Suara ruang tamu apartemen itu diisi dengan langkah kaki mengetuk lantai dan berlatar isak tangis Sully. Oky hilir-mudik di ruang tamu masih dengan sepatunya, sedangkan Sully memasukkan pakaian dan kosmetiknya ke koper.
“Apa harus pergi lagi? Ibu ajudan tadi cuma bilang bakal ngecek ke sini sesekali. Bukan tiap hari. Kamu…maksud aku, kita enggak perlu kabur. Cuma perlu meng-update berita. Istri Kapolda cuma minta itu,” kata Oky, menghentikan langkahnya di depan kamar Sully.
“Enggak. Aku enggak mau didatangi polisi lagi. Aku enggak salah, Ky. Aku enggak niat jual barang palsu. Itu tas yang biasa aku ambil dari Mbak Kokom. Sekarang Mbak Kokom enggak bisa dihubungi. Aku enggak sanggup,” kata Sully berurai air mata. Tangannya bergetar saat memasukkan hair dryer dan alat catok ke dalam koper kabin miliknya. Unit apartemen itu berpendingin udara, namun keringatnya tak berhenti mengucur. Rambutnya yang tadi tergerai mengembang dengan bagus, sudah lepek dalam waktu singkat karena keringat.
“Jadi, sekarang kita mau ke mana? Gimana kalau pulang kampung aja? Setidaknya kamu bisa tidur nyaman dan dekat dengan keluarga. Kita pulang, Lis. Kamu udah lama enggak pulang.” Oky berjongkok di dekat koper Sully yang terbuka.
Sully berhenti menatap Oky seraya menyeka air matanya. “Kamu tahu sendiri kalau aku enggak mungkin pulang. Ayahku enggak pernah nanya kabar aku, terus tiba-tiba aku pulang bawa masalah? Kalau ada polisi yang nyari aku ke rumah gimana? Aku bisa diseret ke jalan sama ayahku.” Sully kembali menutup wajah dengan telapak tangannya dan menangis.
“Kita ke mana—”
“Yang jauh, Ky. Yang jauh. Ke mana aja. Apalagi Rino udah tahu aku tinggal ke sini. Kalau dia datang dan papasan dengan polisi, dia enggak akan percaya lagi soal ulang tahun Bayangkari.” Sully merunduk memeluk kopernya. “Tujuh ratus juta itu banyak banget …,” bisiknya.
“Kalau Istri Kapolda nyari kamu ke sini gimana? Dia pasti bakal ngecek,” kata Oky.
Sully menegakkan tubuhnya dan diam dengan alis mengernyit. “Kalau kita udah berangkat, aku bakal kirim pesan ke beliau. Info kalau aku pulang kampung dan aku tetap menjalankan perjanjian bayar hutang dalam waktu paling lama tiga bulan. Kalau ajudannya mau cek ke sini, mereka bisa lihat aku memang enggak ada. Aku bakal titip pesan ke resepsionis di bawah. Jadi, mereka enggak bakal datang dan tetap tunggu kabar via pesan. Gimana?” Sully menghapus sisa-sisa air matanya.
“Masalahnya … kita ke mana?”
“Itu tugas kamu. Aku serahkan ke kamu. Terserah ke mana. Tempat yang paling jauh untuk menenangkan diri. Kita bisa kerja dari jauh sambil nyari si Kokom. Aku tetap bisa terima job endorse dan buat video konten dengan tenang. Kita akan tetap punya penghasilan.” Sully mendekati Oky dan menggenggam tangan sahabatnya itu. "Ky, untuk saat ini ... aku cuma punya kamu. Bantu aku melarikan diri sekali lagi,” ucap Sully dengan sorot memohon.
Oky menghela napas panjang membalas tatapan mata memelas sahabatnya. “Lis … aku sedih lihat kamu harus kaya gini terus. Kaya enggak punya rumah,” ucap Oky.
“Please, Ky …. Ke mana aja,” lirih Sully.
Menit berikutnya Sully menyelesaikan mengemas barang-barangnya. Oky duduk di tepi ranjang berkutat dengan ponselnya. Beberapa kali bergumam sendiri, lalu menggeleng.
Akhirnya ….
“Lis, ada dua tempat yang mungkin kita datangi. Aku cuma kenal dua orang yang cukup dekat selama kita tinggal di lingkungan apartemen ini. Pak Jafar mantan satpam lobi dan Mbak Rahayu.”
“Jangan bapak-bapak, Ky. Bahaya. Nanti istrinya bisa mikir macam-macam. Mbak Rahayu aja gimana? Tinggal di mana?” Sully berdiri dengan koper dan bungkusannya yang sudah siap angkut.
“Masalahnya … Mbak Rahayu baru masuk karantina untuk TKW yang mau berangkat ke Taiwan. Dia cuma bisa bantu kirim alamat rumah temannya di Desa Girilayang. Orangnya pasti baik. Namanya Bu Tarmiah. Ini alamatnya,” Oky menyodorkan ponselnya pada Sully. “Pernah tahu?” tanyanya.
Sully menggeleng. “Enggak pernah tahu itu di mana. Tapi bukannya semakin jauh semakin baik? Andai Istri Kapolda nyari aku ke kampung dan enggak berhasil menemukan. Dia perlu waktu lama buat nemuin aku di Desa…apa tadi?” tanya Sully tadi.
“Desa Girilayang,” jawab Oky.
Sully tertawa sumbang. “Desa Girilayang. Ayo, Ky … berangkat sekarang. Nanti kalau ada apa-apa, kamu bisa tanya Mbak Rahayu lagi,” kata Sully berjalan menuju pintu.
“Mbak Rahayu enggak bisa jawab telfon atau balas pesan setiap saat. Dia lagi pelatihan,” kata Oky, menyeret kopernya. “Isi koperku udah lengkap, kan?” tanyanya memandang bawaan mereka yang cukup sedikit.
“Semuanya lengkap beserta peralatan bikin konten yang biasa kita pakai buat traveling.”
Sebelum meninggalkan apartemen, di meja resepsionis Sully menuliskan pesan di selembar kertas untuk orang yang datang mencarinya ke sana. Tak lupa ia memberi dua nomor ponsel yang bisa dihubungi tiap saat.
Harapan Sully soal tempat pelarian yang ‘semakin jauh semakin baik’ ternyata dikabulkan Tuhan. Mereka menghabiskan waktu dari siang sampai nyaris tengah malam untuk bertanya dan berganti-ganti kendaraan menuju desa tujuan mereka.
“Aku baru sadar di Indonesia masih ada desa kaya gini. Lampu jalannya nyaris enggak ada. Jalanan rusak, banyak lubang, becek. Katanya pembangunan udah sampai ke pelosok. Nyatanya masih begini. Dana desanya ke mana?” Sully berhenti untuk membuka sepatunya yang baru saja terbenam lumpur.
“Baru sadar, ya? Enggak apa-apa kalau cuma baru nyadar. Asal kamu jangan ngeluh. Soalnya kamu yang mau kabur ke sini.” Oky ikut menghentikan langkah dan berbalik memandang Sully yang kerepotan membawa sebuah koper ukuran kabin, dan tas tangan bermerek LEMMES yang mati -matian dia jaga.
“Rumahnya masih jauh enggak? Bantuin bawa paper bag ini.” Sully menyodorkan paper bag berisi botol-botol skincare yang tak cukup dijejalkannya ke koper.
“Bawaanku juga banyak. Kamu apa enggak liat?” Oky berdecak kesal. “Di depan ada cahaya lampu rumah. Kita tanya di sana. Kamu, kan, tadi dengar apa kata Bapak yang nunjukin jalan sebelumnya. Sebentar lagi kita bakal ketemu gapura Desa Girilayang. Ayo,” ajak Oky, meneruskan langkah menembus kegelapan malam dan jalan kecil berlubang-lubang yang hanya bisa dilalui oleh sebuah mobil.
“Itu rumahnya, ayo cepat tanya!” seru Sully, menunjuk sebuah rumah berdinding papan yang terletak persis di sebelah kanan sebelum gapura.
Walau bisa dipastikan bahwa kesialan mereka hari itu adalah kesalahan Sully yang ceroboh, Oky sebagai manajer sekaligus sahabat sekampung sejak SMP merasa tak mungkin lepas tangan begitu saja. Oky mendekati rumah yang dari celah pintunya memendarkan cahaya kuning. Sebelum mengetuk pintu, ia menoleh Sully yang sibuk menggaruk-garuk betisnya.
“Kamu jangan jauh-jauh. Di sana gelap,” pinta Oky.
“Udah ... buruan,” bisik Sully.
Oky berdeham pelan. Berdiri menarik napas di depan pintu rumah orang asing membuatnya bisa meletakkan barang bawaannya sejenak. Keringat sudah membasahi dahinya. Jika dihitung-hitung mereka sudah berjalan kaki lebih dari tiga kilometer. Malam itu mereka memang benar-benar butuh istirahat secepatnya.
Setelah mengetuk cukup lama dan mengucapkan salam, terdengar suara sesuatu yang digeser di balik pintu. Lalu wajah seorang wanita muda menyembul dari baliknya.
“Siapa, ya?” Wanita itu hanya membuka pintu sedikit sekali.
“Saya Oky Jelita, itu teman saya,” Oky menoleh ke arah Sully lalu kembali menatap wanita di balik pintu, “namanya Sully. Malam ini kita nyari kediaman Bu Tarmiah. Kita berdua saudara jauhnya. Kata Bapak yang tinggal di ujung jalan sana, kita harus tanya di sini. Itu pintu masuk Desa Girilayang, kan?” Oky menunjuk gapura yang terlihat dari tempatnya berdiri.
“Iya benar. Itu pintu masuk Desa Girilayang. Tapi ... kalian apa memang saudaranya Bu Tarmiah?” Wanita di balik pintu meneliti Oky dari atas ke bawah.
Oky dan Sully bertukar pandang, kemudian tersenyum senang. Akhirnya ada orang yang mengenal Bu Tarmiah.
“Iya, benar. Kita berdua saudaranya. Rumahnya Bu Tarmiah yang mana? Kita mau menginap di sana malam ini.” Oky tak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Akhirnya bisa istirahat. Tidur di lantai ruang tamu Bu Tarmiah pun jadi, pikirnya.
“Kalau Mbak berdua benar saudaranya Bu Tarmiah, harusnya tahu kalau Bu Tarmiah sudah lama meninggal. Tiga tahun yang lalu. Mungkin lebih,” ujar wanita itu sambil berpikir-pikir.
“What …?!” pekik Sully.
To Be Continued
Oky mengabaikan Sully yang terlihat panik. “Tapi, rumah Bu Tarmiah masih di sini, kan, Mbak? Mungkin Bu Tarmiah ada anaknya,” ucap Oky penuh harap.“Ada. Anak Bu Tarmiah satu orang laki-laki. Baru menikah bulan lalu. Sekarang rumah Bu Tarmiah ditinggali anaknya yang pengantin baru itu.” Wanita itu berbicara dengan pintu yang sudah terbuka lebih lebar.Oky menggeleng samar. Rasanya memang tak mungkin menumpang di rumah orang yang sudah tidak ada lagi hubungannya dengan kenalan mereka. Pengantin baru pula. “Terima kasih, kita pamit dulu. Mau menyapa anak Bu Tarmiah ke rumahnya.” Oky berjalan mendekari Sully yang berdiri di dekat gapura desa.“Ky, kok, Bu Tarmiah meninggal, sih?” Wajah Sully terlihat makin putus asa.“Enggak tahu. Iseng kali,” kesal Oky, meletakkan bawaannya di dekat Sully.“Jadi, sekarang kita bermalam di mana, Oky ....” Sully hampir menangis.“Aku udah bilang kita pulang kampung aja. Kenapa, sih, kamu selalu milih kabur dari masalah?” Setelah sekian lama diam di perjala
Beberapa detik Sully dan Oky terdiam saling pandang. Sully lalu menghapus air matanya dan berdiri menatap Wira. “Maksudnya gimana, Mas?” tanya Sully dengan suara sengau. Sisa-sisa air mata masih terlihat di bulu matanya. “Begini, Mbak…siapa namanya?” Wira memandang Sully. “Saya Sully, ini teman saya namanya Oky.” Sully memandang Oky sebagai penunjuk bagi Wira. “Baik, Mbak Sully dan Mbak Oky … saya jelaskan garis besarnya karena ini sudah larut malam. Kita sama-sama capek dan saya juga ada masalah yang bikin pikiran saya benar-benar ruwet.” Wira menarik napas panjang dan berjalan mendekati dua wanita di dekat gapura. Sully dan Oky merapatkan tubuh mereka. Tangan keduanya saling mencari dan menggenggam. Isi pikiran keduanya sama. Pria di hadapan mereka bisa saja orang jahat yang berniat merampok. Wira maju selangkah, Sully dan Oky mundur satu langkah. Wira mengernyit, lalu maju selangkah lagi. Namun, Sully dan Oky kembali mundur selangkah. Akhirnya Wira berhenti untuk menarik dan me
Sully merasa tangannya gemetar karena teriakan pria tua di ambang pintu yang menatapnya tajam. Perkataan Wira barusan membuat bapaknya murka. Detik itu ia menyesali usul konyol soal bersandiwara menjadi istri Wira. Angan-angan bisa tidur meluruskan kaki malam itu pun, lenyap seketika.“Jangan sampai suara Bapak membangunkan tetangga,” ucap Wira pelan. Langsung mengingatkan bapaknya akan hal yang menjadi momok di desa. Yaitu, menjadi gunjingan.Sully menunduk untuk mengibas betisnya yang baru digigit nyamuk. Lalu, satu kakinya terangkat untuk menggaruk betisnya. Ingin rasanya ia meminta kedua anak dan bapak itu berdamai setidaknya untuk malam itu saja. Ia benar-benar sudah sangat lelah dan mengantuk.“Masuk,” pinta pria tua di depan pintu. Menepikan tubuhnya dengan kedua tangan terkepal di belakang.“Ayo, masuk. Kamu pasti udah capek,” kata Wira, mendatangi Sully dan memegang lengan wanita itu. Sejenak ia lupa bahwa satu tangan Oky masih terkait ke lengan Sully. Lagi-lagi Oky mendengus
Wira duduk mencerna perkataan bapaknya. Dari sudut mata ia melihat Sully yang sedang memperhatikannya tak berkedip. Sedikit risi. Mau apa wanita menor itu memperhatikannya? Wira yakin kalau Sully tidak mendengar semua ucapan bapaknya malam itu. “Bapak sudah ngomong ke orang tua Ratna kalau kamu bakal pulang kampung. Memang Bapak belum ada ngomong soal bakal melamar Ratna. Tapi gadis itu duduk meladeni Bapak dengan sangat sopan. Kalau kamu tiba-tiba pulang bawa istri, bisa-bisa enggak bakal diterima, Gus. Paham warga kampung soal orang kota, apalagi wanita yang….” Pak Gagah memandang Sully sekilas, “yang dandanannya begini pikirannya sudah ke mana-mana. Bapak sendiri enggak yakin kamu memang sudah menikah. Bisa-bisa kamu cuma kumpul kebo. Ketemu dengan istrimu di mana?” Pak Gagah memandang Wira dengan sorot curiga. “Pak,” tegur Wira pelan. Pak Gagah seketika terdiam dan mengerling Sully yang masih memperhatikan Wira. Perhatian pria tua itu kemudian berpindah pada Sully. Dan benar sa
Sebegitu pintu kamar Wira tertutup, Sully langsung menghempaskan tangan Wira yang menggandengnya. “Udah berapa kali hari ini kamu pegang-pegang aku? Ngambil kesempatan aja,” sergah Sully. Wira menaruh ranselnya di meja dan membuka jaket. “Jangan keluar dulu. Bapak masih ngeteh di dapur. Saya mau ke kamar mandi di belakang. Mau cuci muka dan bersih-bersih sedikit. Kalau Mbak Sulis mau ikutan biar sekalian. Soalnya kamar mandinya di luar.” “Jadi, sampai jam berapa aku di kamar kamu?” Sully masih berdiri di balik pintu. “Terserah Mbak sampai jam berapa. Yang penting tunggu Bapak balik ke kamarnya,” kata Wira, membuka lemari pakaian dan mengambil handuk dari dalam. Sully menunduk melihat kakinya yang kotor terkena becek. Sejak memasuki jalanan yang mulai berlubang di kampung itu, ia memang sudah melepaskan sandal bertali bertapak tebal yang dikenakannya. Dan mendengar soal kamar mandi, hasrat buang air kecilnya muncul tiba-tiba. Sully berdiri merapatkan kakinya. Huru-hara sejak siang
“Aku belum selesai pakai baju. Kamu jangan gitu. Tunggu di luar sebentar,” ucap Sully pelan. Nyalinya mulai ciut melihat tatapan Wira yang sangat serius memandangnya. “Jangan lama-lama,” pesan Wira lagi saat melangkah keluar. Tak sampai sepuluh menit berselang, Sully sudah keluar kamar mandi dan berganti dengan sepasang piyama sutra celana pendek. “Mbak Sulis bisa kembali lebih dulu ke rumah. Di luar banyak nyamuk,” kata Wira dari dalam kamar mandi. Sully berdiri membelakangi pintu kamar mandi. Perhatiannya kini berpindah pada bagian sekitar kamar mandi yang awal tadi tak begitu diperhatikannya. Di dekat kamar mandi itu ada pohon nangka. Buahnya besar-besar dan dua diantaranya ditutup karung putih. Dari tempatnya berdiri nangka tertutup karung itu membentuk rupa yang menyeramkan di kegelapan Sully merapatkan tubuhnya ke pintu. “Mas Wira … jangan lama-lama. Aku takut,” ucap Sully. Pandangannya kembali menyapu sekeliling. Bagian belakang rumah Wira benar-benar dikelilingi kebun de
Sully menunduk menatap ponsel yang dipenuhi puluhan notifikasi dari orang-orang yang mencarinya. Juga balasan dari Bu Kapolda yang langsung membalas pesannya lagi. ‘Kalau bisa jangan terlalu lama ya, Sul. Kamu juga jangan bawa-bawa soal masalah ini ke dalam konten kamu. Saya enggak mau orang-orang tahu soal masalah ini. Demi nama baik suami saya.’ Sully menatap nanar balasan pesan itu. Ia lalu menggulir pesan yang dikirimkannya ke distributor tas bernama ‘Mbak Kokom’ yang dikiriminya pesan bertubi-tubi namun hingga detik itu hanya mendapat tanda centang satu. “Mbak Sulis …,” panggil Wira. “Ha?” Sully mendongak menatap Wira. Tak sadar jarak mereka kini tak lebih dari setengah meter. Dalam terangnya lampu kamar, kali itu Sully bisa memperhatikan wajah Wira dengan jelas. Wajahnya lebih segar karena rambut lurusnya yang basah. Saat itu Wira menatapnya dengan sangat serius. “Sebentar … aku cek pesan-pesanku dulu,” kata Sully sedikit mengulur waktu. Jajaran pesan-pesan di ponselnya tak
Tak tahu pukul berapa saat itu, Sully terbangun karena suara ketukan di pintu kamar. Tak ada jam di dinding kamar, ponsel yang digenggamnya saat tidur pun padam karena tidak diisi baterai selama seharian penuh kemarin. Setengah menyeret langkahnya, Sully mendekati pintu dan membukanya. “Ada apa? Aku masih ngantuk, Ky. Di sini dingin enggak perlu pakai AC.” Sully mendekap kedua lengannya. “Ehem!” Suara Pak Gagah yang berdeham membuat mata Sully melebar. “Sudah bangun? Ada yang mau bertemu kamu,” seru Pak Gagah dari meja makan. Sully membekap mulutnya dan mengangkat alis sebagai isyarat pertanyaan buat Oky. “Saya permisi buat ngomong sebentar dengan Sully, Pak,” kata Oky, mendorong Sully masuk ke kamar tanpa menunggu persetujuan Pak Gagah. “Itu ada ibu-ibu mau ngapain? Ini jam berapa? Masih pagi, kan?” tanya Sully kebingungan. “Kamu kemarin malam ada ngomong apa ke Mas Wira? Itu bapaknya Mas Wira datang bawa petugas desa buat urusan catatan sipil. Dua ibu-ibu itu mau ngukur size