Share

Bab 2

"Sayang?" 

Seketika aku menoleh ke arah suara di belakangku.

"Mas, ini kotak makanan siapa?" 

Aku memperlihatkan kotak biru itu padanya. Wajahnya sedikit menegang, kemudian menghela napas pelan.

"Oh, itu punya Mama. Mas, lupa mengembalikannya kemarin."

Aku menatap Mas Gunawan lekat.

"Kamu setiap hari mampir ke rumah Mama, lalu pulang, juga mampir lagi untuk mengembalikan kotaknya?" Tanyaku, Mas Gunawan mengangguk.

"Itu tandanya Mama sayang sama kamu, biar kamu ga capek masak bekal untuk Mas." Mas Gunawan merangkul pundakku.

"Bukan masalah sayang, Mas. Aku juga yakin Mama sayang sama aku. Tapi, selama ini Mama ga pernah cerita kalau bawain kamu bekal."

"Mungkin Mama lupa, maklum sudah tua."

Aku pura-pura mengiyakan walau sejujurnya aku tak percaya. Selama ini aku tak pernah melihat ada kotak makanan seperti itu dirumah Mama. Dan Mama juga tak pernah bercerita jika suamiku itu selalu dia siapkan bekal. Padahal kami hampir setiap Minggu main kesana. 

"Ya sudah, Mas mandi dulu. Jangan lupa masak yang enak, ya." Lelaki itu menjawil daguku lembut. Aku mengangguk sambil mengulas senyum. Setelah Mas Gunawan masuk ke kamar mandi, aku melangkah ke kamar. Mengambil ponselnya yang tersimpan di atas meja rias. Semalam bukan waktu yang tepat untukku menanyainya. Maling mana mau ngaku. Sedari awal aku sudah menaruh curiga dengan bekal makan siangnya itu. Jangan kira karena aku diam, aku tidak berbuat apa-apa.

Beruntung ponselnya tidak di pasword. Aku langsung memeriksa riwayat panggilan terakhirnya. Kosong, tak ada satupun kontak terpanggil disana, begitu juga dengan pesan dalam aplikasi hijau, semua bersih. Hanya beberapa chat kami dan temannya tersisa disana semua obrolan hanya seputar pekerjaan. Hebat sekali lelaki ini, dia sengaja menghapus jejak. Tak mungkin aku memeriksa seluruh isi kontaknya. Itu hanya akan buang-buang waktu. Karena aku juga tidak tau siapa yang harus kucari.

Berbekal tutorial dalam sebuah video yang dikirim Anggi di grup, aku langsung mempraktekkan. Tak butuh waktu lama, aku berhasil menyadap w******p milik Mas Gunawan. Ponsel segera kutaruh ditempat semula agar Mas Gunawan tak curiga.

"Sayang, lagi ngapain?"

"Eh, Mas. Udahan mandinya?" Aku sedikit gugup, ga nyangka dia sudah selesai di kamar mandi. Untung ponselnya sudah kutaruh kembali.

"Sudah, kamu lagi ngapain, Sayang?" Lelaki itu mendekat. Aku pura-pura memeriksa pesan.

"Ini tadi, ada pesan dari Anggi, ngajak makan-makan nanti siang. Boleh ga, Mas?" 

Lelaki itu beranjak menuju lemari sambil mengeringkan rambutnya.

"Boleh." Jawabnya singkat. Syukurlah Mas Gunawan tak melihat aku mengutak-atik ponselnya.

"Makasih, ya, Mas."

Dia menoleh lalu tersenyum. Akupun kembali ke dapur, menyelesaikan pekerjaan. Hingga suara adzan terdengar, gegas menuju kamar mandi untuk berwudhu lalu sholat subuh.

***

"Ini bekalnya, Mas." 

Aku menaruh kotak bekal Mas Gunawan ke dalam tasnya.

"Kok, warna hijau? Kotak yang biru kemarin mana?"

"Ada, di rak piring. Kenapa Mas? Mas, ga suka kotak ini? Isinya masakan kesukaan Mas juga kan?"

"Ga, gapapa kok. Mas suka. Soalnya itu kotak punya Mama, mau Mas balikin nanti."

"Ooh, punya Mama, ya? Oke, aku ambilkan." Aku beranjak ke dapur. Mengambil kotak biru yang telah kucuci itu, dan memasukkan ke dalam kantong plastik.

"Makasih, Sayang." 

Aku mengangguk lalu duduk tepat dihadapannya. Mas Gunawan makan dengan lahap, meski hanya dengan nasi goreng biasa yang kutambahkan telor mata sapi di atasnya. Dua tahun bersama, tak pernah Mas Gunawan menunjukkan tanda-tanda aneh. Semua berjalan seperti biasa. Hari libur kami selalu mengunjungi Mama atau main ke rumah Ibuku yang rumahnya tak begitu jauh dari rumah orang tua Mas Gunawan. Walau setelah itu dia pergi dengan pakaian olahraganya, bermain futsal dengan teman-teman lama.

Kalau dipikir tak ada alasan untuk aku mencurigainya. Namun, firasat ini tak bisa kukendalikan. Seakan ada sesuatu yang disembunyikan Mas Gunawan dariku.

Lelaki itu sudah berangkat. Kini tinggallah aku dirumah sendiri. Dengan malas aku membuka aplikasi hijau. Grup geng yang diketuai Anggi masih sepi. Biasanya ibu-ibu muda itu sibuk dengan urusan anaknya sekolah. Beda denganku yang belum punya momongan.

Aku beralih ke akun Mas Gunawan. Sama, masih sepi. Tak terlihat ada percakapan disana. Perasaanku benar-benar tak tenang. 

[Gaes! Kalian sibuk, ya?]

Aku mengirimkan pesan di grup rempong yang beranggotakan, Anggi, Dea, Nabila dan si Emak tomboi, Lea.

[Tumben nih, gabut pagi-pagi, ada apa, Neng?] Sahut Dea cepat. Dea yang baru punya bayi yang berumur dua bulan itu pasti sedang rebahan menyusui bayinya.

[De, sebenarnya ini masalah serius. Aku ingin bertemu kalian. Bisakah?]

[Aku sih, ijin dulu ya, Lin. Soalnya Davina belum bisa ditinggal, dan aku belum bisa menyusui sambil duduk.]

[Iya, De. Aku paham kok keadaan kamu.] Balasku.

Tak lama Anggi menyahut. Begitu juga dengan Nabila dan Lea. Semua menyetujui untuk bertemu nanti siang di kafe tempat biasa kami bertemu.

Jam sudah menunjukkan angka 12 siang, aku sudah sampai di kafe yang dijanjikan. Belum ada yang datang. Sambil menunggu mereka aku memainkan ponsel, melihat-lihat postingan yang ada di F******k.

Bugh!

Seorang anak perempuan tak sengaja menabrakku. Ponsel ditangan hampir saja jatuh.

"Astaghfirullah, Bila, hati-hati, Sayang." Perempuan yang tampak seperti Ibu gadis kecil itu segera meraih tubuh anaknya.

"Ya Allah, Mbak, maaf yaa ... Anak saya ga sengaja menabrak Mbak."

"Maaf Tante." Ucap gadis lima tahunan itu takut-takut.

Aku mengulas senyum. 

"Gapapa, Tante gapapa, kok. Namanya siapa gadis cantik?"

"Sabila, Tante."jawabnya, ah imut sekali.

Aku mencubit pelan pipi gembul gadis itu. Ingin sekali rasanya punya anak seperti dia. Lucu dan sangat menggemaskan. Setelah basa-basi dan mengucapkan terima kasih, Ibu dan anak itu berlalu. Aku memandangi mereka hingga tak terlihat lagi punggungnya. Ah, andai saja Mas Gunawan sehat, tentu aku sudah hamil saat ini. Namun, hasil pemeriksaan waktu itu menyatakan Mas Gunawan tak bisa membuahi alias mand*l. 

Tak lama teman-temanku datang. Kami berbincang banyak hal termasuk kecurigaanku pada Mas Gunawan.

"Mungkin bener, Mamanya yang membuat bekal itu, Lin." Ucap Anggi. 

"Soalnya aku lihat suami kamu itu ga nakal, pendiam dan sayang banget sama kamu." Lanjutnya.

"Ye! Bisa aja cuma kedok!' bantah Lea.

"Kalau aku sih! Tetap status waspada. Bagaimanapun suami kita itu tetap saja lelaki tampan yang tak terlihat menggoda dimata wanita lain. Kalau bukan laki-lakinya, ya kadang perempuannya yang gatal." Lanjut Lea.

Setelah melepaskan uneg-uneg pada sahabat-sahabatku itu, kami pun berpisah. Saran dari mereka tetap aku tampung. Lea yang lebih vokal menyuruhku memata-matai Mas Gunawan.

Baiklah, mungkin ada benarnya. Lea yang statusnya sama denganku, mau membantu memantau jika ada kesempatan. Perempuan yang sudah lima tahun menikah itu belum juga mempunyai keturunan. Itu karena dia tak mau, beda denganku. Aku sangat ingin, tapi tak bisa karena suamiku yang dinyatakan infertilitas.

Hari sudah petang, aku berniat mampir ke rumah Mama. Lagi pula Mas Gunawan kan selalu pulang malam, aku juga sendirian sampai dia datang.

"Alina? Tumben kamu kesini, Sayang?" Mama menyambutku, pelukan hangat selalu dia berikan saat kami bertemu.

"Alina kebetulan lewat, Ma." Sahutku sambil membalas pelukannya.

Kami pun ngobrol-ngobrol diruang tamu. Hingga tak lama sebuah mobil masuk ke halaman.

"Siapa, Ma?" Aku menjulurkan kepala melihat dari jendela.

"Sepertinya, Mas Gunawan?" Lirihku, namun masih ragu karena wajah orang dalam mobil itu tak begitu jelas.

Mama bangun lalu berjalan ke arah pintu. Aku terus memperhatikan sosok yang hendak membuka pintu mobilnya itu. Benar Mas Gunawan, wajahnya berseri. Sambil berlari kecil dia melangkah ke arah rumah membawa sebuah plastik putih besar.

Tepat saat dia menginjak teras, aku berjalan ke pintu. Mata kami bertemu.

"Alina?" 

    

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yossi Yendrita sari
mantap........lanjut thor
goodnovel comment avatar
Domino
ok baguuuuuuuuuus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status