Share

2. Menuju Antah Berantah

Suara ruang tamu apartemen itu diisi dengan langkah kaki mengetuk lantai dan berlatar isak tangis Sully. Oky hilir-mudik di ruang tamu masih dengan sepatunya, sedangkan Sully memasukkan pakaian dan kosmetiknya ke koper.

“Apa harus pergi lagi? Ibu ajudan tadi cuma bilang bakal ngecek ke sini sesekali. Bukan tiap hari. Kamu…maksud aku, kita enggak perlu kabur. Cuma perlu meng-update berita. Istri Kapolda cuma minta itu,” kata Oky, menghentikan langkahnya di depan kamar Sully.

“Enggak. Aku enggak mau didatangi polisi lagi. Aku enggak salah, Ky. Aku enggak niat jual barang palsu. Itu tas yang biasa aku ambil dari Mbak Kokom. Sekarang Mbak Kokom enggak bisa dihubungi. Aku enggak sanggup,” kata Sully berurai air mata. Tangannya bergetar saat memasukkan hair dryer dan alat catok ke dalam koper kabin miliknya. Unit apartemen itu berpendingin udara, namun keringatnya tak berhenti mengucur. Rambutnya yang tadi tergerai mengembang dengan bagus, sudah lepek dalam waktu singkat karena keringat.

“Jadi, sekarang kita mau ke mana? Gimana kalau pulang kampung aja? Setidaknya kamu bisa tidur nyaman dan dekat dengan keluarga. Kita pulang, Lis. Kamu udah lama enggak pulang.” Oky berjongkok di dekat koper Sully yang terbuka.

Sully berhenti menatap Oky seraya menyeka air matanya. “Kamu tahu sendiri kalau aku enggak mungkin pulang. Ayahku enggak pernah nanya kabar aku, terus tiba-tiba aku pulang bawa masalah? Kalau ada polisi yang nyari aku ke rumah gimana? Aku bisa diseret ke jalan sama ayahku.” Sully kembali menutup wajah dengan telapak tangannya dan menangis.

“Kita ke mana—”

“Yang jauh, Ky. Yang jauh. Ke mana aja. Apalagi Rino udah tahu aku tinggal ke sini. Kalau dia datang dan papasan dengan polisi, dia enggak akan percaya lagi soal ulang tahun Bayangkari.” Sully merunduk memeluk kopernya. “Tujuh ratus juta itu banyak banget …,” bisiknya.

“Kalau Istri Kapolda nyari kamu ke sini gimana? Dia pasti bakal ngecek,” kata Oky.

Sully menegakkan tubuhnya dan diam dengan alis mengernyit. “Kalau kita udah berangkat, aku bakal kirim pesan ke beliau. Info kalau aku pulang kampung dan aku tetap menjalankan perjanjian bayar hutang dalam waktu paling lama tiga bulan. Kalau ajudannya mau cek ke sini, mereka bisa lihat aku memang enggak ada. Aku bakal titip pesan ke resepsionis di bawah. Jadi, mereka enggak bakal datang dan tetap tunggu kabar via pesan. Gimana?” Sully menghapus sisa-sisa air matanya.

“Masalahnya … kita ke mana?”

“Itu tugas kamu. Aku serahkan ke kamu. Terserah ke mana. Tempat yang paling jauh untuk menenangkan diri. Kita bisa kerja dari jauh sambil nyari si Kokom. Aku tetap bisa terima job endorse dan buat video konten dengan tenang. Kita akan tetap punya penghasilan.”  Sully mendekati Oky dan menggenggam tangan sahabatnya itu. "Ky, untuk saat ini ... aku cuma punya kamu. Bantu aku melarikan diri sekali lagi,” ucap Sully dengan sorot memohon.

Oky menghela napas panjang membalas tatapan mata memelas sahabatnya. “Lis … aku sedih lihat kamu harus kaya gini terus. Kaya enggak punya rumah,” ucap Oky.

“Please, Ky …. Ke mana aja,” lirih Sully.

Menit berikutnya Sully menyelesaikan mengemas barang-barangnya. Oky duduk di tepi ranjang berkutat dengan ponselnya. Beberapa kali bergumam sendiri, lalu menggeleng.

Akhirnya ….

“Lis, ada dua tempat yang mungkin kita datangi. Aku cuma kenal dua orang yang cukup dekat selama kita tinggal di lingkungan apartemen ini. Pak Jafar mantan satpam lobi dan Mbak Rahayu.”

“Jangan bapak-bapak, Ky. Bahaya. Nanti istrinya bisa mikir macam-macam. Mbak Rahayu aja gimana? Tinggal di mana?” Sully berdiri dengan koper dan bungkusannya yang sudah siap angkut.

“Masalahnya … Mbak Rahayu baru masuk karantina untuk TKW yang mau berangkat ke Taiwan. Dia cuma bisa bantu kirim alamat rumah temannya di Desa Girilayang. Orangnya pasti baik. Namanya Bu Tarmiah. Ini alamatnya,” Oky menyodorkan ponselnya pada Sully. “Pernah tahu?” tanyanya.

Sully menggeleng. “Enggak pernah tahu itu di mana. Tapi bukannya semakin jauh semakin baik? Andai Istri Kapolda nyari aku ke kampung dan enggak berhasil menemukan. Dia perlu waktu lama buat nemuin aku di Desa…apa tadi?” tanya Sully tadi.

“Desa Girilayang,” jawab Oky.

Sully tertawa sumbang. “Desa Girilayang. Ayo, Ky … berangkat sekarang. Nanti kalau ada apa-apa, kamu bisa tanya Mbak Rahayu lagi,” kata Sully berjalan menuju pintu.

“Mbak Rahayu enggak bisa jawab telfon atau balas pesan setiap saat. Dia lagi pelatihan,” kata Oky, menyeret kopernya. “Isi koperku udah lengkap, kan?” tanyanya memandang bawaan mereka yang cukup sedikit.

“Semuanya lengkap beserta peralatan bikin konten yang biasa kita pakai buat traveling.”

Sebelum meninggalkan apartemen, di meja resepsionis Sully menuliskan pesan di selembar kertas untuk orang yang datang mencarinya ke sana. Tak lupa ia memberi dua nomor ponsel yang bisa dihubungi tiap saat.

Harapan Sully soal tempat pelarian yang ‘semakin jauh semakin baik’ ternyata dikabulkan Tuhan. Mereka menghabiskan waktu dari siang sampai nyaris tengah malam untuk bertanya dan berganti-ganti kendaraan menuju desa tujuan mereka.

“Aku baru sadar di Indonesia masih ada desa kaya gini. Lampu jalannya nyaris enggak ada. Jalanan rusak, banyak lubang, becek. Katanya pembangunan udah sampai ke pelosok. Nyatanya masih begini. Dana desanya ke mana?” Sully berhenti untuk membuka sepatunya yang baru saja terbenam lumpur.

“Baru sadar, ya? Enggak apa-apa kalau cuma baru nyadar. Asal kamu jangan ngeluh. Soalnya kamu yang mau kabur ke sini.” Oky ikut menghentikan langkah dan berbalik memandang Sully yang kerepotan membawa sebuah koper ukuran kabin, dan tas tangan bermerek LEMMES yang mati -matian dia jaga.

“Rumahnya masih jauh enggak? Bantuin bawa paper bag ini.” Sully menyodorkan paper bag berisi botol-botol skincare yang tak cukup dijejalkannya ke koper.

“Bawaanku juga banyak. Kamu apa enggak liat?” Oky berdecak kesal. “Di depan ada cahaya lampu rumah. Kita tanya di sana. Kamu, kan, tadi dengar apa kata Bapak yang nunjukin jalan sebelumnya. Sebentar lagi kita bakal ketemu gapura Desa Girilayang. Ayo,” ajak Oky, meneruskan langkah menembus kegelapan malam dan jalan kecil berlubang-lubang yang hanya bisa dilalui oleh sebuah mobil.

“Itu rumahnya, ayo cepat tanya!” seru Sully, menunjuk sebuah rumah berdinding papan yang terletak persis di sebelah kanan sebelum gapura.

Walau bisa dipastikan bahwa kesialan mereka hari itu adalah kesalahan Sully yang ceroboh, Oky sebagai manajer sekaligus sahabat sekampung sejak SMP merasa tak mungkin lepas tangan begitu saja. Oky mendekati rumah yang dari celah pintunya memendarkan cahaya kuning. Sebelum mengetuk pintu, ia menoleh Sully yang sibuk menggaruk-garuk betisnya.

“Kamu jangan jauh-jauh. Di sana gelap,” pinta Oky.

“Udah ... buruan,” bisik Sully.

Oky berdeham pelan. Berdiri menarik napas di depan pintu rumah orang asing membuatnya bisa meletakkan barang bawaannya sejenak. Keringat sudah membasahi dahinya. Jika dihitung-hitung mereka sudah berjalan kaki lebih dari tiga kilometer. Malam itu mereka memang benar-benar butuh istirahat secepatnya.

Setelah mengetuk cukup lama dan mengucapkan salam, terdengar suara sesuatu yang digeser di balik pintu. Lalu wajah seorang wanita muda menyembul dari baliknya.

“Siapa, ya?” Wanita itu hanya membuka pintu sedikit sekali.

“Saya Oky Jelita, itu teman saya,” Oky menoleh ke arah Sully lalu kembali menatap wanita di balik pintu, “namanya Sully. Malam ini kita nyari kediaman Bu Tarmiah. Kita berdua saudara jauhnya. Kata Bapak yang tinggal di ujung jalan sana, kita harus tanya di sini. Itu pintu masuk Desa Girilayang, kan?” Oky menunjuk gapura yang terlihat dari tempatnya berdiri.

“Iya benar. Itu pintu masuk Desa Girilayang. Tapi ... kalian apa memang saudaranya Bu Tarmiah?” Wanita di balik pintu meneliti Oky dari atas ke bawah.

Oky dan Sully bertukar pandang, kemudian tersenyum senang. Akhirnya ada orang yang mengenal Bu Tarmiah.

“Iya, benar. Kita berdua saudaranya. Rumahnya Bu Tarmiah yang mana? Kita mau menginap di sana malam ini.” Oky tak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Akhirnya bisa istirahat. Tidur di lantai ruang tamu Bu Tarmiah pun jadi, pikirnya.

“Kalau Mbak berdua benar saudaranya Bu Tarmiah, harusnya tahu kalau Bu Tarmiah sudah lama meninggal. Tiga tahun yang lalu. Mungkin lebih,” ujar wanita itu sambil berpikir-pikir.

“What …?!” pekik Sully.

To Be Continued

Komen (33)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
kabur dari masalah...
goodnovel comment avatar
Miftakul Jannah Arifin
seruuu....lanjut bacanya....lihat sully jadi ke inget yuki kato
goodnovel comment avatar
Nany Setyarsi
waduh udah meninggal,horor nih ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status