[Ya ampun, Lin. Kamu sabar, ya. Jangan gegabah. Dan jangan cepat menarik kesimpulan sebelum tau hal sebenarnya.] Ketik Anggi di grup rempong, ketika aku mengirim pesan salah satu teman Mas Gunaw*n. Juga tangkapan layar story w* kontak bernama RS ke sana.
[Iya, Lin. Kamu selidiki dulu benar-benar. Kalau suamimu terbukti selingkuh, baru kamu pites perkututnya.] sahut Dea, geram.
[Kalau menurutku sih, suaminya Alina ga ada tampang fuckboy lho.] Kini Dea Nabila angkat bicara
[Tampang ga menjamin, gue udah berapa kali bilang. Banyak serigala berbulu domba. Jangan ketipu. Lihat gue nih, kalian tau si Ramzi kan? penampilan aduhai, rohani banget, kelakuannya kayak roh halus.] Lea menyisipkan emoticon tertawa mengeluarkan air mata sebanyak lima biji.
Ramzi adalah mantan suami Lea. Tiga tahun usia pernikahan mereka sampai Lea mengetahui Ramzi sudah menikah lagi. Perempuan itu seakan trauma, meski sudah menikah lagi tapi dia menganggap pernikahan itu sebatas status. Lea hanya malu menyandang status sebagai janda.
[Jadi, gimana?] Tulalitku kumat.
[Besok jam makan siang lu ke kantor dia. Lihat, apakah laki Lu emang makan siang dengan klien. Atau hanya alasan agar bisa memakan masakan wanita lain.] Jawab Lea cepat.
[Aku setuju!] Jawab Anggi, Dea juga Nabila, kompak.
Baiklah aku akan ke kantor Mas Gunawan besok, tentu saja tanpa mengatakan padanya terlebih dahulu.
Sudah jam sembilan. Aku sudah rapi mengerjakan tugas rumah. Saatnya mandi dan merapikan diri sendiri. Ketika hendak mengambil handuk, ponselku berbunyi.
Mama? Tumben Mama menelpon.
"Assalamu'alaikum, Ma."
"W*'alaykumussalam, Lin. Kamu lagi apa, sibuk ga?"
"Alina mau mandi, Ma. Ga sibuk kok. Tadi sudah selesai beberes rumah. Ada apa, Ma?"
"Ga ada apa-apa. Minggu ini kamu kerumah kan?"
"InsyaAllah, Ma. Seperti biasa, kalau Mas Gunawan mau mengantarkan Alina kesana, pasti Alina nginap di rumah Mama." Jawabku apa adanya.
"Syukurlah, Mama ingin bicara banyak dengan kamu, Sayang."
"Bicara apa, Ma? Sekarang aja."
Akulah orang yang punya rasa penasaran tinggi. Kalau tidak mendapatkan jawaban sekarang, penasaran itu akan terus menghantui.
"Nanti saja, ga enak bicara lewat telepon."
"Ah, Mama. Suka banget deh, bikin Alina penasaran." ujarku pura-pura merajuk.
Mama terkekeh. Tak lama sambungan pun diakhiri. Walau masih penasaran dengan apa yang akan Mama katakan. Terlebih Mama belum sempat menjawab pertanyaanku tempo hari karena keburu Mas Gunawan datang.
****
Taksi yang kupesan sudah datang. Sengaja aku tak membawa mobil agar mudah mengikuti Mas Gunawan tanpa diketahui olehnya.
Setelah menyebutkan alamat kantor Mas Gunawan mobil pun segera melaju kesana. Jantungku terasa berdegup lebih kencang. Berharap kecurigaanku hanyalah sebuah kesalahan.
Aku kembali mengecek pesan yang masuk ke nomor Mas Gunaw*n. Sepi, tak ada pesan. Membuka kembali story w*-nya. Kali ini tak ada postingan dari RS. Hanya kiriman-kiriman dari teman-teman Mas Gunaw*n yang masih tersimpan disana.
Penasaran aku mencari kontak dengan nama RS. Gambar profilnya sudah berganti putih. Hah? Aku di blokir? Ah, tak mungkin. Ada masalah apa dia dengan Mas Gunawan. Aku masuk ke nomorku, menyimpan nomor dengan nama RS terlebih dahulu.
Tuh! Ada. Gambar dua hati berwarna merah masih menjadi gambar profilnya. Berarti benar aku diblokir.
Tak terasa aku sudah sampai di halaman gedung berlantai delapan ini. Aku melirik jam yang melekat di tangan. Baru jam sebelas kurang, masih lumayan lama aku menunggu waktu istirahat suamiku itu.
Namun, aku harus segera keluar dari taksi ini. Setelah membayar jasanya, mobil biru itu pun berlalu. Aku bergegas ke lobby. Duduk sebentar di kursi yang ada disana, menetralkan debaran yang makin menyiksa.
Bismillah, aku melangkah masuk ke lift. Ketika seorang perempuan berkerudung lewat dengan mengandeng tangan seorang anak perempuan. Sepertinya aku kenal tapi dimana. Saat pintu lift merapat, astaga, aku baru ingat anak kecil itu, anak yang tempo hari menabrakku di kafe. Sayang aku tak sempat menyapanya. Mungkin ayah gadis itu juga bekerja di kantor ini. Bisa jadi temannya Mas Gunawan.
Aku sampai dilantai tiga dimana ruangan Mas Gunawan berada. Beberapa karyawan yang sudah mengenalku menegur sopan. Sengaja aku melambatkan langkah, mengulur waktu menunggu jam makan siang. Jika benar dia makan dengan klien diluar, pasti Mas Gunawan pasti dia akan keluar terlebih dahulu.
Namun, sampai jam para karyawan keluar dari ruangannya. Mas Gunawan tidak juga membuka pintu. Seharusnya dia juga keluar bersama dengan rekan-rekannya, kan?
Aku mengetuk pintu, tapi tanpa menunggu jawaban langsung memutar kenopnya.
Sosok lelaki yang sudah dua tahun ini menikah denganku tampak sedang lahap makan di meja kerjanya. Mata kami bertemu, Mas Gunawan gelagapan.
"Assalamu'alaikum, Mas." Sapaku datar.
"W*-w*'alaikumussalam ... Sayang? Kok kesini?"
"Kenapa ga boleh?"
Aku menjatuhkan bobot tubuh di kursi depan Mas Gunawan.
"Bo-boleh, kenapa enggak." Jawabnya. Laki-laki itu berusaha menyingkirkan kotak makanan yang sudah dia makan separuh ke samping.
"Kenapa berhenti?"
"Enggak! Mas udah kenyang."
"Kenyang? Aku kira kamu baru makan sesuap!"ketusku.
"Mas, cuma makan buat ganjal perut, karena sebentar lagi mau rapat keluar."
"Please, Mas!" Aku mulai tak tahan.
"Apa?" Tanyanya tanpa merasa berdosa.
"Kamu melarang aku untuk menyiapkan bekal. Itu apa?" Aku menunjuk makanan di atas mejanya.
"Kamu punya selingkuhan kan? Siapa perempuan itu, Mas? Katakan!"
Mas Gunawan bangun lalu mendekatiku.
"Selingkuhan apa? Ini bekal dari Mama."
"Bohong! Mama ga pernah membuatkan bekal untuk kamu." Pekikku, sengaja berbohong ingin melihat reaksinya.
"Siapa bilang? Kamu coba tanya Mama." tantangnya.
Aku terdiam, merasa jika Mas Gunawan sudah menyadari jika aku sedang memata-matainya.
"Sayang, kenapa kamu curigaan sih, sekarang?" Lirihnya, sambil berusaha memelukku. Namun, aku menepis tangan laki-laki itu.
"Ada asap karena ada api, Mas. Mas harus tau, aku paling pantang dicurangi. Jika Mas memang mau menikah lagi, Mas bisa bilang padaku, jangan main belakang." Ujarku berapi-api.
"Berarti kalau Mas minta ijin, kamu ijinkan?"
"Tentu saja tidak!" jawabku cepat. Lelaki itu justru terkekeh.
"Lalu gimana?" tanyanya konyol.
"Ya ga gimana-gimana! Pokoknya aku tak mau dimadu!" kataku tegas.
"Jika kamu mendua, aku yakinkan kebersamaan kita akan berakhir. Silahkan kamu bersamanya. Aku mundur!" Lanjutku.
Mas Gunawan terdiam. Jelas sekali laki-laki itu sedang berpikir keras. Aku tak peduli, aku sudah melabuhkan rasa ini padanya. Tak ada laki-laki lain setelah Ayah yang aku cinta selain dia. Setelah Ayah meninggal hanya Mas Gunawan satu-satunya yang ada di hatiku. Hingga aku lupa ada bahwa mencintai seseorang berlebihan itu tak baik untuk keimanan.
"Aku mau pulang! Ingat Mas! tak ada pengampunan untuk sebuah pengkhianatan." ancamku lagi.
Aku pun siap-siap pergi setelah mengucapkan salam. Tanpa menunggu jawaban darinya aku keluar dari ruangan Mas Gunawan. Setidaknya dia tahu aku tak bisa begitu saja dia permainkan. Entah apa yang dia sembunyikan, yang jelas permainannya cukup halus.
"Bu Alina? Tumben kesini? Biasanya bekal Pak Gunawan kan selalu diantar pembantunya?" Seru Rina yang kebetulan berpapasan denganku.
"Pembantu??"
Pembantu? Sejak kapan Alina punya pembantu? Astaghfirullah Mas Gunawan! Apa yang kamu sembunyikan dariku.
"Bu Alina? Tumben kesini? Biasanya bekal Pak Gunawan kan selalu diantar pembantunya?" Seru Rina yang kebetulan berpapasan denganku."Pembantu??"Aku mengernyitkan dahi. Lalu menanyakan ciri-ciri pembantu yang dimaksud Rina. Berbekal cerita dari bawahan Mas Gunawan itu, aku akan mencari keberadaan perempuan yang telah merusak rumah tanggaku. Aku yakin dia hanya perempuan tak benar yang ingin memetik hasil tanpa perlu menemani perjuangan dari awal.Malamnya, walau hati penuh emosi aku melancarkan aksi. Aku menyuguhkan teh hangat pada Mas Gunawan yang baru saja pulang. Teh yan sudah kububuhi obat tidur. Seperti biasa laki-laki itu baru sampai dirumah jam sepuluh malam. Lembur ditambah jalanan yang macet katanya. Huh! dia tak tau aku sudah tau semua dari Rina. Mas Gunawan tak pernah Over time, lelakiku itu selalu pulang tepat waktu, jam lima dia sudah keluar dari kantor. Namun, selama ini dia beralasan telat karena pekerjaan."Lembur lagi, ya Mas?" Aku duduk disampingnya."Iya, Sayang. Ke
Plak!Mas Gunawan memegang pipinya yang aku tampar."Seharusnya kamu itu tahu diri, Mas! Aku bertahan dengan kamu yang punya kekurangan! Kamu itu man ...!""Alina!" Pekik Mas Gunawan membuat ucapanku mengantung di udara."Apa, Mas! Kamu malu? Kamu mau menampar aku balik? Silahkan!" tantangku. Akal sehatku seakan hilang melihat kenyataan didepan mata. Mas Gunawan menatap mataku nyalang, laki-laki itu berjalan kian mendekat tanpa memutuskan pandangan ke mataku, hingga jarak kami tinggal beberapa senti saja. "Puas kamu mempermalukan diri sendiri!" lirihnya dengan menekan setiap kata. Kemudian berjalan ke belakangku. Laki-laki itu meraih tangan perempuan berkerudung yang duduk menunduk. Lalu berjalan melewatiku dengan tangan yang saling menyatu. Aku terpaku, apa yang kulihat seakan sebuah mimpi buruk yang mampir dalam tidur tanpa do'aku semalam. Bayangan Mas Gunawan akan menarik tanganku lalu memohon ampunan sambil bersujud di kaki, Tapi semua hanya mimpi belaka. Aku terduduk lemas."Ba
Mama mengangguk pelan. Aku kembali tergugu, selama ini aku dibodohi oleh Mama dan Mas Gunawan. "Mama tega pada Alina! Mama ga sayang sama Alina! Mama pembohong! Mama membiarkan Mas Gunawan punya selingkuhan, Mama jahat!" "Alina! Tunggu dulu, Nak! Mama belum selesai." Mama berusaha mengejarku yang sudah berlari keluar. Tangisku tak terbendung lagi, lelah, kepala terasa berdenyut hebat. "Lu hancur banget! Kita kerumah gw dulu, ya.". Aku bergeming tak menjawab perkataan Lea. Memicingkan mata sambil menyenderkan kepala, sementara air mata masih terus setia mengalir. Menjelang magrib kami sampai dirumah Lea. Aku sempat tertidur saking lelahnya. Rumah besar Lea tampak sangat menawan. Lea turun terlebih dahulu. Aku mengikuti dari belakang. Perempuan yang memakai celana jeans yang sengaja di robek bagian depan itu berjalan santai. "Hayo! Nanti gw ajak lu jalan-jalan biar ga bete. Mumpung ada si Ubay dirumah." Katanya sambil terus berjalan. Entah siapa Ubay itu aku pun tak tahu. "Bay, t
"Hayuk naik!" titah seseorang yang berada dalam mobil putih itu.Aku menghentikan langkah, lalu menoleh ke asal suara. Mas Ubay yang ada di kursi kemudi menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, dibelakangnya ada Lea yang tampak cemberut dengan pakaian yang sudah berbeda dengan yang tadi dia kenakan."Kalian sudah selesai perang saudaranya?" sindirku. Masalahku saja sudah membuat pening ditambah pula dengan mereka yang adu mulut dihadapanku."Sudah! tenang saja, uraaa!"seru Ubay sambil memamerkan gigi-giginya yang putih."Ayo, buruan naik. Pakaian kamu itu juga mengundang kejahatan apalagi malam-malam begini. Lain kali jangan salah masuk toko. Beli baju sesuai usia! Ingat umur." Lelaki berwajah lumayan tampan itu terus mengoceh tanpa memperhatikan aku yang sudah mulai bertanduk."Buruan! Jangan ikut-ikutan Lea, dia sudah error dari lahir!" Lanjutnya lagi."Adaaau!" Ubay terpekik."Sembarangan, lu!" protes Lea sambil menowel kepala Ubay memakai sandal jepit yang dia pakai.Hadeuh,
"Lea, aku numpang nginap dirumah kamu malam ini, ya. Besok aku akan pulang ke kampung." pintaku setelah masuk ke mobil."Kenapa harus ke kampung sih, kamu mau jadi petani?" sahutnya."Entahlah yang jelas aku mau menenangkan diri dulu.""Orang kalau ada masalah itu di selesaikan, jangan malah lari. Lihat! sedari tadi ponsel kamu bergetar, pasti dia sedang sibuk mencari kamu." Sela Mas Ubay yang mungkin ada benarnya."Kalau kemarin saja dia sudah memilih perempuan itu, buat apa lagi berharap untuk kembali bersama." jawabku dengan hati yang dipenuhi luka, teringat gimana Mas Gunawan mengandeng tangan perempuan itu di depan mataku."Hidup itu memang rumit, ya." seloroh Mas Ubay."Iya, makanya lu ga usah hidup, Bang!" celetuk Lea sambil terkekeh membuat Abangnya menghela napas dalam-dalam, sabar ... Sabar...Bersyukur juga suami Lea sedang keluar kota. Jadi, aku bisa numpang tidur untuk satu malam disini . Pernikahan Lea yang katanya hanya sebatas status. Membuat dia bebas, seakan tai memi
"Plis, sayang, Mas hanya punya Mama saat ini. Mas tak mau kehilangan dia. Bantu Mas, Mama ingin kamu datang."Aku melipat tangan di dada."Maaf, Mas. Aku tak bisa. Minta saja selingkuhan kamu itu merawat Mama, bukankah dia juga rajin mengurus suami orang, kenapa ga sekalian Mama kamu dia urusin." Jawabku ketus. "Sayang, tolonglah, nanti Mas akan jelaskan. Kamu hanya salah paham.""Salah paham apa? Kamu kira aku ini bod*h ya, Mas?kamu kira aku ini buta, ga bisa melihat dengan jelas siapa yang lebih kamu bela. Sudahlah, siapkan dirimu untuk persidangan kita.""Alina, jangan keras hati seperti ini, Sayang. Kamu tak boleh egois.""Apa egois? Kamu ga salah, Mas? Aku egois?" Aku tertawa lebar, menertawakan laki-laki yang bahkan tak pandai menempatkan rasa."Seharusnya kamu membeli kaca yang besar, lalu kamu berdiri didepannya. Kamu ngaca! Siapa yang egois, dan siapa yang munafik! Pengkhianat, penipu!""Cukup Alina!" Bentakannya menghentikan ocehanku. Dada Mas Gunawan naik turun menahan emo
Grup rempong heboh dengan cerita dari Lea, walau Lea hanya seakan melempar berita dan akulah yang menjawab semua pertanyaan dari teman-teman yang penasaran dengan apa yang terjadi.[Udahlah, Lin. Buat apa lagi bertahan. Udah mand*l, tukang selingkuh lagi. mending bawa sini, biar aku kiloin di Mang Didin.] Ketik Dea.[Ish, kamu jangan sadis gitu. Kalau dikiloin paling cuma buat makanan kucing, sini aku bawa ke penangkaran buaya, biar buaya ngerasain makan daging sesamanya.] balas Anggi.Aku terkekeh."Kamu sih, Lea, segala dilempar ke grup." sungutku."Ya, nggak apa-apa, biar tuh grup rame, nggak anyep kayak hidup gw." sahutnya."Yang bikin anyep kan kamu sendiri. Punya suami, bukannya diintilin kemana pergi, malah dibiarkan sendirian di luar kota.""Ah, yang namanya nasib walau kita ikutin ke mana pergi, kalau emang sudah dasar buaya tetap aja kita kena apesnya."seloroh Lea."Iya, sih kayak aku." "Eh, sorry, gw ga nyindir elu lho.""Gapapa, tak perlu merasa bersalah gitu. Kenyataan m
"Maaf Tante, Alina ga bisa. Sekali lagi Alina minta maaf."Wajah Tante Irma tampak kecewa. Tapi, aku tak bisa datang sekarang. Aku yakin di sana ada Mas Gunawan dan perempuan itu. Rasanya hati ini belum sanggup melihat mereka. Walau lisanku berkata sudah bisa move on dari Mas Gunawan, tapi jujur saja hati ini nelangsa."Baiklah, kalau itu menjadi keputusanmu, Nak. Tante tidak akan memaksa. Tetapi, jika nanti kamu berubah pikiran dan ingin bertemu Mama mertuamu, kabari Tante. Biar Tante yang atur agar kamu tak bertemu dengan Gunawan. Tante paham, kamu pasti sangat sakit hati."Tante Irma menggenggam tanganku, erat."Percayalah, Alina semua tidak seperti yang kamu pikirkan.""Maksud Tante apa? Mas Gunawan jelas-jelas selingkuh di belakangku. Bahkan sekarang dia terang-terangan membawa wanita itu ke hadapan Mama. Apa itu masih kurang untuk membuktikan lelaki itu bukan lelaki yang baik.""Alina, cobalah bicara baik-baik dulu dengan suamimu. Kalian ini sudah dewasa, selesaikan masalah deng