PoV MerryBenar dugaanku, Nia dan anaknya akan membuat aku susah, baru saja mereka mereka datang sudah membuat aku salah bicara. Akhirnya mengakui sendiri jika aku yang membuat Chanda dan Putra terusir dari rumah. Untung juga suamiku tidak mendengarnya, sehingga aku masih bisa bernafas lega. Sedangkan perkataan Salsa masih bisa kubantah, tapi Butet?Sejak ada Butet di rumah, dunia kami serasa berubah. Subuh sudah bangun dan salat Subuh. Lalu lari pagi mencari sarapan. Setelah itu guru mereka datang, terus belajar sampai jam dua bekas. Tak ada lagi drama Salsabila belajar masak. Sore harinya Butet malah mengajari Salsa olahraga karate. Mereka latihan di halaman belakang rumah. Magrib salat, setelah salat mengaji. Setelah itu belajar lagi. Lalu mereka main HP. Luar biasa cara Bang Parlindungan mengajari anaknya ini. Teratur dan disiplin sekali.Akan tetapi aku tidak suka Butet ada di sini, perasaanku padanya bercampur Antara benci dan takut, aku mulai cari cara untuk membuat Butet ters
PoV MerryButet ini telah membuat duniaku terasa hancur, impianku sirna sudah. Padahal masih banyak mimpiku yang belum terwujud, aku ingin jadi anggota dewan seperti istri pertama suamiku. Ingin punya kebun sawit yang luas seperti Parlin. Padahal untuk mewujudkan impianku aku sudah mengorbankan banyak hal. Mengorbankan masa muda."Maafkan aku, Pa, aku hanya tidak ingin ada orang lain di rumah ini yang membuat bahagia kita terganggu." kataku lagi, berharap suami masih mengampuniku."Kamu itu sudah keterlaluan, Merry, kamu mau fitnah orang, apablagi yang bisa dipercayai darimu?" kata suami."Ada, Pa, cintaku yang harus papa percayai, aku lakukan semua karena cinta papa, Butet itu hanya akan membuat kita tidak bahagia, Pa, karena itu aku ingin menyingkirkannya, Pa," kataku kemudian."Aku sudah kehilangan respek padamu, Merry," kata suami seraya masuk kamar.Sementara Butet dan Salsa senyum-senyum melihatku, aku makin benci pada Butet. "Puas kau, kan, puas kau setelah orang bertengkar g
Dengan berjalan pelan aku terus ke dapur, botol wadah racun sudah tersedia di kantong. Sebentar lagi akan berpindah ke kantong Salsa. Tak bisa kubayangkan kegegeran yang akan terjadi. Aku akan diwawancarai YouTubers lagi."Assalamualaikum," tiba-tiba terdengar suara salam di pintu, terpaksa aku menghentikan langkah. Ternyata suami sudah pulang. Tanpa bicara dia langsung masuk dan berjalan ke arah dapur. "Mau ke mana, Pa?" tanyaku.Dia tak menjawab, hanya menunjuk ke arah dapur saja. Aku ikuti suami dari belakang, sudah kusiapkan jeritan serta air mata buaya. Tiba di dapur tidak ada apa-apa, Salsa dan Butet tidak ada, kemana dua gadis tersebut?Sementara nasi goreng dua piring tetap di atas meja. Wah, aku dikerjai lagi kah. Suami lalu duduk di kursi."Wah, ada nasi goreng," kata suami seraya mendekatkan piring nasi goreng tersebut."Ambill sendok dulu, Merry," perintah suami.Aku gemetar, keringat dingin membasahi tubuh."Ada dua piring ini, ayok makan," kata suami lagi.Apa lagi yang
PoV NiaTerlalu pintar juga ternyata bisa bermasalah, itu yang terjadi pada Butet. Sudah dua sekolah setingkat SMP dia selalu keluar atau dikeluarkan. Ujian sudah dekat, mungkin belajar bersama Salsa pilihan terbaik. Salsa punya guruvkhusus yang didatangkan ayahnya. Menurut mantan bupati itu home schooling bisa mendapatkan ijazah layaknya sekolah formal. Dengan cara ikut ujian kesetaraan. Atau biasa disebut Paket B. Ada uang satu milliar di rekeningku, aku jadi resah, karena uang itu adalah denda dari keluarga Abdul Hakim, sementara Abdul Hakim yang kini sudah jadi tahanan polisi. Tidak tahu uang itu harus aku kemanakan. Padahal pesantren Bang Parlin lagi butuh dana, akan tetapi Bang Parlin tidak mau terima dana itu karena katanya tidak terjamin kehalalannya."Cok, uang denda itu halal, Gak?" tanyaku pada Ucok di satu hari. Saat itu aku lagi mengantarnya pergi sekolah. Ucok ini, biarpun masih remaja tapi punya ilmu agama yang lumayan. Dia sangat tertarik mempelajari ilmu agama. Teman
Aku menatap Bang Parlin dengan pandangan curiga, sepertinya suamiku itu paham apa yang ada dalam pikiranku."Dek, datang tamu minta makan, adek gak ada, Abang bawa ke warung ini untuk mencegah fitnah," kata Bang Parlin."Aku percaya pada Abang, yang gak bisa kupercaya adalah wanita ini," kataku kemudian.Merry kembali menangis, dia sampai sesunggukan. Aku tidak percaya dengan air matanya. Entah kenapa yang namanya pelakor sangat sulit untuk kupercayai."Aku terpuruk, sangat terpuruk, aku datang kemari karena tidak tahu mau pergi ke mana lagi, aku butuh bantuan," kata Merry disela isak tangisnya."Kenapa terpuruk?" tanya Bang Parlin."Aku diceraikan, huhuhu," wanita itu masih menangis."Waduh, kenapa?" tanya Bang Parlin.Sementara aku diam diam chat mantan bupati tersebut.(Kenapa bapak ceraikan Merry?) Begitu chat yang kukurim."Salsabila, Bang Parlin, dia rekayasa semua, aku dituduh mau racuni dia, padahal dia yang sudah berpengalaman soal racun," kata Merry."Wah, kok bisa begitu?"
Aku mulai menghubungi para korban Abdul Hakim, selain Butet dan Salsa, ada empat orang lagi. Semuanya siswa di sekolah Butet dulu. Yang pertama kuhubungi adalah seorang ibu yang punya anak laki-laki korban pelecehan."Bu, kemarin itu kan ada anak angkat kami, dia tawarkan damai supaya bisa bertemu langsung dengan Abdul Hakim, ternyata tawarannya itu diterima keluarga Abdullah Hakim, begitu aku tandanya tangan, mereka langsung transfer dari dua puluh nomor rekening yang berbeda-beda, masing-masing lima puluh juta, jadi saya merasa tidak enak, dan bermaksud membagi uang itu untuk korban' yang lain," kataku setelah basa-basi sejenak."Dia dihukum begitu saja kami sudah sangat berterimakasih kasih, Bu, kami juga berterima kasih karena kalian semuanya ini terungkap," jawab ibu tersebut."Oh, iya, Bu, jadi saya mau bagi uang denda itu untuk tabungan pendidikan anak kita," kataku lagi."Terima kasih banyak, Bu," "Kita bertemu di kota minggu depan ya, Bu," kataku kemudian."Baik, Bu," Satu
Bayi itu sudah agak besar, mengkin umurnya juga sudah satu tahun, akan tetapi sepertinya belum pandai berjalan. Aku coba gendong. Tiba-tiba bayi itu menangis, aku jadi panik, tangisannya terdengar sangat keras. Kucoba goyangkan badan layaknya orang gendong bayi. Akan tetapi bayi itu terus saja menangis."Bang, beli dulu susunya?" perintahku pada Bang Parlin."Susu apa?" "Aku mana tau, Bang," "Kasih air tajin aja," kata Bang Parlin. "Ini anak bupati lo, Bang, bukan anak petani," kataku kemudian.Ucok dan Butet memang tidak pernah minum susu kemasan saat bayi, mereka masih menyusui sampai dua tahun, setelah itu makan seperti biasa, tidak pernah minum susu formula atau susu pertumbuhan. "Udah, sini kugendong," kata Bang Parlin. Suamiku itu pun menggendong bayi satu tahun tersebut sambil bernyanyi. Nyanyiannya masih seperti dulu, ungut-ungut yang sudah dia modifikasi."Dari mana hendaknya ke manaDari Medan hendak ke PadangBagaimana hati tidak gundah gulanaAyah dan ibumu lagi berper
Entahlah, masalah seperti banyak berdatangan, Butet yang hendak ujian kesetaraan, Merry lagi yang tiba-tiba datang ngantar anak, sudah diantarnya minta diantar balik. Belum lagi Bang Parlin yang sepertinya ingin bantu semua orang. Kini dia membimbing Tugirin untuk berdzikir. Aku pernah dengar, zikir itu obat untuk jiwa yang gersang. Atau memang Bang Parlin mau mengobati Tugirin?HP Bang Parlin berbunyi lagi. Saat kulihat panggilan dari Merry lagi."Apa lagi maumu?" tanyaku kesal setelah menggeser tombol hijau."Aku mau bicara dengan Bang Parlin," katanya dari seberang."Mau bicara apa, bilang samaku saja," jawabku makin kesal."Aku hanya mau bicara dengan Bang Parlin," katanya lagi."Oh, kau mau memanfaatkan suamiku kan, kau tahu dia akan bantu orang yang butuh bantuan, sabar dulu, antri, Bang Parlinnya sekarang lagi membantu orang lain," kataku kemudian. Kesal juga pada suami, orang antri yang butuh bantuannya."Bu Nia, tadinya aku sudah ingin tinggalkan anakku saja, karena mau nyebr