Share

Di Ruangan Itu (4)

-Di Ruangan Itu-

Kali ini otakku benar-benar mendidih. Seperti sebuah magma yang siap diledakkan kuat-kuat ke angkasa. aku bahkan tak mampu lagi mencerna kata demi kata yang sedang mereka bicarakan saat ini. Yang kupahami, mereka berdua ternyata tidak hanya menjalin sebuah affair. Tapi sudah menikah!

Aku berbalik, berlari menuju kamar tamu paling ujung. Lalu menguncinya dan meluapkan semua emosi agar bisa meredamnya lebih cepat. Aku benar-benar dibohongi oleh suamiku sendiri. Entah sudah sejak kapan hubungan itu dimulai dan sejak kapan mereka menikah. Aku benar-benar tak tahu.

Canggih sekali akting mereka, sampai aku mengetahui keberadaan test pack itu dan baru menyadari ada yang tak beres di rumah ini. Kupikir kecurigaanku kepada Inem tak akan mengantarkanku pada sebuah fakta sejauh ini. Gila, suamiku sendiri berselingkuh di dalam rumahnya dimana ada anak dan istrinya berada. Seleranya begitu rendah, hanya berani berselingkuh dengan seorang pembantu cantik.

Kuusap air mataku dengan kasar. Tak perlu ada kesedihan berlarut untuk sebuah pengkhianatan dari seorang pecundang!

Aku pergi ke kamar, mengambil gawaiku dan menekan tombol pengambilan video, kurekam wajahku sendiri yang sudah sembab dengan air mata.

“Pukul setengah dua malam. Jika video ini sudah sampai kepada siapapun yang melihat, berarti aku sudah rela membagikan kisah hidupku kepada siapa saja untuk dijadikan pelajaran. Jangan pernah percaya kepada suami kita 100% sesetia apapun dia, sesayang apapun pada istri dan anak-anak."

"Sisakan ketidakpercayaan padanya beberapa persen untuk sebuah kewaspadaan. Dan jangan pernah membiarkan suami tinggal berdua dengan seseorang yang bukan mahramnya, terutama seorang ART muda yang bisa saja dia tak tahu diri. Kali ini, kuajak kalian melihat sebuah fakta rumah tanggaku.”

Lalu kubiarkan kamera tetap merekam aksiku berjalan menuju kamar Inem, masih terdengar sama, Inem masih menangis dan sedang terus dibujuk oleh lelaki bejat itu. Bedanya, kali ini pintu sudah tertutup rapat.

Hanya saja, aku masih mampu mendengar suara mereka ditengah kesunyian malam ini. Suara Inem pasti akan jelas terdengar oleh rekaman video gawaiku yang kebetulan kupilih mampu merekam suara sebising apapun menjadi terdengar jelas dan jernih.

“Sudah, sayang, jangan nangis lagi, ya. Nanti cantiknya hilang,” ujar lelaki itu lembut.

Kuarahkan kamera ke atas pintu, semoga saja kamera ini masih mampu merekam adegan di dalamnya. Aku membekap mulutku, menahan isak yang sesekali masih muncul.

“Tapi Mas janji, ya. Janji adalah hutang, Mas. Nggak kasihan, tah sama Inem yang lagi isi anakmu, ini.” Nada suara Inem benar-benar berbeda. Pantas saja suamiku tergoda, benar-benar ular.

“Iya, sayang, Mas, janji.” Jawaban yang memuakkan dari lelaki biadab yang sayangnya dia adalah Papa dari anak-anakku.

terdengar suara lampu dimatikan. “Satu, dua, tiga, empat, lima ….” Aku terus menghitung dalam hati tanpa henti, hanya agar aku mampu bertahan dan siap mendengarkan yang terjadi selanjutnya.

Ya, Rabb, desahan wanita itu lagi.

Aku membekap mulutku kencang-kencang kembali. Terlalu menahan tangis sesekali suaraku keluar. Kesakitan hatiku sungguh luar biasa, saat ini.

Hingga pada hitungan ke sembilan puluh, aku tak sanggup lagi mendengar desahan yang makin bersahut-sahutan itu. Memilih untuk berbalik ke kamar bersama anak-anak. Aku menangis memeluk kedua buah hatiku.

Aku tahu harusnya tak ada tangisan lagi, tak ada kesedihan lagi. Tapi ternyata aku tetaplah wanita yang cengeng. Ya, aku cengeng tapi aku pastikan aku kuat, aku tak rapuh. Aku masih mampu menjalani esok hari dengan baik-baik saja.

Kulihat rekaman pada gawaiku itu. Satu bukti tak terbantahkan ada dalam genggamanku. Ternyata rekaman gawai ini melalui lubang angin pintu kamar Inem berhasil menunjukkan jelas-jelas perselingkuhan kedua manusia keji itu. Terlihat adegan Mas Hangga sedang mengusap air mata Inem, membelainya juga adegan lain yang sangat tak pantas dilakukan antara lelaki beristri dengan wanita lain.

Ya, bagiku hubungan mereka tetaplah suatu hubungan yang haram. Karena bisa kupastikan Inem menikah dengan Mas Hangga, bukan diwalikan oleh Ayah kandungnya. Sebab tak akan mungkin ayahnya merestui. Aku sangat kenal dengan Pak Jono, beliau sampai sujud-sujud ketika rumah Inem yang awalnya berdinding geribik jadi berdinding semen 50%nya.

Jadi jelas Pernikahan Mas Hangga dan Inem adalah pernikahan tak sah, dan itu tak ada bedanya dengan hubungan yang haram! Ya Allah Mas, seterbuai itu kamu sama seorang wanita muda!

***

Pagi yang mendung. langit tampak gelap. Aku duduk di meja makan sudah dengan pakaian kerja yang rapi. Mas Hangga duduk di hadapanku dengan wajah yang lesu. Mungkin dia lelah. Aku mencoba menyikapinya sebiasa mungkin.

“Wajahmu sembab, Dek?” Akhirnya ia menyapaku.

Aku diam saja.

“Dek, kok, diam?”

Tiga detik, baru kujawab.

“Ehm, yaa … Mungkin karena tadi aku mencoba memakai soft lens, mungkin karena sudah jarang pakai, jadi air mata netes terus, alhasil sembab.”

Aku menjawab dengan tak menatapnya.

Ia diam, kuharap lelaki tampan berwajah oval dihadapanku ini masih memercayai ucapanku.

ia masih diam, aku meliriknya, ia menatapku.

“Mas ambilin obat tetes, ya. Biar agak enakan.”

“Nggak usah, Mas. Nanti juga sembuh.”

“Mas khawatir iritasi, lagian obatnya dingin, jadi sembabnya jgua bisa hilang.”

Ia bangkit, membuka lemari obat.

Mas Hangga memegang kepalaku perlahan, lalu membungkuk.

“Mendongak dan tahan, ya, Dek.”

Cairan itu menetes dua kali di setiap mata.

Prank! Suara piring terjatuh. Aku tersentak.

Lalu melongok berbarengan ke arah Inem yang juga menatap aku dan Mas Hangga.

Kupastikan dia cemburu, melihat adeganku dan Mas Hangga barusan.

“Kenapa, Nem?” tanya Mas Hangga.

Inem hanya diam, lalu melengos dengan tatapan kesal.

“Kamu kenapa, sich, Nem? Kok aneh pagi ini?” tanyaku. Dia yang memecahkan piring tapi wajahnya musam seperti emosi.

“Kamu sakit, Nem? Sudah kalau sakit istirahat aja di kamar. Nggak usah cuci piring. Kan itu kerjaan Yu Siti.” Lelaki ini lembut berkata. Aku yakin, lelaki dihadapanku ini tak enak hati melihat “istri mudanya” itu cemberut karena cemburu.

Ia masih diam.

“Sini, Nem, kamu sarapan aja, dulu. Sini duduk di sini sama-sama,” ujarku. Aku memang tak membeda-bedakannya sejak dulu. Sarapan pagi bersama Inem juga anak-anak adalah hal biasa. Sayangnya pagi ini anak-anak belum bangun, mungkin sebentar lagi, bangun lalu pergi sekolah.

Sebenci apapun aku pada Inem, Ia masih di dalam rumah ini, menjaga anak-anakku. Aku mengkhawatirkan keselamatan Sefina dan Hanifa seandainya aku gegabah dengan Inem. Tunggu saja, akan ada saatnya memuaskan pembalasanku padanya, nanti.

Tiba-tiba Inem berlari ke kamar mandi, lalu mengeluarkan erangan seperti ingin muntah.

“Hoeek-hoeekk-hoeekk.”

Mas Hangga menatapku. Dan aku menatapnya. Aku ingin tahu apa reaksi Mas Hangga melihat Inem seperti itu.

Di dalam kamar mandi Inem masih terus berusaha mengeluarkan isi perutnya. Sesekali terhenti, sesekali berjekpot/berhoek lagi.

“Mas …. tolong aku. Aku mual. Tolong aku, Mas,” ucap Inem.

Sontak aku kaget, dan Mas Hangga langsung terperanjat kuat. Matanya membulat menatapku sembari menelan ludah.

Aku menyedakepkan kedua tanganku menatapnya tajam. Mati kamu, Mas!

____

Terima kasih sudah menyimak, tinggalkan jejak love dan komen sblm menuju bab selanjutnya. Terima kasih sudah membantu penulis bertumbuh.

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Senja jingga
Bismillah... semoga saya juga bisa menjadi penulis hebat yang menghasilkan uang seperti mbak nya. Aamiin..
goodnovel comment avatar
Al Fatih
siiiip aku senang bacanya
goodnovel comment avatar
Baharudin Haris
istri yg msh mau melayani suami yg sdh bertubuh dg babu , bodoh sekali, iti kontolnya udah seting nyemplung menek babu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status