Share

Di Sebuah Hotel (2)

Jangan Paksa Aku Rujuk

Di Sebuah Hotel (2)

Aku mundur perlahan, berjingkat menuju kamar. Tubuhku bergetar hebat. Napasku tersengal. air mata mulai berjatuhan tak terkendali. Kubekap mulutku agar tak mengeluarkan suara dan segera pergi ke kamar mandi lalu menguncinya.

Jadi benar dugaanku. Di antara mereka ada hubungan terlarang yang tak pernah kusadari sebelumnya. Sangat keterlaluan apa yang mereka lakukan di rumah ini, bahkan ketika aku sedang berada di rumah.

Tak bisa kubayangkan apa yang sudah terjadi ketika aku sedang tidak ada di rumah. Mungkin sudah puluhan kondom yang dibuang tanpa aku pernah menyadarinya.

Baik Karin, cukup menangisnya. Berpura-pura tak tahu adalah jalan terbaik yang harus kupilih. setidaknya saat ini. Terlalu dini jika aku melabrak mereka berdua sekarang. Aku tak bodoh, lebih baik kukumpulkan semua bukti agar ketika aku siap membuka semuanya, mereka tak akan bisa mengelak lagi.

Percuma rasanya jika saat ini aku mencegah hubungan mereka. Toh mereka berdua sudah terlanjur berbuat sejauh itu, tak ada gunanya. Yang terpenting saat ini aku hanya perlu menguatkan diriku. Berpikir bahwa semuanya baik-baik saja dan tetap bisa tersenyum ceria seolah tak ada apa-apa di depan anak-anakku, juga mereka.

***Ajt

Senin siang, kumulai aksiku. kukenakan masker agar tak dikenali. Mengintai rumah dari kejauhan menanti Mas Hangga datang. Ya, setelah hari minggu libur, feelingku dia akan datang ke rumah siang ini. Benar, tak perlu menunggu lama, mobil Mas Hangga terparkir di depan rumah.

Lima menit aku segera menyelinap masuk ke halaman rumah, lalu bersembunyi di balik jendela kamarku sendiri.

“Adek, kakak, nonton kartun dulu, ya. Mbak Inem mau bersihin kamar mandi,” ucapnya.

Lalu terdengar pintu di tutup. Pintu kamarku.

“Gimana?”

“Aman, Mas. Anak-anak kalo lagi nonton kartun anteng,” jawab Inem.

Apa? Mas? Jadi dia bahkan sudah memanggil Mas Hangga dengan sebutan ‘Mas.’ Kubayangkan mungkin sudah puluhan bahkan ratusan kali kebersamaan mereka dalam buai cinta terlarang, sehingga sudah tanpa canggung-canggung lagi Inem menyebut suamiku dengan panggilan, 'Mas.' Naudzubillah.

“Ayok sayang, kita nggak punya waktu banyak.”

‘Sayang?’ itu suara Mas Hangga. Ternyata semudah itu ia menyebut sayang kepada wanita lain. Kupikir selama ini cuma aku satu-satunya wanita yang mendapat sebutan spesial itu. Dibohongi habis-habisan ternyata aku.

Terdengar Inem tertawa-tawa kecil, mungkin sedang digoda oleh suamiku.

Hanya perlu menunggu tiga menit sampai kemudian aku sudah mendengar suara desahan demi desahan yang menjijikkan itu. Suara Inem terdengar begitu menggoda. Sudah lihai dan tahu gimana membuat lelaki terbuai rupanya gadis belia itu.

Darahku mendidih, emosiku menggelegak menyaksikan sendiri permainan ranjang suami yang awalnya begitu kucintai dengan seorang wanita kampung tak tahu diri.

Tujuh tahun menikah, aku baru mengenali siapa orang yang kunikahi. Dan Inem, ART yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri itu, ternyata dia lebih memilih menjadi perusak rumah tanggaku.

Tapi tenang saja, aku tidak menyia-nyiakan apa yang sudah kusaksikan! Semua sudah terekam dalam kamera yang kupasang di dalam kamarku!

***

Sepekan berlalu. Hari minggu, aku dan Mas Hangga biasanya mengajak anak-anak jalan ke Mall. Tapi kali ini aku tak berniat mengajak mereka jalan-jalan.

“Ma, keliatannya Mama capek, kalau gitu biar Papa sama anak-anak yang pergi, kasihan mereka bosan di rumah,” Mas Hangga berinisiatif.

“Hem.” Aku hanya bergumam.

“Oh, tapi Papa ajak Inem, Ma. Nanti di arena bermain takut anak-anak jatuh kalau nggak ada yang jaga. Soalnya Papa disana sambil meeting sama rekan bisnis, nggak bisa fokus jagain anak-anak,” ucapnya.

Deg! perasaanku tiba-tiba tak enak. Kalau dulu aku tak akan curiga dengan perkataan Mas Hangga seperti ini. Sekarang aku tak bisa mengabaikan semudah itu, Mas.

Baiklah Kutelepon salah seorang rekan yang bisa kupercaya setelah mobil melaju meninggalkan rumah.

“Tolong mata-matai mereka, Za. Aku percaya kamu,” ucapku.

Suara diseberang sana paham dan menyanggupi permintaanku.

Di rumah sendiri, kumanfaatkan untuk meminta petugas CCTV datang. Beruntung mereka bersedia gerak cepat, dipastikan hanya dalam hitungan kurang dari satu jam. CCTC terpasang sempurna di titik-titik strategis. Aku rela membayar mahal memasang CCTV yang sangat kecil dan tersembunyi sehingga tak akan pernah ada yang curiga bahwa di rumah ini terpasang beberapa kamera CCTV.

Lima belas menit mobil di dalam mall, aku dapat kiriman video berdurasi sepuluh detik, mobil Mas Hangga pergi meninggalkan mall.

[Mereka pergi berdua. Anak-anak tidak ikut, Bu. Anak-anak ada di arena bermain tapi dijaga seseorang. Dia seorang wanita berusia empat puluhan. Mungkin sudah terbiasa dibayar oleh Pak Hangga. Kelihatannya anak-anak sudah kenal dekat, mereka enjoy dan tidak merasa kehilangan Inem dan Ayahnya.]

[Lalu kamu dimana sekarang, Za?]

[Sedang terus mengikuti mereka, Bu.]

[Pastikan kamu jaga jarak dan jangan sampai terlihat mencurigakan] pesanku.

[Tenang Bu, aku pakai motor, temanku yang nyetir, kami pakai masker, jaga jarak, Mereka tidak akan curiga.] balas Reza.

[Good, Thanks, Za.]

Aku menanti detik-detik selanjutnya dengan hati yang teriris, menyadari mereka sudah begitu dekat dan sejauh ini membohongiku. Mas Hangga yang kukenal, lelaki tampan, mapan, humoris, penuh kasih sayang dan romantis. aku tak menyadari satu hal, bahwa dia juga liar.

Selama ini aku meyakinkan diri bahwa Mas Hangga hanya lelaki yang pintar menyenangkan lawan bicaranya. Sehingga chat-chat yang kubaca atau dalam pembicaraan-pembicaraan yang kudengar dengan lawan jenisnya, ia sering memuji sekedar untuk menjadi sosok yang menyenangkan. Tapi aku tak pernah melihat ia berbuat lebih. Atau akunya saja yang bodoh!

Baru dengan Inem aku menyadari bahwa ia ternyata sudah sejauh ini. Seleramu rendah, Mas! Seorang Pembantu kamu makan juga!

Membayangkan ia pernah bermain dengan wanita lain, lalu juga meminta jatah kepadaku, membuatku benar-benar mual!

Reza mengirim sebuah video lagi, kulihat mobil silver bernopol jelas milik Mas Hangga memasuki pekarangan sebuah hotel melati! Ya, Rabb, jadi mereka pergi ke hotel! Dadaku bergemuruh hebat, hingga gawai yang kupegang ikut bergetar lalu terjatuh.

Untuk apa mereka masuk hotel itu kalau bukan untuk memuaskan nafsu binatang mereka. Ya binatang, karena mereka layaknya hewan yang begitu mudahnya menumpahkan birahi kepada yang bukan pasangan halal.

Satu video masuk lagi. Kali ini menampilkan Inem yang bergelayut manja di bahu Mas Hangga yang berjalan menuju lobi hotel. Mereka berdua memakai masker, jelas Mas Hangga tidak ingin gegabah diketahui orang yang bisa saja mengenalinya. Tapi kalian nggak akan bisa bersembunyi dariku. Benar-benar tak tahu malu!

Inem, dua tahun setengah dia di rumah ini, selama itu pula aku masih menganggapnya gadis lugu. Meski dia terlihat sedikit kemayu dan manja, aku maklum karena kupikir dia masih muda, seperti anak remaja pada umumnya yang energik.

Kerjanya menjaga anak-anak sebenarnya bagus. sehingga aku tak segan membelikannya pakaian atau apapun ketika aku sedang berbelanja untuk anak-anak. Terlalu sayangnya aku sama dia, sampai rumah orang tuanya di kampung jadi sedikit lebih layak karena direnovasi menggunakan uangku. Ternyata begini balasannya. Ribuan rutukan keluar dari mulutku.

‘Nggak apa-apa kamu merutuk dalam diam, bersabar sedikit, jangan buru-buru dan gegabah, semua akan terbongkar sangat indah, nanti,’ bisik hatiku.

Video selanjutnya sudah jelas, mereka keluar hotel dengan sedikit terburu, lalu kembali menuju Mall dimana anak-anak bermain. Dan pulang ke rumah berakting seperti tak pernah terjadi apa-apa dengan mereka. luar biasa, kuacungi empat jempol kepada mereka.

“Mamaa ….” Anak-anakku berlarian keluar mobil memelukku.

“Gimana tadi mainnya? seneng, Nak?” kukecup pipi si kecil.

“Seneng, Ma, aku belum bosen, masih ingin main lagi.”

“Wah, seru berarti, ya mainnya, diajakin Mbak Inem naik arena apa aja?”

Inem yang sedang mengeluarkan perbekalan dari dalam mobil, terkesiap, gerakannya terhenti.

“Sama Mbak Asih, Ma. Yang ajakin main namanya Mbak Asih,” jawab Sefina.

Inem langsung berpaling ke arahku, aku pura-pura tak melihat reaksinya.

“Ouwh, Mbak Asih, siapa, tu, Nak?” tanyaku lagi.

“Ee, itu, Bu, teman saya. Ee, pas ketemu di sana tadi. Jadi dia nemenin saya jaga Kak Fina dan Dek Nifa.” Inem langsung menyambar jawaban.

“Oh, gitu.” Aku tetap menjawab seperti tak mengerti apa-apa. Mas Hangga yang sedang menutup pintu mobil sekilas melirikku.

“Iya, Ma, tadi Mbak Inem ‘kan katanya mau ke toilet, jadi kita main lamaaa banget sama Mbak Asih,” ujar si Sulung. Kena kamu, Nem!

Inem tercekat, nampak berpikir. Pupil mata itu berayun ke kiri.

“He he he, maaf, Kak Fina, Mbak tadi sakit perut, jadi lama, dech, karena pup dulu.” Ia lantas berekspresi lucu.

Sontak membuat dua buah hatiku tertawa terkekeh-kekeh. Kedua anak ini memang suka sekali kalau dihibur dengan gaya-gaya badut.

Hmm, oke Inem, kali ini kamu selamat. Karena tak mungkin aku mengorek durasi pada anak kecil. Tapi semua bukti perselingkuhanmu dengan Mas Hangga sudah ada dalam genggamanku.

Aku lantas masuk ke mobil, dari belakang Inem tiba-tiba berlari menyerobotku. Mengambil sebuah plastik kecil dengan terburu-buru. Isi dari plastik itu akhirnya berjatuhan ke lantai. Sabun, odol, dan sikat gigi berwarna putih terbungkus!

Aku ingat betul nama hotel yang tertera pada bungkus itu, sama persis seperti yang terbaca dalam video yang Reza kirim tadi.

“Dapat dari mana itu, Nem?” tanyaku dengan mata memicing.

Inem terkesiap, wajahnya langsung terlihat pias!

To Be Continued.

Terima kasih sudah menyimak, tinggalkan jejak love dan komen sblm menuju bab selanjutnya. Terima kasih sudah membantu penulis bertumbuh.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sitie S Harja
siip .....moga semakin lancar nulis nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status