Share

Bab 4

[Ya ampun, Lin. Kamu sabar, ya. Jangan gegabah. Dan jangan cepat menarik kesimpulan sebelum tau hal sebenarnya.] Ketik Anggi di grup rempong, ketika aku mengirim pesan salah satu teman Mas Gunaw*n. Juga tangkapan layar story w* kontak bernama RS ke sana.

[Iya, Lin. Kamu selidiki dulu benar-benar. Kalau suamimu terbukti selingkuh, baru kamu pites perkututnya.] sahut Dea, geram.

[Kalau menurutku sih, suaminya Alina ga ada tampang fuckboy lho.] Kini Dea Nabila angkat bicara 

[Tampang ga menjamin, gue udah berapa kali bilang. Banyak serigala berbulu domba. Jangan ketipu. Lihat gue nih, kalian tau si Ramzi kan? penampilan aduhai, rohani banget, kelakuannya kayak roh halus.] Lea menyisipkan emoticon tertawa mengeluarkan air mata sebanyak lima biji.

Ramzi adalah mantan suami Lea. Tiga tahun usia pernikahan mereka sampai Lea mengetahui Ramzi sudah menikah lagi. Perempuan itu seakan trauma, meski sudah menikah lagi tapi dia menganggap pernikahan itu sebatas status. Lea hanya malu menyandang status sebagai janda.

[Jadi, gimana?] Tulalitku kumat.

[Besok jam makan siang lu ke kantor dia. Lihat, apakah laki Lu emang makan siang dengan klien. Atau hanya alasan agar bisa memakan masakan wanita lain.] Jawab Lea cepat.

[Aku setuju!] Jawab Anggi, Dea juga Nabila, kompak.

Baiklah aku akan ke kantor Mas Gunawan besok, tentu saja tanpa mengatakan padanya terlebih dahulu.

Sudah jam sembilan. Aku sudah rapi mengerjakan tugas rumah. Saatnya mandi dan merapikan diri sendiri. Ketika hendak mengambil handuk, ponselku berbunyi.

Mama? Tumben Mama menelpon.

"Assalamu'alaikum, Ma."

"W*'alaykumussalam, Lin. Kamu lagi apa, sibuk ga?"

"Alina mau mandi, Ma. Ga sibuk kok. Tadi sudah selesai beberes rumah. Ada apa, Ma?"

"Ga ada apa-apa. Minggu ini kamu kerumah kan?"

"InsyaAllah, Ma. Seperti biasa, kalau Mas Gunawan mau mengantarkan Alina kesana, pasti Alina nginap di rumah Mama." Jawabku apa adanya.

"Syukurlah, Mama ingin bicara banyak dengan kamu, Sayang."

"Bicara apa, Ma? Sekarang aja." 

Akulah orang yang punya rasa penasaran tinggi. Kalau tidak mendapatkan jawaban sekarang, penasaran itu akan terus menghantui.

"Nanti saja, ga enak bicara lewat telepon."

"Ah, Mama. Suka banget deh, bikin Alina penasaran." ujarku pura-pura merajuk.

Mama terkekeh. Tak lama sambungan pun diakhiri. Walau masih penasaran dengan apa yang akan Mama katakan. Terlebih Mama belum sempat menjawab pertanyaanku tempo hari karena keburu Mas Gunawan datang.

****

Taksi yang kupesan sudah datang. Sengaja aku tak membawa mobil agar mudah mengikuti Mas Gunawan tanpa diketahui olehnya.

Setelah menyebutkan alamat kantor Mas Gunawan mobil pun segera melaju kesana. Jantungku terasa berdegup lebih kencang. Berharap kecurigaanku hanyalah sebuah kesalahan. 

Aku kembali mengecek pesan yang masuk ke nomor Mas Gunaw*n. Sepi, tak ada pesan. Membuka kembali story w*-nya. Kali ini tak ada postingan dari RS. Hanya kiriman-kiriman dari teman-teman Mas Gunaw*n yang masih tersimpan disana.

Penasaran aku mencari kontak dengan nama RS. Gambar profilnya sudah berganti putih. Hah? Aku di blokir? Ah, tak mungkin. Ada masalah apa dia dengan Mas Gunawan. Aku masuk ke nomorku, menyimpan nomor dengan nama RS terlebih dahulu.

Tuh! Ada. Gambar dua hati berwarna merah masih menjadi gambar profilnya. Berarti benar aku diblokir.

Tak terasa aku sudah sampai di halaman gedung berlantai delapan ini. Aku melirik jam yang melekat di tangan. Baru jam sebelas kurang, masih lumayan lama aku menunggu waktu istirahat suamiku itu. 

Namun, aku harus segera keluar dari taksi ini. Setelah membayar jasanya, mobil biru itu pun berlalu. Aku bergegas ke lobby. Duduk sebentar di kursi yang ada disana, menetralkan debaran yang makin menyiksa.

Bismillah, aku melangkah masuk ke lift. Ketika seorang perempuan berkerudung lewat dengan mengandeng tangan seorang anak perempuan. Sepertinya aku kenal tapi dimana. Saat pintu lift merapat, astaga, aku baru ingat anak kecil itu, anak yang tempo hari menabrakku di kafe. Sayang aku tak sempat menyapanya. Mungkin ayah gadis itu juga bekerja di kantor ini. Bisa jadi temannya Mas Gunawan.

Aku sampai dilantai tiga dimana ruangan Mas Gunawan berada. Beberapa karyawan yang sudah mengenalku menegur sopan. Sengaja aku melambatkan langkah, mengulur waktu menunggu jam makan siang. Jika benar dia makan dengan klien diluar, pasti Mas Gunawan pasti dia akan keluar terlebih dahulu. 

Namun, sampai jam para karyawan keluar dari ruangannya. Mas Gunawan tidak juga membuka pintu. Seharusnya dia juga keluar bersama dengan rekan-rekannya, kan? 

Aku mengetuk pintu, tapi tanpa menunggu jawaban langsung memutar kenopnya.

Sosok lelaki yang sudah dua tahun ini menikah denganku tampak sedang lahap makan di meja kerjanya. Mata kami bertemu, Mas Gunawan gelagapan. 

"Assalamu'alaikum, Mas." Sapaku datar.

"W*-w*'alaikumussalam ... Sayang? Kok kesini?"

"Kenapa ga boleh?" 

Aku menjatuhkan bobot tubuh di kursi depan Mas Gunawan.

"Bo-boleh, kenapa enggak." Jawabnya. Laki-laki itu berusaha menyingkirkan kotak makanan yang sudah dia makan separuh ke samping.

"Kenapa berhenti?"

"Enggak! Mas udah kenyang."

"Kenyang? Aku kira kamu baru makan sesuap!"ketusku.

"Mas, cuma makan buat ganjal perut, karena sebentar lagi mau rapat keluar."

"Please, Mas!" Aku mulai tak tahan. 

"Apa?" Tanyanya tanpa merasa berdosa.

"Kamu melarang aku untuk menyiapkan bekal. Itu apa?" Aku menunjuk makanan di atas mejanya.

"Kamu punya selingkuhan kan? Siapa perempuan itu, Mas? Katakan!"

Mas Gunawan bangun lalu mendekatiku.

"Selingkuhan apa? Ini bekal dari Mama."

"Bohong! Mama ga pernah membuatkan bekal untuk kamu." Pekikku, sengaja berbohong ingin melihat reaksinya.

"Siapa bilang? Kamu coba tanya Mama." tantangnya.

Aku terdiam, merasa jika Mas Gunawan sudah menyadari jika aku sedang memata-matainya.

"Sayang, kenapa kamu curigaan sih, sekarang?" Lirihnya, sambil berusaha memelukku. Namun, aku menepis tangan laki-laki itu.

"Ada asap karena ada api, Mas. Mas harus tau, aku paling pantang dicurangi. Jika Mas memang mau menikah lagi, Mas bisa bilang padaku, jangan main belakang." Ujarku berapi-api.

"Berarti kalau Mas minta ijin, kamu ijinkan?"

"Tentu saja tidak!" jawabku cepat. Lelaki itu justru terkekeh.

"Lalu gimana?" tanyanya konyol.

"Ya ga gimana-gimana! Pokoknya aku tak mau dimadu!" kataku tegas.

"Jika kamu mendua, aku yakinkan kebersamaan kita akan berakhir. Silahkan kamu bersamanya. Aku mundur!" Lanjutku.

Mas Gunawan terdiam. Jelas sekali laki-laki itu sedang berpikir keras. Aku tak peduli, aku sudah melabuhkan rasa ini padanya. Tak ada laki-laki lain setelah Ayah yang aku cinta selain dia. Setelah Ayah meninggal hanya Mas Gunawan satu-satunya yang ada di hatiku. Hingga aku lupa ada bahwa mencintai seseorang berlebihan itu tak baik untuk keimanan.

"Aku mau pulang! Ingat Mas! tak ada pengampunan untuk sebuah pengkhianatan." ancamku lagi.

Aku pun siap-siap pergi setelah mengucapkan salam. Tanpa menunggu jawaban darinya aku keluar dari ruangan Mas Gunawan. Setidaknya dia tahu aku tak bisa begitu saja dia permainkan. Entah apa yang dia sembunyikan, yang jelas permainannya cukup halus. 

"Bu Alina? Tumben kesini? Biasanya bekal Pak Gunawan kan selalu diantar pembantunya?" Seru Rina yang kebetulan berpapasan denganku.

"Pembantu??"

Pembantu? Sejak kapan Alina punya pembantu? Astaghfirullah Mas Gunawan! Apa yang kamu sembunyikan dariku.

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status