Share

3. Ketemu Mas-Mas

Oky mengabaikan Sully yang terlihat panik. “Tapi, rumah Bu Tarmiah masih di sini, kan, Mbak? Mungkin Bu Tarmiah ada anaknya,” ucap Oky penuh harap.

“Ada. Anak Bu Tarmiah satu orang laki-laki. Baru menikah bulan lalu. Sekarang rumah Bu Tarmiah ditinggali anaknya yang pengantin baru itu.” Wanita itu berbicara dengan pintu yang sudah terbuka lebih lebar.

Oky menggeleng samar. Rasanya memang tak mungkin menumpang di rumah orang yang sudah tidak ada lagi hubungannya dengan kenalan mereka. Pengantin baru pula. “Terima kasih, kita pamit dulu. Mau menyapa anak Bu Tarmiah ke rumahnya.” Oky berjalan mendekari Sully yang berdiri di dekat gapura desa.

“Ky, kok, Bu Tarmiah meninggal, sih?” Wajah Sully terlihat makin putus asa.

“Enggak tahu. Iseng kali,” kesal Oky, meletakkan bawaannya di dekat Sully.

“Jadi, sekarang kita bermalam di mana, Oky ....” Sully hampir menangis.

“Aku udah bilang kita pulang kampung aja. Kenapa, sih, kamu selalu milih kabur dari masalah?” Setelah sekian lama diam di perjalanan, Oky akhirnya bersuara.

“Aku udah bilang enggak mungkin buat balik ke kampung. Ayahku bakal ngamuk. Aku enggak pernah pulang ke rumah karena masalahku belum selesai. Masa aku harus pulang bawa masalah baru. 700 juta itu enggak sedikit, Ky.” Sully setengah mencampakkan koper yang sejak tadi dipegangnya. Tubuhnya benar-benar letih dan pikirannya kalut luar biasa. Ia menyandarkan punggungnya di gapura dan mulai menangis terisak-isak.

“Sebentar ... sabar. Gimana kalau malam ini kita nginep di rumah ibadah aja? Pasti gratis. Rumah ibadah selalu terbuka bagi orang-orang yang membutuhkannya.” Oky menepuk-nepuk bahu Sully seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Lalu? Kita jalan lagi berkilo-kilo meter nyari rumah ibadah? Aku enggak sanggup. Ya, udah. Kita tidur di tepi jalan aja. Atau numpang di teras rumah Mbak yang tadi.” Tampilan Sully benar-benar berantakan, tapi bulu mata ekstensinya masih terpasang dengan bagus. Rambutnya yang diwarnai cokelat muda, tergulung dan dijepit tinggi di kepalanya. “Aku takut dengan polisi-polisi itu. Aku butuh waktu tenang buat nyari kabar Mbak Kokom. Aku yakin bisa menyelesaikan masalah ini.” Kini Sully berjongkok meletakkan sandalnya dan menunduk terisak-isak.

Beberapa saat yang lalu tak jauh dari tempat Sully dan Oky berada.

Wira tengah membayangkan macam-macam skenario di kepala sejak menginjakkan kaki kembali ke desa kelahirannya. Percakapan dengan bapaknya sebulan yang lalu terngiang-ngiang di kepala.

“Gus, kamu harus pulang ke desa. Bapak minta bantuan kamu soal kebun aren. Di sini sedang banyak masalah. Tengkulak makin berkuasa. Mbak-mu juga dalam masalah. Gaji yang kamu bilang besar itu, nyatanya enggak bikin Bapak senang. Bapak di sini sendirian. Melihat dengan mata kepala sendiri kalau desa ini perlahan hancur digerogoti. Ingat tujuan kamu kuliah ke kota.”

“Mbak Ajeng terjerat tengkulak juga? Kok, bisa, Pak? Apa Bapak enggak ikut mengawasi kebun yang sudah diserahkan ke Mbak Ajeng? Apa Mbak Ajeng punya hutang? Terjerat hutang besar dengan tengkulak itu nyaris enggak ada jalan keluar, Pak.”

“Kenapa nyaris enggak ada jalan keluar? Salah satu jalan keluarnya kamu bisa menikahi Ratna Manikam. Dia anak tengkulak paling berpengaruh. Bapaknya berperan penting di kalangan petani aren. Ratna juga cukup manis.”

“Ratna? Enggak mungkin, Pak. Bisa jadi dia sudah punya pacar. Lagipula….”

“Gus, Bapak bisa memastikan semua gadis di desa ini enggak akan ada yang menolak kamu. Siapa yang enggak mau jadi istri Bagus Prawira? Kamu bisa menggantikan posisi Bapak Ratna dan pelan-pelan mengurus tanah Mbak-mu. Apalagi Ratna anak sulung. Tiga bersaudara perempuan semua. Kamu enggak punya saingan berat untuk sekarang. Urus pengunduran diri kamu secepatnya. Bapak tunggu di rumah. Selain itu … kehidupan petani-petani kecil di desa ini bergantung di tangan kamu, Bagus Prawira. Kamu putra tunggal dari Pak Gagah Sahari yang berjasa membangun Desa Girilayang puluhan tahun lalu. Meski ibumu sudah enggak ada di dunia ini. Dia pasti bisa melihat usaha kamu.”

“Apa enggak ada cara lain membangun desa selain menikahi Ratna? Bapak ada-ada aja.”

“Mungkin hidup Bapak tinggal hitungan hari lagi. Dulu Bapak selalu sesumbar kalau kamu pasti beda dengan anak-anak lain. Gus ... ini desa kita. Tanah kelahiran kita, Gus. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Jadi ... Bapak tunggu segera. Jangan sampai kamu pulang ke sini tinggal ngelayat Bapak ke kuburan dan menanam cangkokan pohon kamboja.”

Telepon dari bapaknya itu membuat kalut, kesal dan setengah putus asa. Semua alasan yang dilontarkannya tak digubris. Bagaimana ia bisa menikahi Ratna begitu saja?

Beberapa bulan terakhir Wira sering bertukar pandang dengan Ira. Gadis sederhana yang merupakan anak dari wanita tua asisten rumah tangga di rumah dinas perkebunan kelapa sawit. Angan-angannya ingin langsung mempersunting Ira sudah terbersit di benaknya. Namun, kini ia harus mengikuti perintah bapaknya untuk kembali ke kampung halaman sejenak.

Sepanjang jalan ia sibuk memikirkan alasan untuk menghindar dari pernikahan itu. Rasanya alasan bahwa ia tidak menyukai Ratna harusnya bisa diterima. Siapa lagi yang menjodoh-jodohkan anaknya di zaman modern? Meski mereka tinggal di desa yang cukup jauh di pelosok, bukan berarti mereka masih mengikuti tradisi soal jodoh menjodohkan itu.

Sejak dulu, Wira menyukai wanita sederhana. Berpenampilan apa adanya dan minim sentuhan makeup. Ia menyukai gadis keibuan. Yang pintar memasak dan merawat rumah. Di usianya yang menginjak dua puluh delapan tahun, ia sudah lama membayangkan akan memperistri seorang wanita seperti itu. Dan semua hal yang diinginkannya itu, terlihat pada sosok Ira. Baginya, Ira adalah sosok wanita sempurna untuk dijadikan seorang istri yang bisa mendampingi dan sesuai untuk kehidupan sederhananya.

Di kegelapan malam, ketika langkah kaki Wira semakin mendekati gapura pintu masuk desa, telinganya menangkap percakapan dua orang wanita. Jalanan yang sedikit menikung beberapa meter dari gapura itu, membuat Wira bisa berdiri sejenak mendengarkan percakapan yang harusnya tidak ia dengar.

“Butuh tempat bermalam?” bisik Wira dalam kegelapan. Beberapa detik terdiam, matanya membulat karena ide baru yang didapatnya. Ia meneruskan langkah kaki mendekati gapura. Dua wanita yang dilihatnya dari kegelapan tadi bukan makhluk halus yang membutuhkan tumpangan. Benar-benar dua orang wanita yang penampilannya bertolak belakang.

“Maaf menyela pembicaraannya …. Mbak berdua nyari tempat tinggal di desa ini?” Wira sudah mengumpulkan semua keberaniannya saat melontarkan pertanyaan itu. Ini adalah langkah di tengah kebingungannya. Jika tawarannya ditolak, sepertinya ia harus bertengkar atau pasrah dengan permintaan bapaknya.

Dua orang wanita menatap terkejut ke arahnya. Seorang wanita bertubuh gemuk dan penampilannya jauh dari kesan feminin. Memakai jeans dan kaus oblong, juga sepatu olahraga. Sedangkan satunya bertubuh proporsional, tidak terlalu tinggi, tapi tubuhnya memang ideal. Gayanya bisa dibilang sangat feminin. Rambutnya diwarnai, bulu matanya tebal dan wajahnya mengilap di bawah cahaya bulan. Mirip penampilan artis ibukota. Cukup cantik dan ... terlalu kota. Wanita itu berdiri sambil memegang sepasang sandal tali bertumit tebal. Kedua wanita itu masih menatapnya dengan sorot terkejut, namun dengan cepat berganti menjadi sorot kelegaan.

Sully dan Oky saling pandang. Mereka sepertinya tidak salah dengar. Pria di depan mereka yang baru muncul begitu saja dari kegelapan tiba-tiba menanyakan sesuatu yang menjadi masalah pokok mereka malam itu. Terlihat jelas kalau pria di depan mereka sudah mendengar sebagian besar pembicaraan mereka.

“Iya...iya. Kita berdua memang sedang cari tempat tinggal di desa ini. Apa ada rumah murah yang bisa dikontrak? Mas-nya bisa bantu?” tanya Oky. Sepertinya mulai ada titik terang dari masalah mereka.

“Kalau rumah yang dikontrakkan enggak ada. Tapi ... saya bisa ajak tinggal di rumah saya sampai kapan pun Mbak berdua mau. Dijamin aman dan menenangkan. Di rumah cuma ada Bapak saya yang sudah sepuh. Ada dua kamar yang enggak digunakan. Tapi dengan satu syarat dan kita perlu membuat kesepakatan,” beber Wira, memberanikan diri. Ia menyadari kalau mereka sama terpojoknya saat itu.

“Apa itu?” tanya Sully dan Oky nyaris serentak.

“Saya harus pulang dengan skenario membawa seorang istri. Mmm...seorang istri. Enggak mungkin dua.” Wira memandang Sully dan Oky bergantian.

To Be Continued

Komen (27)
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
loohhhh...aq scroll kebawah koq ga ada komentar ku setahun yang lalu
goodnovel comment avatar
Minthil She Judhezt
Kesomplakan Author ternyata masih HQQ
goodnovel comment avatar
Mardiati Badri
baru mulai baca, baru nemu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status