Share

Bab 3

"Kamu disini, Sayang?" 

Mas Gunawan sudah bisa mengendalikan diri. Dia mendekat dengan wajah yang sudah kembali biasa.

"Iya, pulang dari ketemuan sama teman-teman aku langsung kesini." Jawabku datar.

"Itu apa, Mas?" Aku menunjuk ke arah plastik yang dia bawa.

"Oh ini? Boneka. Mama tadi minta boneka." Jawabnya sambil melirik ke arah Mama yang sedari tadi mematung di depan pintu.

"Eh, ah iya! Itu boneka pesanan Mama. Kasian kemarin Mama melihat ada anak-anak yang ngumpulin barang-barang bekas dari tong sampah. Mama kira mereka akan senang menerima boneka ini." jawabnya sedikit tergagap.

"Dimana Ma? Perasaan selama ini di sini, Alina belum pernah melihat anak kecil yang memungut sampah?"

"Iya, kamu kan jarang-jarang ke sini, Lin." Sahut Mama.

"Wan, kamu simpan saja boneka itu di kamar Mama. Nanti Mama serahkan kepada yang berhak."

Mas Gunawan mengikuti perintah ibunya dengan patuh. Setelah boneka itu dimasukkan ke kamar Mas Gunawan kembali duduk di sofa bersamaku dan Mama.

"Kotak makanan Mama sudah kamu balikin, Mas?"

Mas Gunawan, kembali terlihat canggung. Matanya menatap kearah mama.

"Oh, iya. Ada! Ada di mobil. Mas lupa membuat turun, nanti deh sekalian." Jelas sekali laki-laki itu gugup.

"Kotak? Kotak apa?"

Pertanyaan Mama membuatku langsung menatap Mas Gunawan dengan tajam.

"Itu Ma, kotak makanan buat bekal makan siang Gunawan. Yang setiap hari selalu Mama siapkan."

"Ooh...!"

Mama membulatkan bibirnya walau terlihat ragu. Fix, Mas Gunawan sedang mempecund*ngi aku.

"Yuk kita pulang, Sayang." Ajaknya.

"Nanti aja setelah isya. Biasa kan kamu pulang juga malam Mas."

"Iya, hari ini tumben semua pekerjaan cepat selesai, jadi Mas bisa pulang lebih awal."

"Oh, gitu, ya."

Maghrib pun tiba, rasa penasaranku makin menjadi. Saat Mas Gunawan sholat aku mendekati Mama yang tengah berada di kamarnya.

"Ma, boleh Alina masuk?"

"Oh, boleh. Tentu saja boleh, Sayang. Kamu sudah sholat?"

"Sudah, Ma." 

Aku duduk dipinggir ranjang Mama. Kedekatan kami sudah seperti Ibu dengan anaknya. Aku sering bercerita apa saja dengan Mama. Mama juga selalu menjadi pendengar dan memberikan nasehat yang bijak untukku. 

"Ma, apa benar Mama selama ini memasakkan makanan untuk bekal makan siang Mas Gunawan?" Tanpa basa-basi aku langsung pada tujuan. Walau ini terkesan frontal, aku sungguh tak bisa menahan rasa ingin tahu ini.

"Bekal?" Tanyanya.

"Iya, menurut Mas Gunawan, setiap pagi dia akan datang ke sini lalu pulangnya mengantarkan lagi kotak kosong itu."

Mama menatapku, lalu duduk tepat disampingku. Mama menghela napas panjang, seolah ingin mengatakan sesuatu yang penting padaku.

"Sayang! Kamu disini?" 

Tiba-tiba pintu terbuka lebar. Mas Gunawan sudah berdiri di sana sambil memegang peci yang baru saja dia lepaskan.

"Pulang, yuk?" Ajaknya.

"Buru-buru amat sih, Mas. Aku masih Ingin ngobrol dengan Mama."

"Udah malam, Sayang. Mama pasti juga mau istirahat."

Aku mendesah, Mama mengusap punggungku lembut, sambil mengulas sebuah senyum, Mama berkata "nurut dulu aja, nanti kita bisa ngobrol-ngobrol lagi."

Akhirnya aku bangkit menuruti titah suami. Ketika hendak keluar kamar, Mama menahan tanganku.

"Alina, apapun yang terjadi Mama Sayang sama kamu, Nak."

Aku mengernyitkan dahi, tak biasanya mama berkata seperti itu.

"Alina juga sayang sama, Mama. Mama jaga kesehatan, ya. Ga usah repot-repot bawain bekal buat Mas Gun. Biar Alina saja. Mama pasti capek pagi-pagi sudah sibuk di dapur." ujarku. Walau sejatinya aku tak yakin jika Mama yang masak untuk Mas Gunawan.

Mama hanya mengangguk. Sejak Papa meninggal setahun yang lalu, Mama tinggal sendiri disini. Mama tak pernah mau kuajak tinggal bersama. Kata Mama, walau sendiri Mama merasa nyaman dirumah ini, karena di setiap sudut ruangan ada bayang-bayang suaminya. MasyaAllah, Mama. Cintanya sudah teruji. Sungguh membuatku iri.

Malam itu aku pulang bersama Mas Gunawan, meski teka-teki itu belum terpecahkan. Namun, aku tak akan tinggal diam. Semua harus jelas, jika memang Mas Gunawan mendua diluar sana, maka dia harus memilih. Lagi pula seharusnya dia bersyukur aku masih setia dengan kekurangan dirinya itu.

"Mas, besok mau dibawain bekal apa?" tanyaku ketika kami baru saja selesai makan malam bersama. Saat ini aku sedang menyeduh teh hangat untuk Mas Gunawan, sesampainya dirumah tadi kami langsung makan karena hari juga sudah mulai larut.

"Besok nggak usah bawa bekal dulu, Sayang. Mas ada meeting diluar, jadi makan bareng klien."

"Bener?"

"Iya bener!"

"Baiklah kalau begitu."

Aku menyimpan teh yang sudah kubikin di atas meja. Sementara Mas Gunawan masih sibuk dengan laptopnya, padahal ini sangat terlihat dia mengantuk.

"Istirahat dulu, Mas. Sudah malam." Ajakku.

"Tanggung, Sayang. Dikit lagi laporan ini selesai, kamu duluan aja. Sebentar lagi Mas menyusul."

"Baiklah, aku tidur dulu, ya."

Aku sengaja ke kamar, walau sebenarnya mata ini belumlah mengantuk. Aku membuka aplikasi hijau dan mengecek akun milik Mas Gunawan. Sedari siang tak ada tanda-tanda mencurigakan. Bahkan, Mas Gunawan tak pernah berkirim pesan. Juga tak ada pesan masuk hari ini. Sangat aneh.

Lama-lama aku bosan juga. Iseng kubuka story w*-nya. Hanya story dari teman-teman Mas Gunaw*n, rata-rata mereka bapak-bapak yang suka membahas masalah politik yang aku sendiri tak suka.

Namun satu postingan yang menarik perhatianku. Ini sama sekali tak seperti postingan laki-laki, dia mengirim gambar bunga, lalu gambar dirinya dengan seorang anak perempuan yang berdiri membelakangi kamera sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Perempuan itu menggunakan kerudung yang tak terlalu panjang.

Aku melihat nama kontaknya, disitu tertulis "RS". RS? Rumah sakit? Apa ini kontak dokter di rumah sakit tempat Mas Gunawan waktu itu check up? Ah, ga mungkin. Kenapa aku tak tau.

Ingin menyapa, tapi itu terlalu gegabah. Mas Gunawan bisa tau jika aku menyadap W******p-nya. Jadi apa yang harus aku lakukan? Berpikir, Alina! Berpikir!

Jam sudah menunjukkan angka sepuluh. Belum ada tanda-tanda Mas Gunawan akan masuk ke kamar ini. Aku mengambil tangkapan layar postingan perempuan itu. Nanti, perlu juga aku minta pendapat grup rempong. Saat ini aku masih dalam kecurigaan tanpa tahu harus berbuat apa.

Lama-lama mata ini mulai mengantuk. Beberapa kali aku menguap. Semua story di kontak Mas Gunawan sudah aku buka. Tak ada yang aneh, kecuali punya orang dengan nama RS itu.

Aku baru akan menutup layar ponsel ketika sebuah pesan masuk ke nomor Mas Gunawan.

[Katanya ganti nomor? Tapi, kenapa masih aktif aja lu, Bro?]

Aku spontan menutup mulut. Mas Gunawan ganti nomor? Sejak kapan? Aku bahkan masih bisa mengirim pesan padanya, tentu saja ke nomor yang sekarang aku sadap.

Aku harus jawab apa?

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status