Share

4. Mendadak Punya Mertua

Beberapa detik Sully dan Oky terdiam saling pandang. Sully lalu menghapus air matanya dan berdiri menatap Wira. “Maksudnya gimana, Mas?” tanya Sully dengan suara sengau. Sisa-sisa air mata masih terlihat di bulu matanya.

“Begini, Mbak…siapa namanya?” Wira memandang Sully.

“Saya Sully, ini teman saya namanya Oky.” Sully memandang Oky sebagai penunjuk bagi Wira.

“Baik, Mbak Sully dan Mbak Oky … saya jelaskan garis besarnya karena ini sudah larut malam. Kita sama-sama capek dan saya juga ada masalah yang bikin pikiran saya benar-benar ruwet.” Wira menarik napas panjang dan berjalan mendekati dua wanita di dekat gapura.

Sully dan Oky merapatkan tubuh mereka. Tangan keduanya saling mencari dan menggenggam. Isi pikiran keduanya sama. Pria di hadapan mereka bisa saja orang jahat yang berniat merampok.

Wira maju selangkah, Sully dan Oky mundur satu langkah. Wira mengernyit, lalu maju selangkah lagi. Namun, Sully dan Oky kembali mundur selangkah. Akhirnya Wira berhenti untuk menarik dan menghela napas panjang lagi.

“Kalau saya maju dan mbak-mbaknya terus mundur. Kita bisa sampai pagi begini terus. Jangan curiga berlebihan. Saya penduduk Desa Girilayang yang cukup terpandang. Buyut saya adalah orang yang pertama kali tinggal dan membangun desa ini. Saya bukan perampok. Kalau mau ngerampok saya enggak perlu ngomong berbelit-belit.” Wira mengomel dan rautnya berubah masam.

“Iya, Mas. Jangan tersinggung. Namanya juga kita pendatang di sini. Hati-hati itu wajar. Bisa dijelaskan lagi penawaran yang tadi?” Sully menepis tangan Oky yang menjawilnya di belakang tubuh.

Wajah Wira masih datar memandang Sully. “Saya jelasin sekali lagi. Karena suatu hal yang mendesak, saya diminta pulang dan menikah dengan putri sulung salah satu tengkulak paling kaya di desa ini. Saya merasa itu bukan jalan keluar yang baik. Saya sudah menolak, tapi Bapak saya punya dalih lain. Mungkin karena saya memang belum….” Wira menggeleng. “Pokoknya saya perlu alasan agar tidak diminta menikah dengan anak tengkulak. Saya sedang dalam tahap pendekatan pada seorang gadis sederhana yang tinggal di pulau seberang.”

“Jadi? Mas perlu seorang istri untuk dibawa pulang dan dijadikan alasan?” tanya Sully.

Wira mengangguk. “Bapak saya sudah sepuh. Mungkin awalnya beliau pasti marah karena saya menikah tidak minta izin. Tapi pasti akhirnya menerima. Mbaknya bisa tinggal di kamar satunya berdua. Jangan khawatir, dua kamar itu letaknya di belakang. Bapak saya enggak melihat ke mana kita tidur.”

“Terus...kalau akhirnya saya dan teman saya harus balik lagi ke kota asal kita, gimana? Apa Bapak Mas ini enggak marah atau gimana?” Sully melepaskan tangan Oky. Ia mulai tertarik dengan penuturan Wira.

“Banyak alasan. Istri tidak betah, beda visi misi dan banyak lagi. Alasan itu selalu bisa dicari kalau dibutuhkan.” Kali ini Wira telah mengurai wajah kesalnya. Berganti dengan raut serius. “Dan...kalau boleh tau, Mbak berdua ini kenapa bisa sampai di sini? Apa sedang jadi buronan? Setidaknya saya harus tahu sedang menampung siapa di rumah orang tua saya.” Gantian Wira yang melontarkan tatapan curiga.

Sully bertukar pandang dengan Oky. Sedikit gelisah saat Wira menyebut soal buronan. Ia sendiri memang merasa menjadi seorang buronan saat itu. “Saya bukan buronan dan saya enggak bisa memberitahu alasan pribadi saya kenapa tiba di desa ini.” Sully melemparkan tatapan tajamnya pada Wira.

“Pekerjaan Mbak?” tanya Wira.

“Saya selebgram. Tahu selebgram, kan? Biasa saya bikin konten makeup dan tips-tips perawatan kulit. Saya biasa terima endorse dari produk-produk yang saya promosikan. Beberapa bulan belakangan ini saya mulai merambah ke bisnis tas. Bisnis itu yang membawa saya sampai ke sini. Cukup segitu aja info dari saya.” Sully memandang Wira dengan sorot percaya diri. Namun, Wira bergeming dengan alis mengernyit. “Kalau enggak percaya cari aja di Pastagram. Cari akun bernama Sully under score...garis bawah, maksud saya Sully terus garis bawah, terus Shiny. Jadi, Sully Shiny. Itu nama akun saya.” Sully menarik napas puas memandang Wira.

“Saya tau arti under score itu,” sahut Wira datar.

“Oh ... maaf,” gumam Sully.

“Kalau gitu bukan buronan, kan?”

“Kami memang punya masalah. Tapi kami bukan buronan. Kami cuma perlu tempat tinggal sementara,” jawab Sully.

“Oke, kalau gitu … berhubung sudah tengah malam, kita langsung ke rumah saya aja.” Wira mengangkat bawaannya dan melangkah mendekati gapura.

“Eh, tunggu...tunggu. Mas! Mas! Jadi, siapa yang dapat peran sebagai istri Mas?” Sully panik dengan skenario yang belum jelas saat itu. Membayangkan bertemu dengan sosok sepuh yang tinggal di desa, pasti pertanyaannya akan sangat banyak.

Wira memutar tubuhnya memandang Sully. “Yang jadi istri saya? Ya, Mbak. Yang sedang menenteng sandal. Yang rambutnya diwarnai. Orang desa enggak akan ada yang percaya kalau saya menikahi Mbak yang satunya. Ayo, cepat sedikit,” ujar Wira.

Oky merapatkan rahang menatap punggung Wira. “Ni laki-laki kampung kok lama-lama ngeselin, ya.”

“Udah, sabar. Kesalnya besok aja. Malam ini kita tidur dulu,” ucap Sully pada Oky, lalu mengikuti langkah Wira di depan mereka.

“Sul, kamu yakin bakal ngikutin skenario Mas itu? Dari tadi kita belum kenalan … kita belum nanya nama lengkapnya,” bisik Oky lagi.

“Nanti kalau rumahnya udah keliatan, kita tanya nama lengkapnya dia.”

“Kamu enggak mikirin efek panjangnya apa? Kamu tuh selalu begini. Kalau ada apa-apa enggak mau berunding. Semua-semua ngambil keputusan sendiri. Percuma aku jadi manajer," sergah Oky.

Sully menghentikan langkah dan melirik Wira yang semakin jauh di depan mereka. Sepertinya pria itu tidak peduli bagaimana cara mereka mengikuti langkah kakinya yang panjang-panjang.

“Ky, kita udah nyampe sini. Semua kejadian dan apa yang kamu lewati hari ini semua karena aku. Aku cuma mau bertanggung jawab.” Sully melanjutkan langkah kakinya.

“Aku udah saran ke kamu … kenapa enggak pulang ke rumah kamu aja, sih? Pulang ke kampung kita, Sul. Mustahil orang tua kamu bakal murka kalau anaknya kesulitan. Selama kamu keluar dari rumah, kamu enggak pernah menyulitkan orang tua. Terutama Ayah kamu. Kamu aman di sana,” tukas Oky.

“Aku? Aman? Kamu lupa apa yang dibilang ayahku sebelum aku pergi? Jangan kembali ke rumah kalau aku bawa masalah. Jadi selebgram aja udah aib buat keluargaku.”

“Ehem! Sudah selesai?” Wira menatap jengkel pada Sully dan Oky bergantian.

Sully ikut berdeham pelan, lalu menetralkan raut wajah. Untung pria yang mengajak mereka ke rumahnya cepat menengahi. Jika tidak, ia dan Oky pasti kembali terlibat adu mulut. Sejak meninggalkan apartemen siang tadi, tak terhitung berapa kali mereka berdebat hal yang itu-itu saja.

“Maaf, Mas. Kami berdua udah sama-sama capek. Oh, ya…nama lengkap Mas siapa? Nama panggilannya? Orang-orang sini manggil Mas dengan sebutan apa?” Benar kata Oky, setidaknya ia harus tahu nama lengkap pria yang akan berstatus sebagai suaminya beberapa waktu ke depan. Tidak lucu kalau bapaknya Wira bertanya, ia malah tak tahu apa-apa.

“Nama lengkap saya Bagus Prawira. Di desa ini saya dipanggil Wira. Tapi bapak saya memanggil dengan nama Bagus. Mungkin di telinganya memang lebih bagus kalau saya dipanggil Bagus,” ucap Wira dengan nada biasa. Wira berusaha menetralkan suasana dengan sedikit bercanda. Sayangnya candaan itu tidak berpengaruh terhadap siapa pun.

Jika dalam keadaan normal dan tak ada masalah, Sully dan Oky biasanya bertukar pandang, lalu tertawa. Malam itu, keduanya sama-sama ingin mengumpat Wira.

“Di rumah Mas Wira, cuma ada Bapak aja, kan? Enggak ada Ibu?” tanya Sully.

Wira memutar tubuh ke belakang dan melihat cahaya rumahnya sudah terlihat di kejauhan. “Iya, cuma Bapak aja. Ibu saya sudah lama meninggal. Mbak Sully enggak ada ibu mertua di desa ini,” jelas Wira.

Sully bergidik saat Wira mengatakan hal itu. Ibu mertua? Berpikir akan menjadi istri seorang pria dan tinggal seatap dengan mertua pun ia tak pernah. Lega dengan jawaban Wira, Sully mengangguk. Pantas saja Wira sedikit dengan enteng menyarankan solusi berpura-pura menjadi pasangan. Ternyata ibu pria itu sudah meninggal.

“Oke … enggak ada ibu mertua,” gumam Sully pada dirinya sendiri. “Oh, ya … bapaknya Mas Wira ini katanya orang terpandang, kan? Artinya saya enggak perlu jawab pertanyaan para tetangga? Enggak apa-apa kalau saya selalu di rumah…atau di kamar?”

“Enggak apa-apa. Untuk itu Mbak Sully dan Mbak….” Wira menatap Oky.

“Oky Jelita,” jawab Oky sedikit ketus.

“Mmm…Mbak Sully dan Mbak Oky Jeli … enggak usah khawatir. Kita adalah dua pihak yang akan melakukan pekerjaan masing-masing tanpa merepotkan satu sama lain. Kalau ada pertanyaan dari orang-orang, katakan untuk bertanya langsung ke saya. Setuju?”

Sully dan Oky mengangguk-angguk setuju dengan sangat cepat. Mereka lalu kembali mengikuti langkah kaki Wira.

“Ini rumah saya, Mbak. Jangan lupa ucapkan salam ke Bapak saya. Salim tangan dan letakkan di dahi. Di desa ini hal-hal begitu masih diperhatikan.” Wira membuka pagar kayu lebar-lebar.

“Silakan masuk.” Wira melangkah masuk ke halaman.

Suara derit pagar kayu dan desing jangkrik menyambut Sully di sana. Lampu teras berwarna kuning dengan dinding kayu dicat minyak berwarna hitam, membuat rumah itu lebih cocok dijadikan lokasi konten berbau alam gaib ketimbang konten kecantikan.

“Pak … ini Bagus,” seru Wira dari depan pintu. Sully dan Oky merapatkan tubuh mereka dan kembali saling menggenggam tangan.

Tak butuh waktu lama pintu rumah terbuka dan sosok pria tua kurus berwajah ketus muncul di ambang pintu.

“Akhirnya pulang juga. Sudah sebulan lebih ditunggu enggak ada kabar,” gerutu orang tua itu.

“Bapak sehat?” Wira meraih tangan bapaknya dan meletakkan di dahi.

“Sehat. Itu siapa?” Bapak Wira menggeser tubuh anaknya, lalu menunjuk Sully dan Oky dengan sebuah tongkat.

“Yang cantik itu … istri Bagus, Pak.”

“Istri? Jangan bercanda kamu!”

To Be Continued

Komen (21)
goodnovel comment avatar
Qurra A'yun
ada yg sama g kenapa pas baca kolom komentar ny muncul terus
goodnovel comment avatar
Ummi Wahyu
wkwk moga aja bapaknya nggak jantungan ...
goodnovel comment avatar
Ubaldus Pieter Adja Mossa
ceritanya boleh juga,jangan2 kisah nyata
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status