Share

TIGA

Vivi yang sudah selesai masak, bergegas naik ke kamar di lantai dua. Sebentar lagi dia harus menemui nenek, tapi sebelumnya dia harus ke rumah sakit untuk mengobati punggung.

"Kamu belum keluar dari rumah ini?"

Vivi balik badan sesampainya di atas tangga.

Almira.

Almira tersenyum. "Apa kamu masih punya hak berada disini?"

Vivi tersenyum, berusaha tidak gentar dengan serangan Almira. "Kenapa aku tidak memiliki hak? meskipun aku menyerahkan posisi istri pertama, tetap saja aku masih tunangannya."

Almira menyentuh anting berliannya untuk menunjukan cincin lamaran Krisna. "Tunangan tidak bisa dibandingkan dengan istri sah, dan kamu seharusnya tahu itu."

Vivi tidak mengubah senyumnya, meski hati dongkol dan sedih. Dia sudah belajar menahan emosi sejak kecil, dalam kondisi apapun harus tersenyum. "Terima kasih sudah mengingatkan dan selamat."

"Krisna memohon padaku untuk menjadikanmu sebagai istri kedua," kata Almira.

Vivi mengangguk. "Dia sudah menceritakannya padaku, kalian berdua memiliki masa depan di dunia politik dan tentu saja posisi saya tidak bisa dibandingkan dengan keluarga anda yang agung."

Almira mengerutkan dahinya. "Kamu tidak kecewa? sayang sekali."

"Buat apa?"

"Ck. Tidak menarik! harusnya kamu marah atau menangis tapi kamu diam saja menerima semua ini. Pantas saja Krisna bosan dengan kamu."

Vivi menghela napas panjang. "Semalam saya sudah menangis di pesta bukan? bahkan kalian menganggap saya menghancurkan pesta itu."

"Ah, sekarang aku ingat!" Almira tertawa licik.

Vivi hendak balik badan.

"Semalam kamu tidak di rumah sakitkan?"

Vivi berusaha menelan emosinya. Tidak di rumah sakit? itu berarti wanita ini memang sengaja meracuninya!

"Atau- kamu bertemu dengan seorang pria?"

Apa dia mengikutiku?

"Benar bukan? bagaimana pria itu? dia lebih tampan dari Krisna?"

"Anda mengancam saya sekarang?"

Almira tersenyum licik. Vivi tidak berminat melihat belakang punggungnya, ia tidak tertarik dan lebih memilih jalan ke kamarnya.

"Apa-apaan anak itu, benar-benar tidak sopan," ujar Erika sambil memeluk tangan Almira.

"Dia masih muda, masih belum mengontrol emosinya." Jantung Almira berdetak keras. Dia berdoa semoga Erika tidak mendengar percakapan mereka.

"Tapi tetap saja meninggalkan senior tidak sopan. Kenapa sih kakak dan ibu mempertahankan perempuan itu? diakan yatim piatu dan tidak punya latar belakang apapun yang menguntungkan keluarga kita."

"Jangan begitu."

"Ah, kak Almira gak tahu sih- peristiwa dua tahun lalu."

"Ya?"

"Saat itu kakak-"

"Erika!"

Almira dan Erika menoleh ke sumber suara, Krisna sudah berdiri di belakang mereka.

"Kita semua sudah sepakat untuk tidak membicarakannya!" bentak Krisna.

Erina mendecak kesal sambil melepas pelukannya di Almira.

"Sayang-" Almira menyentuh tangan Krisna.

Krisna memberi tatapan peringatan ke Erika lalu menatap sayang Almira. "Itu aib masa lalu, tidak usah dibahas."

"Apa ini berhubungan dengan Vivi? biar bagaimanapun aku akan menjadi istri pertama kamu dan dia menjadi istri kedua kamu jadi-"

"Tidak perlu," potong Krisna.

Almira terdiam.

Sementara itu di kamar, Vivi menikmati makan mienya sambil mengecek website rekanan hotel. sekaligus video call dengan marketing.

"Aku sudah mendengar kejadian semalam, para manajer tidak bisa berbuat apapun. Keluarga Aditama tidak pernah bertindak seperti itu sebelumnya."

Vivi menyeruput mienya dengan santai.

"Bagaimana dengan punggungmu? dipukul dengan rotan pasti sakit sekali."

"Nanti aku ke rumah sakit."

"Tidak perlu, di dekat sini ada klinik. Kamu bisa memeriksakannya, kalau ke rumah sakit pakai uang apa?"

"Ada asuransi kesehatan pemerintah."

"Ah, serius! bagaimana keluarga kaya itu memperlakukan kamu secara tidak manusiawi seperti ini, kamu memang tunangannya tapi-"

Vivi tersenyum sedih. "Tapi aku mencintainya, aku yakin Krisna pasti akan berubah."

"Yah, semoga saja."

"Bagaimana dengan tamu?" Vivi mengalihkan pembicaraan dengan sengaja.

"Oh, saran yang kamu berikan sangat bagus. Semenjak kita bekerja sama dengan aplikasi web travel dan memakai model, tamu mulai berdatangan."

"Ada kabar tentang pengajuan proposal spa?"

"Ah, spa terkenal itu- mungkin sulit-"

"Kenapa?"

"Aku sudah dua bulan masukan proposal tapi sampai sekarang belum ada jawaban."

"Apa aku perlu maju?"

"Tidak, tidak. Mereka mungkin akan mengusir kita lebih dulu! jangan tersinggung, tapi biar bagaimanapun melihat anak yang terlihat masih kecil, orang akan kehilangan minat kerja sama dan menganggap proposal kita mainan meskipun kerjamu memang bagus disini."

Vivi tersenyum kecut.

"Aku akan berusaha keras mendapatkan kerja samanya," janji marketing.

"Kita tidak boleh melepasnya. Proyek kerja sama ini sangat penting, spa itu termasuk terkenal di kalangan menengah dan atas."

"Yah, aku sudah pernah kesana sekali. Tidak ada penyesalan mengeluarkan uang banyak," tawa marketing.

"Hotel kita dikerahkan khusus untuk tamu yang bepergian, mereka pasti lelah dan membutuhkan perawatan tubuh. Kita tidak bisa asal-asalan mendirikan spa, karena kita tidak memiliki pengalaman, mau tidak mau harus kerja sama dengan tempat itu. kalau gagal, kita harus putar otak lagi."

"Aku tahu."

Vivi menghabiskan sisa kuah dengan rakus. "Jangan lupa juga untuk mendapatkan chef bagus."

"Kalau ini sebaiknya kamu bicarakan bagian dapur."

Vivi mengangguk. "Nanti malam aku kesana."

"Apa tidak masalah kamu kesini di malam hari? pesta semalam membahas soal kamu masuk hotel di malam harikan?"

Vivi memijat keningnya.

"Aku bingung dengan keluarga Aditama, mereka sudah lama memiliki hotel inikan? jadi mereka pastinya harus paham soal night auditor. Closing mereka di malam hari bukan?"

Sebelumnya, hotel tempat belajar Vivi menarik tamu lokal atau luar kota saja tapi bagi Vivi tidak cukup mengingat hotel dan cabangnya harus menyetor uang untuk dana kampanye ibu Krisna dan Krisna, bahkan mereka harus mengadakan kegiatan sosial hampir setiap minggu.

Ini membuat beban pengeluaran hotel lebih banyak daripada pendapatan. Vivi menyadarinya setelah bagian accounting mengeluh, bahkan fee dari tamu untuk karyawan wajib diserahkan pihak hotel dengan alasan untuk menghindari makar.

Vivi tertawa saat mendengar alasan konyol itu. Siapa yang membuat kebijakan itu? tidak usah dijawab mereka pun Vivi sudah mengetahuinya. Ibu Krisna.

Kenapa tidak ada yang mengadukannya ke pemerintah? tentu saja para pegawai disini tidak mau kehilangan pekerjaan. Sebagian besar adalah pegawai lama berumur yang bisa dibilang tidak akan mudah mendapatkan pekerjaan baru.

Akhirnya Vivi berusaha belajar manajemen dalam waktu singkat untuk mencari celah keuntungan. Ya, dengan mencari tamu asing.

Tentu saja dengan hal itu, mereka harus bekerja extra keras dan melakukan closing di waktu tidak tentu. Kalau tamu terakhir datang sebelum jam 12 malam, night audit akan menutup transaksi tepat jam 12 malam tapi kalau tamu datang sebelum jam 3 pagi, mereka akan closing di jam 3 pagi.

Hal inilah yang menjadi pemicu kemarahan di pesta semalam. Bagi orang awam, anak perempuan belum menikah yang keluar masuk hotel di malam hari akan menimbulkan pemikiran negatif.

Mereka tidak mau tahu kerja keras Vivi dan orang-orang hotel untuk meningkatkan pendapatan hotel. Untungnya manajer hotel memberi pengetahuan Vivi soal manajemen dasar sehingga mereka menemukan celah kebijakan yang dibuat ibu Krisna.

Para pegawai tidak akan mendapatkan fee dari tamu tapi mereka bisa mendapatkan fee dari keuntungan hotel. Sebelum ibu Krisna dan Krisna menyadari hal ini, mereka mengajukan proposal terlebih dahulu dan tentu saja mereka harus bertindak licik. Proposal harus diberikan sebelum ada kenaikan pendapatan hotel.

Tentu saja tebakan mereka benar, keluarga Aditama menyetujuinya dengan mudah. Semua pegawai hotel bersorak kegirangan, kerja sama memang dibutuhkan disini dan Vivi mencintai kerja sama itu serta orang-orangnya yang baik.

Saat melaporkan pendapatan bulanan pun keluarga Aditama tidak banyak berkomentar, mereka tidak bisa melarang ataupun marah karena pendapatan hotel meningkat tajam.

Sepertinya mereka memperhatikan reputasi di luar meski entah kenapa tidak mempertimbangkan kebijakan fee tamu untuk karyawan hotel.

Biar bagaimana pun selamanya kita tidak hanya bisa mempertahankan reputasi, tim kerja yang bagus juga dibutuhkan.

Setelah puas dengan laporan marketing dan cek tamu reservasi, Vivi membereskan peralatan makan dan bersiap-siap pergi ke hotel, sebelum menemui nenek.

Erika tiba-tiba membuka pintu kamar Vivi dan bertanya. "Apakah kamu akan ke rumah utama?"

Vivi yang terkejut, sontak membalas. "Ya."

Erika mengancam Vivi. "Jangan bertindak macam-macam apalagi mengadukan sesuatu ke nenek, beliau sedang sakit."

Vivi tersenyum untuk menenangkan Erika. "Tenang saja, aku di sana memang merawat nenek dan aku juga tidak berani mengganggunya dengan urusan lain."

"Baguslah, kalau kamu mengerti."

BRAK!

Erika membanting pintu dengan keras, Vivi menutup mata dan berusaha menelan perasaan pahit yang menyerang.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Vivi klo soal perasaan mah bodoh mn mungkin krisna suka sama dia
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status