"Lea, aku numpang nginap dirumah kamu malam ini, ya. Besok aku akan pulang ke kampung." pintaku setelah masuk ke mobil."Kenapa harus ke kampung sih, kamu mau jadi petani?" sahutnya."Entahlah yang jelas aku mau menenangkan diri dulu.""Orang kalau ada masalah itu di selesaikan, jangan malah lari. Lihat! sedari tadi ponsel kamu bergetar, pasti dia sedang sibuk mencari kamu." Sela Mas Ubay yang mungkin ada benarnya."Kalau kemarin saja dia sudah memilih perempuan itu, buat apa lagi berharap untuk kembali bersama." jawabku dengan hati yang dipenuhi luka, teringat gimana Mas Gunawan mengandeng tangan perempuan itu di depan mataku."Hidup itu memang rumit, ya." seloroh Mas Ubay."Iya, makanya lu ga usah hidup, Bang!" celetuk Lea sambil terkekeh membuat Abangnya menghela napas dalam-dalam, sabar ... Sabar...Bersyukur juga suami Lea sedang keluar kota. Jadi, aku bisa numpang tidur untuk satu malam disini . Pernikahan Lea yang katanya hanya sebatas status. Membuat dia bebas, seakan tai memi
"Plis, sayang, Mas hanya punya Mama saat ini. Mas tak mau kehilangan dia. Bantu Mas, Mama ingin kamu datang."Aku melipat tangan di dada."Maaf, Mas. Aku tak bisa. Minta saja selingkuhan kamu itu merawat Mama, bukankah dia juga rajin mengurus suami orang, kenapa ga sekalian Mama kamu dia urusin." Jawabku ketus. "Sayang, tolonglah, nanti Mas akan jelaskan. Kamu hanya salah paham.""Salah paham apa? Kamu kira aku ini bod*h ya, Mas?kamu kira aku ini buta, ga bisa melihat dengan jelas siapa yang lebih kamu bela. Sudahlah, siapkan dirimu untuk persidangan kita.""Alina, jangan keras hati seperti ini, Sayang. Kamu tak boleh egois.""Apa egois? Kamu ga salah, Mas? Aku egois?" Aku tertawa lebar, menertawakan laki-laki yang bahkan tak pandai menempatkan rasa."Seharusnya kamu membeli kaca yang besar, lalu kamu berdiri didepannya. Kamu ngaca! Siapa yang egois, dan siapa yang munafik! Pengkhianat, penipu!""Cukup Alina!" Bentakannya menghentikan ocehanku. Dada Mas Gunawan naik turun menahan emo
Grup rempong heboh dengan cerita dari Lea, walau Lea hanya seakan melempar berita dan akulah yang menjawab semua pertanyaan dari teman-teman yang penasaran dengan apa yang terjadi.[Udahlah, Lin. Buat apa lagi bertahan. Udah mand*l, tukang selingkuh lagi. mending bawa sini, biar aku kiloin di Mang Didin.] Ketik Dea.[Ish, kamu jangan sadis gitu. Kalau dikiloin paling cuma buat makanan kucing, sini aku bawa ke penangkaran buaya, biar buaya ngerasain makan daging sesamanya.] balas Anggi.Aku terkekeh."Kamu sih, Lea, segala dilempar ke grup." sungutku."Ya, nggak apa-apa, biar tuh grup rame, nggak anyep kayak hidup gw." sahutnya."Yang bikin anyep kan kamu sendiri. Punya suami, bukannya diintilin kemana pergi, malah dibiarkan sendirian di luar kota.""Ah, yang namanya nasib walau kita ikutin ke mana pergi, kalau emang sudah dasar buaya tetap aja kita kena apesnya."seloroh Lea."Iya, sih kayak aku." "Eh, sorry, gw ga nyindir elu lho.""Gapapa, tak perlu merasa bersalah gitu. Kenyataan m
"Maaf Tante, Alina ga bisa. Sekali lagi Alina minta maaf."Wajah Tante Irma tampak kecewa. Tapi, aku tak bisa datang sekarang. Aku yakin di sana ada Mas Gunawan dan perempuan itu. Rasanya hati ini belum sanggup melihat mereka. Walau lisanku berkata sudah bisa move on dari Mas Gunawan, tapi jujur saja hati ini nelangsa."Baiklah, kalau itu menjadi keputusanmu, Nak. Tante tidak akan memaksa. Tetapi, jika nanti kamu berubah pikiran dan ingin bertemu Mama mertuamu, kabari Tante. Biar Tante yang atur agar kamu tak bertemu dengan Gunawan. Tante paham, kamu pasti sangat sakit hati."Tante Irma menggenggam tanganku, erat."Percayalah, Alina semua tidak seperti yang kamu pikirkan.""Maksud Tante apa? Mas Gunawan jelas-jelas selingkuh di belakangku. Bahkan sekarang dia terang-terangan membawa wanita itu ke hadapan Mama. Apa itu masih kurang untuk membuktikan lelaki itu bukan lelaki yang baik.""Alina, cobalah bicara baik-baik dulu dengan suamimu. Kalian ini sudah dewasa, selesaikan masalah deng
Aku keluar dari kamar Mama dengan Hati yang hancur dan penuh luka. "Lin ...""Gapapa, Tante. Alina, gapapa!" Aku mengusap kasar air mata saat Tante Irma mendekat. Perempuan yang selalu kuhormati itu menatapku dengan pandangan penuh iba."Alina, tunggu Gunawan pulang dulu, ya." Aku menggeleng cepat. "Maaf Tante, Alina buru-buru. Salam aja buat Mas Gunawan." Aku memaksakan seulas senyum di bibir.Tante Irma terus merangkulku, itu sudah cukup membuatku merasa punya posisi disini. Karena fakta yang terjadi sebenarnya, tanpa disadari sudah menjadi bumerang untukku sendiri."Alina, kalau ada waktu, saya ingin bicara banyak hal dengan kamu." Kali ini Raisa angkat bicara. Aku menoleh ke arah suara. Perempuan itu cantik, feminim, kerudung maroon yang digunakannya membuat wajah putih bersih itu makin terlihat berseri. Wajar jika Mas Gunawan lebih memilih dia."InsyaAllah!" jawabku singkat."Al, ini nomor telpon saya, nanti saya akan menghubungi kamu."Raisa mendekat lalu menyerahkan sebuah k
Mobil putihku baru saja mau keluar dari pekarangan rumah Lea, ketika sebuah mobil berwarna hitam metalik hendak masuk. Mobil itu membunyikan klaksonnya berkali-kali. Siapa sih?Aku menurunkan kaca jendela."Hei, Alina!" teriak teman-temanku yang menerbitkan senyum dibibir.Dea, Nabila dan Anggi, mereka datang setelah Lea mengabarkan jika aku akan pindah ke kontrakanku sendiri."Kalian, ngapain?" "Hmm ... masih nanya aja. Kamu yang ngapain, main pergi-pergi aja. Kamu anggap apa kita ini, ha?"seru Anggi, galak."Aku ga pergi jauh, cuma pindah aja. Kan ga enak kalau nanti suami Lea kembali, aku masih disini." ujarku memberi alasan."Halah! Alasan!" decih Lea yang menghampiri kami. Aku menyunggingkan senyum. Sebenarnya alasannya bukan itu. Ada hal yang tiba-tiba mengetuk hatiku, aku ingin berubah dan menjalani hidup dengan caraku sendiri."Dah, ah! aku pamit, ya. Keburu siang.""Eh, main pamit aja. Sini kita anter." Aku tak bisa lagi menolak. Dea telah lebih dahulu naik ke mobilku, seda
Aku menatap laki-laki itu tak percaya? Semudah itu dia bersimpuh hanya agar aku kembali. Tidak! Aku tak percaya. Pasti dia melakukannya karena Mama, bukan karena cinta. Maaf aku juga ingin bahagia, walau aku tahu tak ada salahnya hidup berpoligami. Tapi, nyatanya banyak pelaku poligami tanpa ilmu yang mumpuni. Dan berakhir dengan saling melukai. Apalagi jika semua dimulai dengan kebohongan, seperti yang Mas Gunawan lakukan."Maaf, Mas. Berdirilah, jangan mempermalukan diri karena sesuatu yang tak akan bisa kamu ubah hanya dengan sebuah sikap seperti ini."Mas Gunawan menatapku, aku pun balas menatap matanya. Jika dia hanya berpura-pura, maka sebentar lagi dia akan membuang pandangan ke arah lain. Benar saja, lelaki itu menoleh ke arah orang-orang yang lalu lalang di gedung itu."Tante, aku duluan, ya." Tanpa kata aku berlalu meninggalkan Mas Gunawan. "Alina, pokoknya aku tak akan menceraikan kamu!" Pekiknya.Aku tak menoleh sama sekali, bagiku mau dia setuju atau tidak, aku tetap aka
Aku baru saja sampai dirumah. Mengistirahatkan badan di sofa sambil memijit kening yang terasa pusing. Tak menyangka jika Raisa berkata semenyakitkan itu. Apa benar aku ini pelakor? Karena nyatanya aku hadir setelah Mas Gunawan dan Raisa itu menikah lima tahun lalu? Ya Allah, sama sekali tak ada niat untuk menjadi orang ketiga dalam pernikahan mereka. Aku tertipu.Ponselku tiba-tiba berbunyi, Mas Gunawan, pasti dia akan memarahiku karena telah menyakiti istrinya kesayangannya."Alina! Kamu ini kenapa sih? bisa tidak berbuat lemah lembut pada Raisa. Dia kan hanya mengajakmu berdamai, Kenapa justru kamu menyiramnya dengan jus jeruk? Aku ga habis pikir, Lin. Ternyata kamu se-bar-bar itu."Aku menjarakkan ponsel dari telinga. Suara lantang Mas Gunawan memekakkan telinga. Aku mengerutkan dahi? Apa-apaan?"Eh, Mas! Kamu ngomong apa? Kamu ngigo, ya? yang ada istri kamu itu mengajak perang denganku. Dia yang menyembutku pelakor.""Jangan ngarang kamu, Lin! Raisa mana mungkin berani berkata se