Share

Bukti (3)

-Bukti-

‘Kalau belum bisa bersandiwara dengan sempurna, jangan coba-coba mengganggu rumah tanggaku, Nem,’ bisik hatiku. Tentu aku tak akan melontarkan kata-kata itu sekarang. Belum waktunya!

“Ee, anu, Bu. Sa-saya dapet dari nemu,” ucap gadis berhidung bangir itu, gugup.

“Nemu?” Aku menatap matanya tajam.

“I-iya, Bu.” Ia sedikit membuang muka merasa terintimidasi. Nem-Inem, harusnya kamu tenang saja, bukankah anggapanmu aku tak tahu affairmu.

“Nemu dimana?”

“Eee….” Inem berpikir lama.

“Kamu kenapa, Nem?” tanyaku datar tapi dengan tatapan curiga.

“Apa, Nem?” Mas Hangga yang sudah di dalam rumah datang menghampiri.

“Oh, itu, itu punya temanku, Ma. Ketinggalan di mobil, kali,” ucapnya santai.

“Eh, oh, iya, maksud Inem, nemu di mobil. Inem pikir ‘kan nggak dipake Bapak. Jadi Inem mau pake buat di kamar mandi Inem.” jawabnya. Ia melepas napas terlihat lega.

“Waduh, kayak kurang sabun aja kamu, pake barang ginian. Stock sabun, odol di lemari juga ‘kan banyak, tinggal ambil saja lho, Nem.” Aku tertawa kecil, berusaha menghilangkan ketegangan hatinya yang tadi sengaja kubuat.

“He he he, iya, Bu.”

Selamat Nem, kali ini kamu lolos. Akting dan kecerdasan Mas Hangga memang tak bisa diragukan lagi.

“Yasudah, yuk masuk,” ajak Mas Hangga. Ia merangkul bahuku mesra, membimbing masuk. Tapi angin telah memberitahuku dari tubuh Mas Hangga tercium bau sabun seperti seseorang yang habis mandi.

Aku memasukkan plastik berisi sabun hotel dan sebagainya tadi ke dalam kotak brankas. Lalu menguncinya.

***Ajt

pukul sembilan malam. Aku sedang menonton film pada saluran tivi kabel di ruang tamu. Anak-anak sudah tertidur tiga puluh menit yang lalu. Mas Hangga datang menghampiri. Ia mencium kepalaku dari belakang, lalu ikut menonton disebelahku.

“Belum tidur, Mas?”

“Sebentar lagi, nunggu kamu masuk kamar, Dek.”

“Ya tidur duluan aja, aku masih mau ngerampungin ini film.”

Mas Hangga justru membelai pipiku hingga turun ke tengkuk leher.

Aku tahu ia sedang memberi isyarat. Tapi aku sedang tak ingin meladeninya. Membayangkan saat ia berdua bersama Inem saja membuatku menjadi begitu membenci Mas Hangga.

“Anak-anak kita sekarang makin lucu-lucu, ya, Dek.”

“Ya, tentu, dan semakin dewasa. Akan selalu melihat perbuatan yang dilakukan kedua orang tuanya, juga akan meniru entah itu baik atau buruk.”

“Iya, makanya Mas nggak mau kehilangan momen saat mereka masih kecil begini. Mas selalu ajak mereka main kemanapun kalau sempat. Tapi masih ada yang kurang bagi Mas, Dek.”

“Hemm, apa?”

“Mas ingin kita punya anak laki-laki.”

“Mas, bukannya kita sudah sepakat, anak dua cukup.”

“Ya, tapi setelah Mas pikir-pikir, nambah satu lagi, bisalah. Sekarang penghasilan Mas juga kan sudah lumayan gede. Kita kan juga belum punya anak laki-laki.”

Apa maksud Mas Hangga tiba-tiba kepikiran ingin punya anak lagi? Apakah maksudnya ia ingin aku pelan-pelan mau menerima kehamilan Inem? Nggak, Mas. Nggak Akan!

“Belum tentu lahir anak ketiga itu laki-laki, Mas. Kalau perempuan lagi, apa Mas mau? Aku sudah malas hamil. Pekerjaanku juga semakin menyita waktu sekarang, ditambah akhir tahun ini aku akan diangkat jadi kepala cabang. Pastinyamakin sibuk.”

Mas Hangga menghela napas cepat, mungkin kesal.

“Kayaknya aku akan ambil dua orang pengasuh anak berpengalaman dari yayasan aja kedepan, mas. Kan penghasilan kita sudah cukup. Mungkin Inem mau kupulangkan, biar anak-anak kita makin pinter kalau yang jaga adalah orang yang selain bisa mengasuh, merawat, juga mendidik.”

Mas Hangga sedikit bereaksi. Tapi aku yakin dia kaget. Hanya saja tak ingin aku curiga.

“Mas rasa Inem cukup pintar ngajarin anak kita, Dek. kasihan kalau dia nggak salah apa-apa dipulangkan. Kalau mau, cari satu lagi aja yang seperti Inem, tapi yang pulang pergi. Nah kalau gini Mas setuju.”

“Kenapa, Mas? Mas keberatan Inem aku pulangkan?”

Aku menatapnya tajam. Ia belingsatan tapi mencoba tenang.

“Ya bukan gitu, Dek, Inem kan sudah lama di sini, sudah cocok dengan anak-anak. Kasihan anak-anak kalau harus pisah dengan Inem.”

“Kamu yakin banget kalau Inem cocok sama anak-anak? anak-anak aja ditelantarkan gitu di arena bermain kemarin. Dia berani-beraninya menitipkan anakku sama orang lain yang nggak aku kenal, dan itu lama, lo. Kamu nggak cek, Mas? Kemana saja dia? Atau jangan-jangan pergi sama kamu!?”

Aku menatap tajam mata Mas Hangga sekali lagi. Kutatap lama dan kucecar dengan pertanyaan seperti itu, Mas Hangga gugup, ia lekas membuang muka ke arah telvisi di hadapan kami.

“Kan sudah Mas bilang, Masnya meeting sama rekan bisnis. Ya, mungkin benar, Dek. Dia ke toilet, namanya juga orang sakit perut ‘kan?”

“Kamu yakin dia pergi ke toilet, nggak ke tempat lain? Kamu yakin, Mas?!” Pertanyaanku sudah bukan lagi menekannya, lebih ke mengintimidasinya.

“Kamu ini kenapa, sich, Dek? Kok marah-marah!”

Mas Hangga mulai emosi.

“Ya, jelas marah. Kata kamu Inem nggak salah. Jelas-jelas salah, nggak tanggung jawab sama tugasnya gitu! Udahlah aku akan pulangkan dia, Mas!”

Klotak! dari arah belakang ada suara benda jatuh. Sontak aku menyibak tirai kaca, Inem sudah berdiri di belakang kami dari jarak dua meter. Lalu dia masuk kamar dan menutupnya dengan keras.

“Tuh, Dek, Inem marah.”

“Maksud kamu? Kalo Inem marah kenapa? Kamu kok kayak takut, Mas? Aneh kamu!”

Aku terus mencoba memancing reaksi lelaki di sampingku ini.

Aku tahu dia sudah tidak fokus, pertama dia emosi tidak jadi dapat jatah dariku malam ini, kedua dia kaget melihat gelagat Inem marah, karena pastinya dia juga tidak akan dapat jatah dari Inem. Sementara aku, bukan hanya saat ini tidak akan memberikan jatah itu padanya, mungkin selamanya sampai aku berhasil menunjukkan semua bukti, lalu menggugat cerai!

Ya, untuk apa meladeni lelaki pezina yang hukum Islamnya jelas, dirajam seratus kali hingga ia mati. Aku ingin lihat bagaimana nanti reaksinya, karena aku tahu persis dia lelaki yang hampir tiap malam meminta.

Aku sudah hilang selera menonton, kumatikan televisi. Lalu masuk kamar, tidur memeluk ana k-anak.

Pukul satu malam. Aku terbangun. Lagi terdengar suara-suara yang membuatku membuka mata tiba-tiba. Entah belakangan ini mungkin tidurku tak nyenyak, sehingga mudah sekali terbangun. Aku bangkit berjalan ke bathroom untuk buang air kecil. Kulirik kasur sebelahku. Mas Hangga tidak ada. Tidak ada atau memang sedari tadi belum masuk kamar.

Aku keluar kamar. Sampai di depan pintu samar-samar aku mendengar suara tangisan. Siapa tengah malam begini ada wanita menangis? Kutajamkan pendengaran, sepertinya dari arah ruang makan. Apakah Inem menangis?

Lekas aku berjalan ke arah suara tangisan. Benar, suara itu datang dari kamar Inem!

Inem sedang menangis? Ada suara seorang laki-laki di kamar itu, terdengar seperti sedang menenangkannya. Deg! Jantungku berdenyut kuat. Aku tak berharap itu suara Mas Hangga.

Kulangkahkan kaki perlahan. Di depan pintu kamar Inem kulihat pintunya terbuka sedikit, dan lampu masih menyala. kutajamkan pendengaran kembali.

“Kamu yang sabar dulu, Nem. Hentikan tangisanmu, Mas kan juga sedang berusaha. Berusaha kan nggak langsung sekali jadi, butuh waktu. Jangan sampai kamu nangis, nanti ada yang bangun.”

Itu suara Mas Hangga! Ia terus menasehati dan menenangkan Inem di antara tangisannya.

“Pokoknya aku nggak mau kalau harus pulang kampung, Mas! Lekas akui aku di depan istrimu dan orang tuamu, kalau aku juga istrimu, aku nggak mau kayak gini terus selamanya!”

Apa?!! Inem minta pengakuan sebagai istri?? Jadi Inem sudah dinikahi Mas Hangga?!!

____

Terima kasih sudah menyimak, tinggalkan jejak love dan komen sblm menuju bab selanjutnya. Terima kasih sudah membantu penulis bertumbuh.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Senja jingga
sukaaa banget ceritanya
goodnovel comment avatar
CemblE'x Elxs
bagus thor
goodnovel comment avatar
لانتينج الجديد
nah yg begini nih sy suka hahahah ...dari pada jajan pembantu pun di embat kwkwkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status