenapa tak membangunkan aku lebih awal, kan gak perlu kalang-kabut begini jadinya."Sudah tak usah bingung begitu, Mas. Cepat mandi dan sarapan mu juga sudah ada di atas
Takut-takut aku bertanya, karena pindah ke kantor cabang berarti ini akan jadi masalah besar."Tak ada pilihan selain menyerahkan pengunduran diri. Karena saat ini kantor pusat kelebihan pekerja, sedangkan kantor cabang justru kekurangan pekerja."Sial dia memberiku pilihan sulit, seperti makan simalakama kalau begini. Di terima salah di tolak lebih salah lagi."Bagaimana pak Alam, apa bisa saya letakkan nama anda di salah satu karyawan yang menerima pemindahan ini?"Aku menarik napas panjang, mau tak mau aku hanya bisa menganggukkan kepala. Aku belum siap kehilangan pekerjaan untuk sekarang ini, sebelum punya modal untuk buka usaha sendiri."Perusahaan akan mulai memindahkan pegawai ke kantor cabang mulai bulan depan, Pak Alam. Silahkan koordinasi kapan bersedia berangkat."Aku kembali mengangguk sebelum dia mempersilahkan untuk kembali ke meja kerjaku. Di ruangan pekerja semua orang menatap ke arahku, sepertinya mereka tau apa yang telah terjadi."Sudah kalian bekerja lagi, jangan m
"Kalau begitu hiduplah berdua, jangan menyusahkan aku, Mas Alam memang anak ibu tapi dia suamiku. sudah cukup kalian membuatnya zalim selama ini, jadi terima uang itu kalau tak mau terserah."Aku hendak masuk ke dalam rumah, namun sebelum menutup pintu aku melihat mas Alam sudah pulang kerja."Alam lihat Asma memberi ibu tiga ratus ribu, sedangkan biasanya jatah ibu dua juta darimu.""Apa?"Aku berteriak pura-pura terkejut, lalu menatap mas Alam agar dia menjelaskan maksud ucapan ibunya."Dua juta Mas. Apa tak salah? Sedangkan aku hanya dapat lima puluh ribu, sudah termasuk rokok dan kopi mu. Wah kau memang hebat, aku tak menyangka Setega itu kau padaku."Aku pura-pura marah dan menutup pintu dengan keras. Namun dari balik pintu, aku mendengar pembicaraan mereka bertiga."Ibu tak mau tau, Alam. Kau ambil lagi gaji mu dan beri pada ibu dua juta. Cepat!"Aku tersenyum saat mendengar teriakan ibu mertua sepertinya sudah saatnya aku mendapat sebuah bukti."Cukup Bu, terima saja uang itu.
"Maafkan ibu, Asma. Bagaimana pun dia orang tuaku, berarti orang tuamu juga."Aku menatap ibu mertua yang terlihat menunduk di ruang tamu. Meski mas Alam sudah memohon, aku masih tak percaya kalau ibunya bisa berubah secepat itu."Baiklah, Bu. Asma juga minta maaf tapi soal uang, aku hanya bisa memberi tiga ratus ribu. Sedang makan dan keperluan lainnya akan Asma belikan.""Mana cukup tiga ratus ribu, Asma. Ibu pasti punya keperluan lainnya."Aku menatap mbak Ani, wanita ini selalu saja jadi perusuh, buat apa dia datang kalau hanya untuk memperkeruh suasana."Ibu terima meski kau hanya memberi tiga ratus ribu, Asma. Ibu tak akan protes lagi."Aku memicingkan mata mendengar ucapan ibu mertua. Entah kenapa aku merasa dia seperti orang yang sedang buang tabiat alias mau metong."Kalau mau minta maaf tak perlu datang dengan banyak orang begini, Bu. Apalagi membawa mbak Ani yang selalu bikin rusuh, kan bisa bertemu berdua saja."Aku menatap mbak Ani yang tampak geram saat melihatku menjul
Aku hampir berteriak karena senang, ternyata resit tadi benar bukan penipuan.(Lakukan terus promosi mu, Mbak Asma. Aku sudah yakin ini awal yang bagus, istriku terus tersenyum melihat keberhasilan mbak Asma.)(Terima kasih, Mas. Ini berkat bantuan mas Bagus juga.)"Jadi kau malam-malam ngobrol dengan Bagus, Asma. Pantas kau betah dengan ponsel itu, rupanya memadu kasih online dengan pria tak tau malu itu."Aku terkejut saat melihat mas Alam berdiri di belakangku dan langsung marah-marah, kasihan mas Bagus pasti shock berat, karena mendengar suara mas Alam.(Tak apa-apa mas Bagus nanti saya jelaskan pada mas Alam. Saya matikan dulu, selamat malam.)Aku langsung mematikan pangilan dengan mas Bagus, sedangkan mas Alam masih berdiri dengan keadaan marah padaku."Tak usah marah-marah begitu, seharusnya berpikir tak mungkin aku beri kau kesempatan kedua, kalau memang ada hati pada mas bagus."Aku kembali masuk ke kamar. Meninggalkan mas Alam yang masih terdiam di depan pintu."Sudah aku bi
"Untung cuma jatuh kalau hilang kan bahaya." Pikirku."Mas mandinya cepat sarapannya sudah mulai dingin Lo."Aku melongok ke kamar karena melihatnya sudah selesai mandi dan tengah memakai baju. Matanya jelas terus menatap ke lemari."Ayo cepat, Mas. Gak enak kalau sarapannya dingin. Kalau panas kan bisa menghangatkan perutmu juga."Aku menarik tangan mas Alam dan membawanya ke meja makan. Tak lama dia sudah menikmati sarapannya. Aku tersenyum puas lalu menyerahkan bekal makan siangnya."Kau membawakan aku bekal makan siang, Ma?"Aku mengangguk karena bekal ini sengaja aku buatkan untuknya, agar dia berhemat saat mengunakan uang."Ini uang untuk bayar ojek pulang-pergi. Untuk rokok kau harus mulai menguranginya, aku tak mau jadi janda di usia muda, karena nikotin menumpuk di paru-paru mu."Aku meletakan uang ongkos ojek ke dalam saku bajunya. Dia diam tanpa perlawanan, meski jelas terlihat tangannya terkepal dengan erat."Kalau begitu aku berangkat kerja, Ma. Nanti tolong masak sambal
"Tidak mungkin!"Aku tersenyum saat sebuah mobil bak terbuka membawa sebuah motor baru. Karena warga heboh ibu dan mbak Ani jadi tau, akhirnya kakak ipar mas Alam itu pingsan dengan sukses. Tanpa menunggu pria pengantar barang menyelesaikan ucapannya."Wanita aneh, orang beli motor baru, kenapa dia yang pingsan?"Aku hanya tersenyum, tanpa memperdulikan ibu yang tengah berusaha membangunkan mbak Ani."Ani bangun jangan bikin malu ibu. Seharusnya kau senang Asma membeli motor, pasti bisa digunakan Alam kerja, kau juga bisa pinjam kalau mau."Aku terdiam mematung saat mendengar ucapan ibu mertuaku. Dia pikir anak dan menantunya itu bisa menyentuh barangku, dia salah besar."Maaf tapi ini punyaku tak ada yang boleh pakai begitu juga dengan mas Alam. Kalau mau naik motor silahkan beli sendiri."Aku kembali meminta pengantar motor untuk menurunkan di depan rumah. Dengan senang hati mereka menuruti permintaanku."Dijaga baik-baik, Mbak Asma. Jangan sampai ada tangan panjang yang ikut menikm