Share

Hati yang Terbagi
Hati yang Terbagi
Author: Mutiara Sukma

Bab 1

"Wah, pantas Pak Gunawan selalu bawa bekal, masakan istrinya ternyata luar biasa rasanya, enak banget! ngalahin masakan resto yang biasa saya makan." puji Farhan teman Mas Gunawan yang kebetulan malam ini makan bersama dengan kami.

Wajah Mas Gunawan pucat, matanya menatapku takut-takut. Selama ini Mas Gunawan tak pernah mau jika kutawarkan membawa bekal dari rumah.

"Ah, Bapak bisa saja. Ini hanya masakan sederhana." 

"Beneran lho, Bu Alina. Ikan bakar ini enak sekali. Saya suka ngiler melihat bekal Pak Gunawan. Dari wanginya saja sudah menggoda. Baru kali ini saya dapat merasakan rasanya." laki-laki itu terkekeh. 

Suapannya makin lahap, sangat berbeda dengan Mas Gunawan yang terlihat salah tingkah. Dia makan Ikan bakar kesukaannya itu tak berselera, tak seperti biasanya. 

"Memang Bapak tak pernah di ajak makan bareng sama Mas Gunawan?" pancingku.

"Walah, ga pernah, Bu. Dia lahap aja sendiri. Lagi pula sepertinya memang porsi untuk makan sendiri, hehe. Beruntung Pak Gunawan memiliki istri seperti Ibu."

Aku tersenyum getir. Bagaimana tidak, sak prasangka mulai menyelimuti hati. 

"Hayo lah, Pak. Tak usah bahas yang di kantor, mumpung bisa makan masakan istri saya, hayo kita nikmati" potong Mas Gunawan, dengan wajah canggung.

"Ha ha ha iya, Pak. Seharusnya saya bawa istri ke sini. Sayang, istri saya sedang sibuk banyak urusan." sahut Pak Farhan tanpa curiga, jika di antara Mas Gunawan denganku sedang ada perang mata yang sedang membara.

"Bekal Mas Gunawan selalu habis kah, Pak? kadang saya suka curiga makanannya dibuang, karena kotaknya selalu kosong sampai dirumah." pancingku lagi.

Mas Gunawan menatapku, tapi aku pura-pura tak peduli.

"Wah, mesti habis, Bu. Kotak biru yang selalu dia bawa emang tak pernah menyisakan makanan." sahutnya semangat.

Aku ber-oh ria. Padahal hati ini makin tak karuan. Berarti jelas jika makanan itu memang bekal dari rumah bukan dibeli dijalan, tapi, rumah siapa? siapa yang membuatku makanan itu untuknya? berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku.

Usai makan malam itu, Pak Farhan masih tetap ngobrol diluar bersama Mas Gunawan. Sedangkan aku memilih dikamar. Mencoba mencari tahu tentang kotak makanan dan bekal yang dikatakan oleh Pak Farhan.

[Rin, apa kabar?] 

Pesan kukirim ke Rina. Teman kantor Mas Gunawan yang aku kenal saat ada acara gathering di kantornya.

[Baik, Mbak Alina. Mbak sendiri apa kabar?" balasnya cepat, Sepertinya Rina memang sedang memegang ponselnya sehingga pesanku cepat terbalas.

[Kabar baik, Rin. Oh ya Rin, di kantin biasanya ada masakan apa saja, Rin? saya bingung mau bawain bekal apa buat Mas Gunawan, nanti biar makan di kantin saja.]

[Wah, bukannya Pak Gunawan ga mau makan masakan di kantin, Bu? setiap hari kan bawa bekal, yang Ibu siapkan? ]

Berarti benar kata Pak Farhan, kalau Mas Gunawan selalu bawa bekal yang katanya aku siapkan. Padahal sebenarnya masakan itu bukan aku yang masak.

[Iya, Rin. Saya bingung harus masak ikan bakar terus, takut Pak Gunawan bosan.]

[Biasanya kan selang-seling, Bu. Ayam penyet, rendang, ikan bakar dan ibu pasti paham, kan ibu yang menyiapkan, bukan?]

Aku terdiam. Masakan yang disebutkan Rina memang masakan kesukaan Mas Gunawan. Tapi, aku sama sekali tak pernah membawakan untuknya. Karena Mas Gunawan selalu menolak.

[Oh, ya sudah Rin. Makasih ya.] Ketikku mengakhiri chatting itu. 

Suara mobil Pak Farhan terdengar menjauh sepertinya dia sudah pulang. Sebentar lagi Mas Gunawan pasti akan masuk ke kamar ini. Aku menyimpan ponselku dibawah bantal lalu mematikan lampu, hingga hanya tersisa temaram cahaya dari luar.

Gegas aku tidur dengan posisi menghadap tembok, agar Mas Gunawan tidak curiga jika aku masih terjaga..

Suara pintu terbuka terdengar jelas, diiringi langkah kaki yang mendekat dan gerakan tubuh yang naik ke atas ranjang. Aku memejamkan mata, tak lama sebuah kecupan hangat mendarat di puncak kepalaku. Lalu sosok itu kembali menuruni ranjang. Dan pintu kembali tertutup.

Aku menghela napas dalam-dalam, selama ini aku tak pernah mencurigai Mas Gunawan. Setiap malam memang dia akan menghabiskan waktu di ruang kerjan sebelum tidur bersamaku. Tapi, kali ini aku merasakan ada sesuatu yang harus aku selidiki.

Perlahan aku menurunkan kaki dan berjalan menuju pintu, dengan sangat hati-hati aku membukanya. Agar tak mengeluarkan suara. Cahaya diluar sudah gelap, hanya kamar sebelah dimana, ruangan itu disulap menjadi ruang kerja Mas Gunawan yang masih menyala lampunya.

"Besok tak usah bawain bekal dulu, ya."

" ......"

Sepertinya Mas Gunawan sedang melakukan panggilan telepon.

"Lusa aja, siapkan ikan bakar lagi."

"....."

"Sabar, ya ..."

Dadaku terasa sesak mendengar pembicaraan itu. Dengan siapa Mas Gunawan bicara. Tak dapat aku pendam lagi.

Brak!

Pintu terbuka lebar, wajah Mas Gunawan pias. Dia bergegas mematikan ponselnya dan berdiri menghampiriku. Air mata yang berusaha kutahan luruh sudah. 

"Sayang, belum tidur? kenapa menangis?"

Wajahnya yang tadi pucat tampak biasa lagi. Malah terlihat mengkhawatirkan diriku.

"Mas, siapa yang membawakan bekal untukmu? masakan siapa itu, Mas?" suaraku bergetar menahan tangis.

"Bekal? oh bekal yang tadi Pak Farhan bilang?" dia terkekeh.

"Itu masakan Mama, Sayang. Mama yang menyiapkan makanan itu untuk Mas." 

Mas Farhan menarik kepalaku ke dadanya. Apakah kau jujur, Mas? kenapa hatiku belum bisa menerima.

"Kamu yakin, Mas? bukan perempuan lain kan, Mas?"

Mas Gunawan membingkai wajahku dengan kedua tangannya.

"Tak ada wanita lain di hati Mas, selain kamu, Sayang. Only you!"

Aku menangis terisak. Sejak dua tahun pernikahan kami, belum pernah ada pertengkaran hebat terjadi. Mas Gunawan selalu memberikan apa yang kupinta. Mama mertua juga sangat sayang, rasanya tak ada alasan untukku mencurigainya. 

"Jangan menangis lagi, tadi Mas menelpon Mama, agar Mama tak perlu menyiapkan bekal untuk Mas besok. Mas mau makan masakan istri Mas yang tercinta."

Hatiku menghangat. 

"Aku akan masak untuk Mas besok, aku janji masak yang enak."

Mas Gunawan kembali memelukku erat, lalu perlahan mengajakku ke kamar.

"Mas ga jadi kerja?"

"Ga. Malam ini Mas sangat rindu sama kamu, Sayang."

Wajahku bersemu, meski kami belum dikaruniai

anak, Mas Gunawan tak pernah mempermasalahkan. Dan malam itu kami pun melebur menjadi satu, berharap ada cinta yang tumbuh disana.

****

Sebelum subuh aku selesai mandi, mengeluarkan ikan yang berada di freezer agar esnya mencair untuk kumasak sebagai bekal makan siang Mas Gunawan. Adzan subuh belum lah berkumandang, aku memilih merapikan rumah, menyapu dan memilih pakaian kotor yang hendak kucuci.

Saat mau meraih tas kerja Mas Gunawan, tiba-tiba kotak makanan berwarna biru jatuh ke lantai. Kotak makanan siapa ini? Aku tak merasa tak pernah membeli kotak ini? Apa punya Mama, seperti yang Mas Gunawan katakan?

    

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Ce dongo bknnya cek hp malah percaya gitu aj
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
perempuan terlalu gampang dibodohi dengan kata² rayuan , mirisss
goodnovel comment avatar
Mintarsih
kenapa sih laki laki selalu serakah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status