Share

TEST PACK ASISTEN RUMAH TANGGAKU
TEST PACK ASISTEN RUMAH TANGGAKU
Penulis: Asa Jannati

Di Balik Tirai Itu (1)

Sebelum baca, follow akun Asa Jannati dan subscribe cerita biar muncul notif saat bab baru di posting.🙏

~Di Balik Tirai Itu~

Aku baru pulang dinas dari luar kota, hendak mencari kunci gudang kala menemukan benda itu di laci kamar Inem. Sebuah benda pipih dengan dua garis samar pada sisinya. Seketika jantungku berdentam hebat. Ini Test pack, alat test kehamilan. Untuk apa Inem menggunakan alat ini? Bukankah dia belum menikah?

Gegas kututup laci meja dan keluar dari kamar tatkala terdengar suara anak-anak berlarian masuk ke rumah sehabis bermain di taman perumahan dengan Inem.

“Mama sudah pulang, hore ....” teriak si sulung Sefina, mereka akhirnya berhamburan memelukku yang sudah dua hari tak bertemu

“Mbak Inem, aku mau minum,” pinta si kecil. Inem melangkah mengambil gelas dan menuangkan air.

Dari jarak beberapa meter, kuperhatikan perutnya, sedikit lebih buncit dari biasanya dan tubuhnya terlihat lebih berisi. Astaghfirullah apakah Inem hamil?

Kulihat anak-anak pergi bermain dengan Inem kembali di ruang bermain. Aku merebahkan diri ke sofa dengan pikiran tak menentu. berbagai pertanyaan muncul dalam benak. Benarkah Inem sudah berbuat sejauh itu? Dengan siapa?

“Ma, sudah pulang?” Mas Hangga membuyarkan pikiranku. Ia kemudian mengecup keningku dan mengelus rambutku sesaat.

“Sudah, Mas, aku pulang dua jam lebih cepat dari seharusnya,” jawabku. Ternyata lamunan membuatku tak sadar kalau Mas Hangga sudah pulang kerja dan memasukkan mobil ke garasi.

“Asik, Papa juga sudah pulang!” Si kecil Hanifa berteriak senang.

“Ayuk, Pa, kita main sama-sama,” mereka menarik papanya menuju ruang bermain. Aku masih mengamati dari sudut sofa. Mereka tertawa-tawa girang menyaksikan kekocakan yang dibuat Papanya, termasuk Inem.

Esoknya, sebelum aku berangkat ke kantor, saat Inem sedang menyuapi si kecil di halaman depan. Gegas aku melesak masuk ke kamar Inem kembali. Kubuka laci itu, tespack masih teronggok di sana.

Kali ini kuamati lebih seksama. Garis merah di sebelah garis yang tegas itu terlihat samar. Aku masih belum bisa memastikan, positif atau negatif, sebab dua garis merah yang mengindikasikan positif pun jika sudah lewat beberapa jam warnanya akan memudar.

Kugigit-gigit bibir ini sembari mencoba menerka-nerka siapa lelaki yang dekat dengannya belakangan ini dan menidurinya hingga dia takut hamil dan membeli alat tes kehamilan ini?

Apakah dengan satpam komplek yang biasanya muncul saat Inem bermain di taman bersama dua anakku? Kelihatannya memang ada hubungan di antara mereka. Tapi apa benar sejauh ini? Apa mungkin kedekatan mereka luput dari perhatianku karena terlalu sibuk dengan pekerjaan?

“Assalamualaikum.”

Yu Siti, yang biasa cuci seterika dan bebersih rumah dan bekerja pulang pergi tiap hari itu mengucapkan salam.

Aku menjawab salam, lalu menarik tangannya menuju kamarku. Berbisik meminta tolong padanya untuk mengawasi aktivitas Inem selama aku tidak di rumah. Barangkali ada hal-hal yang mencurigakan. Beruntung Yu Siti ini orangnya amanah.

Setelah dua hari, kutanyakan padanya untuk mengorek informasi. Menurutnya tak ada yang mencurigakan, Inem bekerja seperti biasa bermain dengan anak-anak.

“Apa ada hal lain lagi, Yu? Barangkali ada cowok yang datang nemuin Inem gitu?”

“Oh, iya baru inget. Ada, Bu. Supir sebelah, Anton, kemarin nitip martabak, katanya untuk Inem, saya juga dibaginya.”

Oke, Anton, satpam komplek, siapa lagi yang harus masuk listku sebagai salah satu terduga.

“Coba inget-inget lagi, Yu, ada lagi nggak?”

“Nggak ada, Bu. Paling-paling yang datang ya, Bapak. Sehari bisa dua kali, barangkali nengok anak-anak dirumah, Bu,” jawab Yu Siti datar.

Mas Hangga datang sehari dua kali ke rumah? Kenapa harus sampai dua kali, bukankah makan siang dia sudah tersedia di kantor.

“Jadi Bapak sering pulang ke rumah sehari sampai dua kali, Yu?”

“Iya lumayan sering sih, Bu.”

“Ngapain aja di rumah biasanya, Yu?” Aku iseng ingin dengar jawaban Yu Siti.

“ Saya kruang jelas, Bu. Karena saya kan nyetrika atau nyuci, tidak lihat ke ruangan depan.”

Aku tak bertanya lebih jauh, khawatir Yu Siti menganggap aku curiga ada apa-apa antara Inem dan Mas Hangga. Tapi jujur aku tak tahu kalau Mas Hangga ternyata sering pulang ke rumah di jam-jam kerjanya. Dia tidak pernah cerita.

Malam ini, jam dua dini hari, aku terbangun dari tidur, tersentak dikagetkan oleh suara entah apa, yang jelas membuat mataku yang sedang terlelap tiba-tiba terbuka.

Kuraba ke samping kasur, tak ada tubuh Mas Hangga disitu. Lekas aku bangkit dan menyalakan lampu tidur, gelap menjadi temaram, kulihat anak-anak sedang terlelap di kasur sebelah.

“Mas?” kupanggil Mas Hangga, barangkali ia sedang berada di kamar mandi. Tapi tak ada jawaban.

Aku berjalan keluar kamar. Tak ada orang di ruang depan maupun ruang keluarga. kutuju ruang makan, ternyata Mas Hangga sedang duduk merokok di meja.

“Mas, bukannya tadi sudah tidur?”

“Iya, kebangun. Jadi ingin merokok.”

Kulihat rambut-rambut tipis di dekat pelipisnya agak basah oleh keringat.

“Gerah, ya, Mas?”

“Iya, makanya Mas ngadem, sejuk di sini.”

Kalau memang ruangan ini terasa sejuk, kenapa ia berkeringat?

Kulirik pintu kamar Inem. Sedikit terbuka dan lampu kamarnya menyala, kenapa menyala? bukankah ia sudah tidur?

“Aku balik ke kamar, ya, Mas.”

Mas Hangga tak menjawab, ia menyesap rokoknya dalam-dalam lalu mengepulkannya.

Kutinggalkan Mas Hangga sendirian. Entah kenapa Mas Hangga barusan begitu dingin. Apakah sebenarnya ia sedang menutupi perasaannya yang tegang? Apakah yang kucurigakan benar?

Jangan-jangan mereka habis berbuat? Ah, aku benci dengan perasaanku sekarang.

Di kamar aku tak bisa tidur, meski mencoba memejamkan mata.

Beberapa menit kemudian Mas Hangga masuk kamar dan merebahkan diri disampingku.

Pukul setengah lima aku membuka mata yang sama sekali tak tertidur.

Aku bangkit, melangkah menuju dapur, hendak membuatkan susu dalam dot untuk si kecil.

Kulihat lampu kamar mandi belakang menyala dengan daun pintu yang tertutup. Terdengar gemericik air dinyalakan, dan siraman air perlahan seperti orang mandi. Ya, meski pelan tapi aku bisa memastikan Inem sedang mandi.

Benar saja, setelah sepuluh menit kunanti, ia keluar dengan handuk ditangan dan rambut basah. Matanya menyasar ke segenap ruangan. Kupastikan ia tak melihatku yang duduk di sudut ruangan dalam keadaan gelap.

Setelah ia masuk kamar, gegas aku melangkah ke kamar.

Tumben Inem mandi subuh-subuh sekali, tak seperti biasanya? Ada apa ini? Perasaanku menjadi gaduh.

Aku jadi teringat pesan Mama, “Karin, saran Mama sich, Setiap Mbak yang kerja di rumah ini, dia pulang pergi saja. Jangan sekali-kali mereka tinggal di sini, serumah sama kalian.”

“Kenapa, Ma?”

“Pertama mereka kan bukan mahrom suamimu, jadi janganlah tinggal serumah. Yang kedua, namanya tinggal serumah, khawatir aja ada setan lewat, mereka kesambet, jadi khilaf,” ucap Mama. Mama menyampaikan ini dengan serius.

Kini baru aku sadar apa maksud Mama. Meski kecurigaanku belum tentu benar. Sampai detik ini aku masih belum benar-benar yakin, Mas Hangga akan berani berbuat sejauh itu.

Sore ini Inem sedang menemani anak-anak naik odong-odong di ujung gang. Aku kembali masuk ke kamar Inem, meggeledah isi kamar. Sekali lagi, hal mengejutkan aku temui. Di dalam gumpalan sebuah baju, Inem menyimpan pil KB! ya Allah. Jadi dia berusaha mencegah kehamilan dengan rutin minum pil KB. Aku sangsi jika pil KB ini bukan punya Inem.

Seandainya aku mencoba berpikir baik, anggap milik Yani, ART sebelah yang menitipkannya ke Inem. Hal-hal seperti ini sangat rahasia dan tentu malu bila diketahui orang lain. Yang menyimpan tentu yang menggunakannnya. Jadi bisa kupastikan ini milik Inem, nggak mungkin ada orang lain yang menitip.

Jadi jelas, Inem yang kukira lugu itu, ternyata sudah melakukan hubungan terlarang sejauh itu. bahkan kini ia tengah ketakutan hamil. Pil KB jadi solusinya saat ini.

Akan kuselidiki terus sampai ketemu, siapa laki-laki yang tega-teganya merusak Inem. Alangkah menjijikkan jika itu dilakukan di rumah ini. Aku harus menangkap basah mereka. Dugaanku masih kuat tertuju kepada Anton dan Tikno si satpam komplek itu. Bisa saja malam-malam dia mengendap masuk lewat pintu belakang atau lewat jendela kamar Inem.

Di sudut meja ada sebuah buku. Kubuka lembar demi lembarnya. Hanya catatan biasa, tentang kerinduannya pada adik dan Ibunya di kampung. Hingga pada halaman keberapa ia menulis, “Ya Allah, aku sudah melakukan dosa, dosa juga karena menggangu sebuah ikatan rumah tangga. Tapi aku mencintainya.”

Aku mengigit bibir, mencoba memahami pesan yang tersirat dari kata-kata itu. Apakah Inem mencintai Mas …. Ah, lagi-lagi kutepis pikiran ngawurku sendiri, mungkin aku terlalu parno. Sebelum jelas-jelas terbukti aku tidak boleh sembarang suudzon. Siapapun bisa jadi tersangkanya. Tapi aku tidak akan segan-segan bertindak tegas jika jelas-jelas terbukti.

*

Aku baru pulang dinas dua hari dari Bandung, saat kulihat sore itu Anton sedang duduk diteras bersama Inem. Jangan-jangan mereka sedang merencanakan untuk indehoy berdua lagi. Aku ada ide, sebaiknya di rumah ini di pasang CCTV, agar kecurigaan ini jadi terang benderang.

Kutuju dapur, untuk membuka minuman dingin di kulkas, disebelah kulkas ada satu plastik hitam terisi berukuran besar yang sudah terikat kencang. Itu sampah, akan Inem buang mungkin sebentar lagi. Tapi entah kenapa ada dorongan dalam hati untuk membukanya.

Akhirnya kugunting ikatannya, kucolek satu-satu isi sampah itu. Mataku terbelalak, sebuah kondom yang sudah terikat berisi cairan putih menggelinding jatuh tepat di kakiku.

Astaghfirullah. Kondom siapa ini? Dadaku tiba-tiba bergemuruh. Ada marah tapi tak tahu harus diarahkan ke siapa? Mas Hangga, Anton atau bisa saja supirku sendiri yang sesekali bercengkrama dengan Inem. Saat ini siapa saja bisa jadi tertuduh. Kurang ajar, mereka benar-benar berani berzina di rumahku.

Gegas aku mengambil gawai dan memotret benda itu dengan berbagai posisi dan jarak. Kemudian menyimpan kondom habis pakai itu dalam tissu. Akan kukumpulkan banyak bukti agar pelakunya tidak akan bisa mengelak lagi saat semuanya semakin jelas.

Kuredam emosi yang sudah menggelegak dalam jiwa. Aku masuk kamar beristighfar berkali-kali.

Adzan maghrib berkumandang. Aku hendak menyalakan lampu teras ketika kulihat dua bayangan manusia ada di balik mobil berdiri teramat dekat. aku mundur perlahan bersembunyi di balik tirai jendela kaca.

Itu Mas Hangga dan Inem! Iya, itu mereka. Aku masih bisa mengenali wajah mereka meski temaram dari balik kaca mobil. Inem nampak tersenyum ke arah Mas Hangga, lalu mengecup pipi Mas Hangga.

Jantungku seketika berdebar hebat menyaksikan pemandangan itu. Jadi test pack, pil KB dan kondom itu ....

Kini pikiranku mengarah ke satu orang pelaku. Lihat, Mas, aku akan buat perhitungan denganmu!

____

Kalau mau simak versi You Tub/audionya, ada di akun You Tub Asa Jannati ya tmn. Pengisi suaranya sy sendiri. Tersedia ebook baca sampai tamat jg di g****e playstore

Terima kasih sudah menyimak, tinggalkan jejak love dan komen sblm menuju bab selanjutnya. Terima kasih sudah membantu penulis bertumbuh.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Tcalysta
tak lilit kondomm eee.........
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Tuh benar Khan si Hangga yg sama inem
goodnovel comment avatar
Iis Nur Asih
laki2 emg gk boleh diksh kendor,iman kuat aj imron gak kuat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status