Oky mengabaikan Sully yang terlihat panik. “Tapi, rumah Bu Tarmiah masih di sini, kan, Mbak? Mungkin Bu Tarmiah ada anaknya,” ucap Oky penuh harap.
“Ada. Anak Bu Tarmiah satu orang laki-laki. Baru menikah bulan lalu. Sekarang rumah Bu Tarmiah ditinggali anaknya yang pengantin baru itu.” Wanita itu berbicara dengan pintu yang sudah terbuka lebih lebar.
Oky menggeleng samar. Rasanya memang tak mungkin menumpang di rumah orang yang sudah tidak ada lagi hubungannya dengan kenalan mereka. Pengantin baru pula. “Terima kasih, kita pamit dulu. Mau menyapa anak Bu Tarmiah ke rumahnya.” Oky berjalan mendekari Sully yang berdiri di dekat gapura desa.
“Ky, kok, Bu Tarmiah meninggal, sih?” Wajah Sully terlihat makin putus asa.
“Enggak tahu. Iseng kali,” kesal Oky, meletakkan bawaannya di dekat Sully.
“Jadi, sekarang kita bermalam di mana, Oky ....” Sully hampir menangis.
“Aku udah bilang kita pulang kampung aja. Kenapa, sih, kamu selalu milih kabur dari masalah?” Setelah sekian lama diam di perjalanan, Oky akhirnya bersuara.
“Aku udah bilang enggak mungkin buat balik ke kampung. Ayahku bakal ngamuk. Aku enggak pernah pulang ke rumah karena masalahku belum selesai. Masa aku harus pulang bawa masalah baru. 700 juta itu enggak sedikit, Ky.” Sully setengah mencampakkan koper yang sejak tadi dipegangnya. Tubuhnya benar-benar letih dan pikirannya kalut luar biasa. Ia menyandarkan punggungnya di gapura dan mulai menangis terisak-isak.
“Sebentar ... sabar. Gimana kalau malam ini kita nginep di rumah ibadah aja? Pasti gratis. Rumah ibadah selalu terbuka bagi orang-orang yang membutuhkannya.” Oky menepuk-nepuk bahu Sully seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Lalu? Kita jalan lagi berkilo-kilo meter nyari rumah ibadah? Aku enggak sanggup. Ya, udah. Kita tidur di tepi jalan aja. Atau numpang di teras rumah Mbak yang tadi.” Tampilan Sully benar-benar berantakan, tapi bulu mata ekstensinya masih terpasang dengan bagus. Rambutnya yang diwarnai cokelat muda, tergulung dan dijepit tinggi di kepalanya. “Aku takut dengan polisi-polisi itu. Aku butuh waktu tenang buat nyari kabar Mbak Kokom. Aku yakin bisa menyelesaikan masalah ini.” Kini Sully berjongkok meletakkan sandalnya dan menunduk terisak-isak.
Beberapa saat yang lalu tak jauh dari tempat Sully dan Oky berada.
Wira tengah membayangkan macam-macam skenario di kepala sejak menginjakkan kaki kembali ke desa kelahirannya. Percakapan dengan bapaknya sebulan yang lalu terngiang-ngiang di kepala.
“Gus, kamu harus pulang ke desa. Bapak minta bantuan kamu soal kebun aren. Di sini sedang banyak masalah. Tengkulak makin berkuasa. Mbak-mu juga dalam masalah. Gaji yang kamu bilang besar itu, nyatanya enggak bikin Bapak senang. Bapak di sini sendirian. Melihat dengan mata kepala sendiri kalau desa ini perlahan hancur digerogoti. Ingat tujuan kamu kuliah ke kota.”
“Mbak Ajeng terjerat tengkulak juga? Kok, bisa, Pak? Apa Bapak enggak ikut mengawasi kebun yang sudah diserahkan ke Mbak Ajeng? Apa Mbak Ajeng punya hutang? Terjerat hutang besar dengan tengkulak itu nyaris enggak ada jalan keluar, Pak.”
“Kenapa nyaris enggak ada jalan keluar? Salah satu jalan keluarnya kamu bisa menikahi Ratna Manikam. Dia anak tengkulak paling berpengaruh. Bapaknya berperan penting di kalangan petani aren. Ratna juga cukup manis.”
“Ratna? Enggak mungkin, Pak. Bisa jadi dia sudah punya pacar. Lagipula….”
“Gus, Bapak bisa memastikan semua gadis di desa ini enggak akan ada yang menolak kamu. Siapa yang enggak mau jadi istri Bagus Prawira? Kamu bisa menggantikan posisi Bapak Ratna dan pelan-pelan mengurus tanah Mbak-mu. Apalagi Ratna anak sulung. Tiga bersaudara perempuan semua. Kamu enggak punya saingan berat untuk sekarang. Urus pengunduran diri kamu secepatnya. Bapak tunggu di rumah. Selain itu … kehidupan petani-petani kecil di desa ini bergantung di tangan kamu, Bagus Prawira. Kamu putra tunggal dari Pak Gagah Sahari yang berjasa membangun Desa Girilayang puluhan tahun lalu. Meski ibumu sudah enggak ada di dunia ini. Dia pasti bisa melihat usaha kamu.”
“Apa enggak ada cara lain membangun desa selain menikahi Ratna? Bapak ada-ada aja.”
“Mungkin hidup Bapak tinggal hitungan hari lagi. Dulu Bapak selalu sesumbar kalau kamu pasti beda dengan anak-anak lain. Gus ... ini desa kita. Tanah kelahiran kita, Gus. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Jadi ... Bapak tunggu segera. Jangan sampai kamu pulang ke sini tinggal ngelayat Bapak ke kuburan dan menanam cangkokan pohon kamboja.”
Telepon dari bapaknya itu membuat kalut, kesal dan setengah putus asa. Semua alasan yang dilontarkannya tak digubris. Bagaimana ia bisa menikahi Ratna begitu saja?
Beberapa bulan terakhir Wira sering bertukar pandang dengan Ira. Gadis sederhana yang merupakan anak dari wanita tua asisten rumah tangga di rumah dinas perkebunan kelapa sawit. Angan-angannya ingin langsung mempersunting Ira sudah terbersit di benaknya. Namun, kini ia harus mengikuti perintah bapaknya untuk kembali ke kampung halaman sejenak.
Sepanjang jalan ia sibuk memikirkan alasan untuk menghindar dari pernikahan itu. Rasanya alasan bahwa ia tidak menyukai Ratna harusnya bisa diterima. Siapa lagi yang menjodoh-jodohkan anaknya di zaman modern? Meski mereka tinggal di desa yang cukup jauh di pelosok, bukan berarti mereka masih mengikuti tradisi soal jodoh menjodohkan itu.
Sejak dulu, Wira menyukai wanita sederhana. Berpenampilan apa adanya dan minim sentuhan makeup. Ia menyukai gadis keibuan. Yang pintar memasak dan merawat rumah. Di usianya yang menginjak dua puluh delapan tahun, ia sudah lama membayangkan akan memperistri seorang wanita seperti itu. Dan semua hal yang diinginkannya itu, terlihat pada sosok Ira. Baginya, Ira adalah sosok wanita sempurna untuk dijadikan seorang istri yang bisa mendampingi dan sesuai untuk kehidupan sederhananya.
Di kegelapan malam, ketika langkah kaki Wira semakin mendekati gapura pintu masuk desa, telinganya menangkap percakapan dua orang wanita. Jalanan yang sedikit menikung beberapa meter dari gapura itu, membuat Wira bisa berdiri sejenak mendengarkan percakapan yang harusnya tidak ia dengar.
“Butuh tempat bermalam?” bisik Wira dalam kegelapan. Beberapa detik terdiam, matanya membulat karena ide baru yang didapatnya. Ia meneruskan langkah kaki mendekati gapura. Dua wanita yang dilihatnya dari kegelapan tadi bukan makhluk halus yang membutuhkan tumpangan. Benar-benar dua orang wanita yang penampilannya bertolak belakang.
“Maaf menyela pembicaraannya …. Mbak berdua nyari tempat tinggal di desa ini?” Wira sudah mengumpulkan semua keberaniannya saat melontarkan pertanyaan itu. Ini adalah langkah di tengah kebingungannya. Jika tawarannya ditolak, sepertinya ia harus bertengkar atau pasrah dengan permintaan bapaknya.
Dua orang wanita menatap terkejut ke arahnya. Seorang wanita bertubuh gemuk dan penampilannya jauh dari kesan feminin. Memakai jeans dan kaus oblong, juga sepatu olahraga. Sedangkan satunya bertubuh proporsional, tidak terlalu tinggi, tapi tubuhnya memang ideal. Gayanya bisa dibilang sangat feminin. Rambutnya diwarnai, bulu matanya tebal dan wajahnya mengilap di bawah cahaya bulan. Mirip penampilan artis ibukota. Cukup cantik dan ... terlalu kota. Wanita itu berdiri sambil memegang sepasang sandal tali bertumit tebal. Kedua wanita itu masih menatapnya dengan sorot terkejut, namun dengan cepat berganti menjadi sorot kelegaan.
Sully dan Oky saling pandang. Mereka sepertinya tidak salah dengar. Pria di depan mereka yang baru muncul begitu saja dari kegelapan tiba-tiba menanyakan sesuatu yang menjadi masalah pokok mereka malam itu. Terlihat jelas kalau pria di depan mereka sudah mendengar sebagian besar pembicaraan mereka.
“Iya...iya. Kita berdua memang sedang cari tempat tinggal di desa ini. Apa ada rumah murah yang bisa dikontrak? Mas-nya bisa bantu?” tanya Oky. Sepertinya mulai ada titik terang dari masalah mereka.
“Kalau rumah yang dikontrakkan enggak ada. Tapi ... saya bisa ajak tinggal di rumah saya sampai kapan pun Mbak berdua mau. Dijamin aman dan menenangkan. Di rumah cuma ada Bapak saya yang sudah sepuh. Ada dua kamar yang enggak digunakan. Tapi dengan satu syarat dan kita perlu membuat kesepakatan,” beber Wira, memberanikan diri. Ia menyadari kalau mereka sama terpojoknya saat itu.
“Apa itu?” tanya Sully dan Oky nyaris serentak.
“Saya harus pulang dengan skenario membawa seorang istri. Mmm...seorang istri. Enggak mungkin dua.” Wira memandang Sully dan Oky bergantian.
To Be Continued
Beberapa detik Sully dan Oky terdiam saling pandang. Sully lalu menghapus air matanya dan berdiri menatap Wira. “Maksudnya gimana, Mas?” tanya Sully dengan suara sengau. Sisa-sisa air mata masih terlihat di bulu matanya. “Begini, Mbak…siapa namanya?” Wira memandang Sully. “Saya Sully, ini teman saya namanya Oky.” Sully memandang Oky sebagai penunjuk bagi Wira. “Baik, Mbak Sully dan Mbak Oky … saya jelaskan garis besarnya karena ini sudah larut malam. Kita sama-sama capek dan saya juga ada masalah yang bikin pikiran saya benar-benar ruwet.” Wira menarik napas panjang dan berjalan mendekati dua wanita di dekat gapura. Sully dan Oky merapatkan tubuh mereka. Tangan keduanya saling mencari dan menggenggam. Isi pikiran keduanya sama. Pria di hadapan mereka bisa saja orang jahat yang berniat merampok. Wira maju selangkah, Sully dan Oky mundur satu langkah. Wira mengernyit, lalu maju selangkah lagi. Namun, Sully dan Oky kembali mundur selangkah. Akhirnya Wira berhenti untuk menarik dan me
Sully merasa tangannya gemetar karena teriakan pria tua di ambang pintu yang menatapnya tajam. Perkataan Wira barusan membuat bapaknya murka. Detik itu ia menyesali usul konyol soal bersandiwara menjadi istri Wira. Angan-angan bisa tidur meluruskan kaki malam itu pun, lenyap seketika.“Jangan sampai suara Bapak membangunkan tetangga,” ucap Wira pelan. Langsung mengingatkan bapaknya akan hal yang menjadi momok di desa. Yaitu, menjadi gunjingan.Sully menunduk untuk mengibas betisnya yang baru digigit nyamuk. Lalu, satu kakinya terangkat untuk menggaruk betisnya. Ingin rasanya ia meminta kedua anak dan bapak itu berdamai setidaknya untuk malam itu saja. Ia benar-benar sudah sangat lelah dan mengantuk.“Masuk,” pinta pria tua di depan pintu. Menepikan tubuhnya dengan kedua tangan terkepal di belakang.“Ayo, masuk. Kamu pasti udah capek,” kata Wira, mendatangi Sully dan memegang lengan wanita itu. Sejenak ia lupa bahwa satu tangan Oky masih terkait ke lengan Sully. Lagi-lagi Oky mendengus
Wira duduk mencerna perkataan bapaknya. Dari sudut mata ia melihat Sully yang sedang memperhatikannya tak berkedip. Sedikit risi. Mau apa wanita menor itu memperhatikannya? Wira yakin kalau Sully tidak mendengar semua ucapan bapaknya malam itu. “Bapak sudah ngomong ke orang tua Ratna kalau kamu bakal pulang kampung. Memang Bapak belum ada ngomong soal bakal melamar Ratna. Tapi gadis itu duduk meladeni Bapak dengan sangat sopan. Kalau kamu tiba-tiba pulang bawa istri, bisa-bisa enggak bakal diterima, Gus. Paham warga kampung soal orang kota, apalagi wanita yang….” Pak Gagah memandang Sully sekilas, “yang dandanannya begini pikirannya sudah ke mana-mana. Bapak sendiri enggak yakin kamu memang sudah menikah. Bisa-bisa kamu cuma kumpul kebo. Ketemu dengan istrimu di mana?” Pak Gagah memandang Wira dengan sorot curiga. “Pak,” tegur Wira pelan. Pak Gagah seketika terdiam dan mengerling Sully yang masih memperhatikan Wira. Perhatian pria tua itu kemudian berpindah pada Sully. Dan benar sa
Sebegitu pintu kamar Wira tertutup, Sully langsung menghempaskan tangan Wira yang menggandengnya. “Udah berapa kali hari ini kamu pegang-pegang aku? Ngambil kesempatan aja,” sergah Sully. Wira menaruh ranselnya di meja dan membuka jaket. “Jangan keluar dulu. Bapak masih ngeteh di dapur. Saya mau ke kamar mandi di belakang. Mau cuci muka dan bersih-bersih sedikit. Kalau Mbak Sulis mau ikutan biar sekalian. Soalnya kamar mandinya di luar.” “Jadi, sampai jam berapa aku di kamar kamu?” Sully masih berdiri di balik pintu. “Terserah Mbak sampai jam berapa. Yang penting tunggu Bapak balik ke kamarnya,” kata Wira, membuka lemari pakaian dan mengambil handuk dari dalam. Sully menunduk melihat kakinya yang kotor terkena becek. Sejak memasuki jalanan yang mulai berlubang di kampung itu, ia memang sudah melepaskan sandal bertali bertapak tebal yang dikenakannya. Dan mendengar soal kamar mandi, hasrat buang air kecilnya muncul tiba-tiba. Sully berdiri merapatkan kakinya. Huru-hara sejak siang
“Aku belum selesai pakai baju. Kamu jangan gitu. Tunggu di luar sebentar,” ucap Sully pelan. Nyalinya mulai ciut melihat tatapan Wira yang sangat serius memandangnya. “Jangan lama-lama,” pesan Wira lagi saat melangkah keluar. Tak sampai sepuluh menit berselang, Sully sudah keluar kamar mandi dan berganti dengan sepasang piyama sutra celana pendek. “Mbak Sulis bisa kembali lebih dulu ke rumah. Di luar banyak nyamuk,” kata Wira dari dalam kamar mandi. Sully berdiri membelakangi pintu kamar mandi. Perhatiannya kini berpindah pada bagian sekitar kamar mandi yang awal tadi tak begitu diperhatikannya. Di dekat kamar mandi itu ada pohon nangka. Buahnya besar-besar dan dua diantaranya ditutup karung putih. Dari tempatnya berdiri nangka tertutup karung itu membentuk rupa yang menyeramkan di kegelapan Sully merapatkan tubuhnya ke pintu. “Mas Wira … jangan lama-lama. Aku takut,” ucap Sully. Pandangannya kembali menyapu sekeliling. Bagian belakang rumah Wira benar-benar dikelilingi kebun de
Sully menunduk menatap ponsel yang dipenuhi puluhan notifikasi dari orang-orang yang mencarinya. Juga balasan dari Bu Kapolda yang langsung membalas pesannya lagi. ‘Kalau bisa jangan terlalu lama ya, Sul. Kamu juga jangan bawa-bawa soal masalah ini ke dalam konten kamu. Saya enggak mau orang-orang tahu soal masalah ini. Demi nama baik suami saya.’ Sully menatap nanar balasan pesan itu. Ia lalu menggulir pesan yang dikirimkannya ke distributor tas bernama ‘Mbak Kokom’ yang dikiriminya pesan bertubi-tubi namun hingga detik itu hanya mendapat tanda centang satu. “Mbak Sulis …,” panggil Wira. “Ha?” Sully mendongak menatap Wira. Tak sadar jarak mereka kini tak lebih dari setengah meter. Dalam terangnya lampu kamar, kali itu Sully bisa memperhatikan wajah Wira dengan jelas. Wajahnya lebih segar karena rambut lurusnya yang basah. Saat itu Wira menatapnya dengan sangat serius. “Sebentar … aku cek pesan-pesanku dulu,” kata Sully sedikit mengulur waktu. Jajaran pesan-pesan di ponselnya tak
Tak tahu pukul berapa saat itu, Sully terbangun karena suara ketukan di pintu kamar. Tak ada jam di dinding kamar, ponsel yang digenggamnya saat tidur pun padam karena tidak diisi baterai selama seharian penuh kemarin. Setengah menyeret langkahnya, Sully mendekati pintu dan membukanya. “Ada apa? Aku masih ngantuk, Ky. Di sini dingin enggak perlu pakai AC.” Sully mendekap kedua lengannya. “Ehem!” Suara Pak Gagah yang berdeham membuat mata Sully melebar. “Sudah bangun? Ada yang mau bertemu kamu,” seru Pak Gagah dari meja makan. Sully membekap mulutnya dan mengangkat alis sebagai isyarat pertanyaan buat Oky. “Saya permisi buat ngomong sebentar dengan Sully, Pak,” kata Oky, mendorong Sully masuk ke kamar tanpa menunggu persetujuan Pak Gagah. “Itu ada ibu-ibu mau ngapain? Ini jam berapa? Masih pagi, kan?” tanya Sully kebingungan. “Kamu kemarin malam ada ngomong apa ke Mas Wira? Itu bapaknya Mas Wira datang bawa petugas desa buat urusan catatan sipil. Dua ibu-ibu itu mau ngukur size
Malam sebelumnya Wira tak bisa tidur. Sejak awal bertemu dengan dua orang wanita di gapura pintu masuk desa, perasaannya sudah campur aduk. Rasanya ia hanya menggunakan sekelebat keberanian mengutarakan rencananya, dan dalam sekejab saja seorang wanita sedang tidur di ranjangnya. Wira menyugar rambut dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bayangan wajah Ira melintas di benaknya. Sedikit menyesal bahwa rencana yang diutarakannya sebelum tiba di rumah terlalu impulsif. Terlalu buru-buru. Terlalu asal-asalan.Sully yang berbaring menghadap dinding dan memunggungi Wira sudah terlelap dari tadi. Begitu nyenyak dengan suara napas teratur yang akrab dengan istilah tidur kelelahan. Sesekali tangan Sully mengusap-usap betisnya. Lalu, tiba-tiba satu tangan Sully terangkat menutup kepala.Wira terkesiap menatap punggung Sully. Apa semua wanita tidur segaduh itu? Dia beringsut menjauh hingga mencapai tepi ranjangnya. Sedikit khawatir kalau Sully tiba-tiba berbalik dan menyentuhnya. Wi