Share

Bab 5

"Bu Alina? Tumben kesini? Biasanya bekal Pak Gunawan kan selalu diantar pembantunya?" Seru Rina yang kebetulan berpapasan denganku.

"Pembantu??"

Aku mengernyitkan dahi. Lalu menanyakan ciri-ciri pembantu yang dimaksud Rina. Berbekal cerita dari bawahan Mas Gunawan itu, aku akan mencari keberadaan perempuan yang telah merusak rumah tanggaku. Aku yakin dia hanya perempuan tak benar yang ingin memetik hasil tanpa perlu menemani perjuangan dari awal.

Malamnya, walau hati penuh emosi aku melancarkan aksi. Aku menyuguhkan teh hangat pada Mas Gunawan yang baru saja pulang. Teh yan sudah kububuhi obat tidur. Seperti biasa laki-laki itu baru sampai dirumah jam sepuluh malam. Lembur ditambah jalanan yang macet katanya. Huh! dia tak tau aku sudah tau semua dari Rina. Mas Gunawan tak pernah Over time, lelakiku itu selalu pulang tepat waktu, jam lima dia sudah keluar dari kantor. Namun, selama ini dia beralasan telat karena pekerjaan.

"Lembur lagi, ya Mas?" Aku duduk disampingnya.

"Iya, Sayang. Kerjaan banyak banget, laporan yang harus Mas kerjakan menumpuk. Ini mau ngelanjutin sebentar." sahutnya sambil mengeluarkan laptop dari tas kerja.

"Ganti baju dulu, Mas. Nanti kan enak tinggal tidur."

"Eh iya, sebentar ya." sahutnya membenarkan 

Mas Gunawan menyalakan laptop kemudian berlalu ke kamar berganti pakaian. Aku dengan sabar menunggu kedatangannya. Sambil mencuri pandang pada ransel hitam yang selalu dia bawa kerja.

Tak lama Mas Gunawan kembali, dia sudah berganti pakaian dengan baju kaos putih dan celana boxer selutut. Tanpa mengacuhkanku, lelaki itu langsung menghadap laptopnya.

"Minum dulu, Mas. Nanti keburu dingin."

Aku pun menyodorkan teh itu ke tangannya. Mas Gunawan menyambut lalu menyesap teh itu perlahan.

"Habiskan Mas." lirihku, melihat teh itu masih tersisa banyak. Tanpa membantah Mas Gunawan menyesap teh itu lagi hingga tak bersisa.

Kemudian dia melanjutkan pekerjaannya. Aku menunggu sambil memainkan kuku tanganku. 

"Lembur itu ngapain aja, Mas?"

"Ya, kerja lah!"

"Kok ga kelar-kelar kerjaannya, banyak banget, ya?"

"Ya, gitu." Jawabnya singkat. Aku mengambil ponsel, memainkan benda pipih itu sembari terus mengajak Mas Gunawan ngobrol.

"Hmm ... Capek yaa, jadi laki-laki. Udah kerja, trus harus jagain istri. Kalau istri satu, misal istrinya dua, kerepotan lagi untuk berbohong menyembunyikan keberadaannya. Apalagi kalau hanya selingkuhan, capeknya dobel." Tak ada jawaban, aku melirik ke arah Mas Gunawan.

Eh! Lahdalah, lelaki itu sudah tertidur menyenderkan punggungnya ke sofa. Aku menyentuh lengan, tapi Mas Gunawan tetap bergeming.

Time to work!

Aku memeriksa tas kerja Mas Gunawan dengan teliti. Biasanya lelaki itu hanya membawa tas tangan untuk membawa laptop saja. Akhir-akhir ini dia selalu membawa tas ransel yang agak besar.

Ketemu! Benar ponsel Mas Gunawan ada dua. Yang satu dia gunakan untuk menghubungiku, satunya pasti dia pakai menelepon perempuan itu. Aku bergegas menyalakan benda itu. Namun, ponselnya di pasword.

Astaghfirullah! Terus berusaha membuka dengan berbagai kolaborasi angka, mulai angka tanggal pernikahan kami, angka kelahirannya, mencoba angka tanggal kelahiranku, tetap saja nihil.

Aku terus mencari sesuatu di tas itu yang barangkali bisa menjawab rasa penasaranku. Sebuah kartu berobat terselip diantara kantong di dalam. Kartu atas nama Raisya Maharani. Jangan-jangan RS yang dimaksud itu Raisya Maharani. Bukan rumah sakit. ya Allah, Mas, tega sekali kamu. Beberapa pakai dalam miliknya juga ada disana, buat apa? Ya Allah, Mas. Hati ini makin sakit melihat apa yang kutemukan. Tak terbayang apa yang dia lakukan sebelum pulang kerumah ini.

Aku mengembalikan semua barang-barang yang aku keluarkan ke dalam tas. Menatap dengan perasaan marah, meninggalkan Mas Gunawan tertidur di sana tanpa berniat membangunkannya, lagi pula akan sangat susah membangunkan orang yang meminum obat tidur itu.

[Guys, aku menemukan ini.]

Teman-teman digrup rempong menjawab datar, menganggap kartu itu hanya kartu biasa saja. Namun, setelah aku menjelaskan semuanya, mereka sontak prihatin. 

[Lin, gerak dong! Masa lu diam aja suami diembat pelakor!] Lea yang sedari awal berapi-api mulai mengompori.

[Besok temani aku, ya!]

[Siap! kapanpun elu butuh bantuan, gw siap membantu!]

Grup senyap, entah mereka sedang memikirkan apa. Yang jelas aku merasa begitu bodoh, selama ini terlalu mempercayai Mas Gunawan.

***

Pagi hari, Mas Gunawan bangun dengan keadaan kaget. Namun, dengan memakai jurus ngeles, akhirnya dia percaya jika semalam murni ketiduran di sofa karena kecapean.

Hari ini Mas Gunawan berangkat tanpa kubuatkan bekal, dia sama sekali tak bertanya ataupun protes. Lelaki itu terlalu sempurna jika dia tak mendua. Walau belum terbukti secara jelas dia selingkuh, tapi dari apa yang akhir-akhir ini kutemui, semua mengarah pada hal itu.

Jam sepuluh aku sudah standby menunggu Lea. Aku akan memulai dan mengakhiri hari ini juga. Tak lama sebuah mobil sudah parkir di halaman, aku bergegas keluar lalu mengunci pintu. 

"Yuk, jalan." Ajakku.

Lea yang memakai kacamata hitam itu langsung melajukan kembali mobilnya. Perempuan yang sudah pernah patah hati itu tak berkata apa-apa. Wajahnya yang tanpa ekspresi menatap lurus ke depan. Diantara sahabatku, Lea yang paling tomboi tapi dia juga yang paling gerak cepat kalau diminta bantuan.

Kami sampai didepan kantor Mas Gunawan tepat sebelum jam makan siang. 

"Kita tunggu dulu, jika suami lu ga keluar berarti ada yang mengantarkan makanan ke dalam. Kalau dia keluar kita ikuti."

Baru saja Lea usai berucap, Mas Gunawan tampak keluar dengan wajah berseri-seri. Lelaki itu masuk ke mobil dan melaju cepat keluar halaman kantor. Tanpa diminta Lea sudah melaju mengikuti Mas Gunawan.

Mobil lelaki itu tepat berada didepan. Dia tak akan tau jika ada aku di belakangnya, karena aku memakai mobil Lea dan sengaja memakai masker menutupi wajahku.

Pada sebuah restoran, mobil itu berbelok. Kami pun ikut berbelok ke tempat yang sama. Memilih parkir tepat disebelah mobilnya. Mas Gunawan turun, tanpa sedikitpun curiga aku melihat semua gerak geriknya. 

"Lea, aku yang turun, kamu tolong abadikan saja semuanya." Aku menyerahkan ponselku pada Lea. Lea setuju.

Dari sini aku dapat melihat Mas Gunawan menghampiri sebuah meja dimana seorang wanita muda sedang menunggu. Aku keluar berjalan sambil menahan degub jantung yang sudah di atas normal.

"Alina, tahan! Jangan emosi!" lirih Lea melihatku yang mulai tak bisa mengontrol emosi. Bagaimana tidak, hatiku hancur saat perempuan yang menggunakan kerudung itu mencium takzim tangan suamiku, seolah mereka adalah pasangan suami istri.

Aku terus berjalan mendekat, tak peduli dengan teriakan Lea yang mengikuti dari belakang sambil mengarahkan kamera. Tak perlu lagi pura-pura tak tahu, lalu menangis untuk pengkhianat yang begitu rapi menyembunyikan kecurangannya.

"Oh, jadi ini wanita yang rajin menyiapkan bekal untuk makan siang kamu, Mas?"

Byur!

Segelas jus mangga yang berada di atas meja kini sudah beralih ke kepala perempuan itu. 

"Alina!" Pekik Mas Gunawan kaget bercampur berang.

"Ini pelac*r yang ingin merebut suamiku? Wanita yang menutup aibnya dengan pakaian ini?" Bentakku. Lalu meraih satu mangkuk sop yang masih panas hendak kusiram ke tubuh perempuan itu, Mas Gunawan lekas mencekal tanganku hingga sop itu tumpah ruah ke bajunya.

Plak!

Siap yang ditampar ini wey?hehe

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status