Beberapa detik Sully dan Oky terdiam saling pandang. Sully lalu menghapus air matanya dan berdiri menatap Wira. “Maksudnya gimana, Mas?” tanya Sully dengan suara sengau. Sisa-sisa air mata masih terlihat di bulu matanya.
“Begini, Mbak…siapa namanya?” Wira memandang Sully.
“Saya Sully, ini teman saya namanya Oky.” Sully memandang Oky sebagai penunjuk bagi Wira.
“Baik, Mbak Sully dan Mbak Oky … saya jelaskan garis besarnya karena ini sudah larut malam. Kita sama-sama capek dan saya juga ada masalah yang bikin pikiran saya benar-benar ruwet.” Wira menarik napas panjang dan berjalan mendekati dua wanita di dekat gapura.
Sully dan Oky merapatkan tubuh mereka. Tangan keduanya saling mencari dan menggenggam. Isi pikiran keduanya sama. Pria di hadapan mereka bisa saja orang jahat yang berniat merampok.
Wira maju selangkah, Sully dan Oky mundur satu langkah. Wira mengernyit, lalu maju selangkah lagi. Namun, Sully dan Oky kembali mundur selangkah. Akhirnya Wira berhenti untuk menarik dan menghela napas panjang lagi.
“Kalau saya maju dan mbak-mbaknya terus mundur. Kita bisa sampai pagi begini terus. Jangan curiga berlebihan. Saya penduduk Desa Girilayang yang cukup terpandang. Buyut saya adalah orang yang pertama kali tinggal dan membangun desa ini. Saya bukan perampok. Kalau mau ngerampok saya enggak perlu ngomong berbelit-belit.” Wira mengomel dan rautnya berubah masam.
“Iya, Mas. Jangan tersinggung. Namanya juga kita pendatang di sini. Hati-hati itu wajar. Bisa dijelaskan lagi penawaran yang tadi?” Sully menepis tangan Oky yang menjawilnya di belakang tubuh.
Wajah Wira masih datar memandang Sully. “Saya jelasin sekali lagi. Karena suatu hal yang mendesak, saya diminta pulang dan menikah dengan putri sulung salah satu tengkulak paling kaya di desa ini. Saya merasa itu bukan jalan keluar yang baik. Saya sudah menolak, tapi Bapak saya punya dalih lain. Mungkin karena saya memang belum….” Wira menggeleng. “Pokoknya saya perlu alasan agar tidak diminta menikah dengan anak tengkulak. Saya sedang dalam tahap pendekatan pada seorang gadis sederhana yang tinggal di pulau seberang.”
“Jadi? Mas perlu seorang istri untuk dibawa pulang dan dijadikan alasan?” tanya Sully.
Wira mengangguk. “Bapak saya sudah sepuh. Mungkin awalnya beliau pasti marah karena saya menikah tidak minta izin. Tapi pasti akhirnya menerima. Mbaknya bisa tinggal di kamar satunya berdua. Jangan khawatir, dua kamar itu letaknya di belakang. Bapak saya enggak melihat ke mana kita tidur.”
“Terus...kalau akhirnya saya dan teman saya harus balik lagi ke kota asal kita, gimana? Apa Bapak Mas ini enggak marah atau gimana?” Sully melepaskan tangan Oky. Ia mulai tertarik dengan penuturan Wira.
“Banyak alasan. Istri tidak betah, beda visi misi dan banyak lagi. Alasan itu selalu bisa dicari kalau dibutuhkan.” Kali ini Wira telah mengurai wajah kesalnya. Berganti dengan raut serius. “Dan...kalau boleh tau, Mbak berdua ini kenapa bisa sampai di sini? Apa sedang jadi buronan? Setidaknya saya harus tahu sedang menampung siapa di rumah orang tua saya.” Gantian Wira yang melontarkan tatapan curiga.
Sully bertukar pandang dengan Oky. Sedikit gelisah saat Wira menyebut soal buronan. Ia sendiri memang merasa menjadi seorang buronan saat itu. “Saya bukan buronan dan saya enggak bisa memberitahu alasan pribadi saya kenapa tiba di desa ini.” Sully melemparkan tatapan tajamnya pada Wira.
“Pekerjaan Mbak?” tanya Wira.
“Saya selebgram. Tahu selebgram, kan? Biasa saya bikin konten makeup dan tips-tips perawatan kulit. Saya biasa terima endorse dari produk-produk yang saya promosikan. Beberapa bulan belakangan ini saya mulai merambah ke bisnis tas. Bisnis itu yang membawa saya sampai ke sini. Cukup segitu aja info dari saya.” Sully memandang Wira dengan sorot percaya diri. Namun, Wira bergeming dengan alis mengernyit. “Kalau enggak percaya cari aja di Pastagram. Cari akun bernama Sully under score...garis bawah, maksud saya Sully terus garis bawah, terus Shiny. Jadi, Sully Shiny. Itu nama akun saya.” Sully menarik napas puas memandang Wira.
“Saya tau arti under score itu,” sahut Wira datar.
“Oh ... maaf,” gumam Sully.
“Kalau gitu bukan buronan, kan?”
“Kami memang punya masalah. Tapi kami bukan buronan. Kami cuma perlu tempat tinggal sementara,” jawab Sully.
“Oke, kalau gitu … berhubung sudah tengah malam, kita langsung ke rumah saya aja.” Wira mengangkat bawaannya dan melangkah mendekati gapura.
“Eh, tunggu...tunggu. Mas! Mas! Jadi, siapa yang dapat peran sebagai istri Mas?” Sully panik dengan skenario yang belum jelas saat itu. Membayangkan bertemu dengan sosok sepuh yang tinggal di desa, pasti pertanyaannya akan sangat banyak.
Wira memutar tubuhnya memandang Sully. “Yang jadi istri saya? Ya, Mbak. Yang sedang menenteng sandal. Yang rambutnya diwarnai. Orang desa enggak akan ada yang percaya kalau saya menikahi Mbak yang satunya. Ayo, cepat sedikit,” ujar Wira.
Oky merapatkan rahang menatap punggung Wira. “Ni laki-laki kampung kok lama-lama ngeselin, ya.”
“Udah, sabar. Kesalnya besok aja. Malam ini kita tidur dulu,” ucap Sully pada Oky, lalu mengikuti langkah Wira di depan mereka.
“Sul, kamu yakin bakal ngikutin skenario Mas itu? Dari tadi kita belum kenalan … kita belum nanya nama lengkapnya,” bisik Oky lagi.
“Nanti kalau rumahnya udah keliatan, kita tanya nama lengkapnya dia.”
“Kamu enggak mikirin efek panjangnya apa? Kamu tuh selalu begini. Kalau ada apa-apa enggak mau berunding. Semua-semua ngambil keputusan sendiri. Percuma aku jadi manajer," sergah Oky.
Sully menghentikan langkah dan melirik Wira yang semakin jauh di depan mereka. Sepertinya pria itu tidak peduli bagaimana cara mereka mengikuti langkah kakinya yang panjang-panjang.
“Ky, kita udah nyampe sini. Semua kejadian dan apa yang kamu lewati hari ini semua karena aku. Aku cuma mau bertanggung jawab.” Sully melanjutkan langkah kakinya.
“Aku udah saran ke kamu … kenapa enggak pulang ke rumah kamu aja, sih? Pulang ke kampung kita, Sul. Mustahil orang tua kamu bakal murka kalau anaknya kesulitan. Selama kamu keluar dari rumah, kamu enggak pernah menyulitkan orang tua. Terutama Ayah kamu. Kamu aman di sana,” tukas Oky.
“Aku? Aman? Kamu lupa apa yang dibilang ayahku sebelum aku pergi? Jangan kembali ke rumah kalau aku bawa masalah. Jadi selebgram aja udah aib buat keluargaku.”
“Ehem! Sudah selesai?” Wira menatap jengkel pada Sully dan Oky bergantian.
Sully ikut berdeham pelan, lalu menetralkan raut wajah. Untung pria yang mengajak mereka ke rumahnya cepat menengahi. Jika tidak, ia dan Oky pasti kembali terlibat adu mulut. Sejak meninggalkan apartemen siang tadi, tak terhitung berapa kali mereka berdebat hal yang itu-itu saja.
“Maaf, Mas. Kami berdua udah sama-sama capek. Oh, ya…nama lengkap Mas siapa? Nama panggilannya? Orang-orang sini manggil Mas dengan sebutan apa?” Benar kata Oky, setidaknya ia harus tahu nama lengkap pria yang akan berstatus sebagai suaminya beberapa waktu ke depan. Tidak lucu kalau bapaknya Wira bertanya, ia malah tak tahu apa-apa.
“Nama lengkap saya Bagus Prawira. Di desa ini saya dipanggil Wira. Tapi bapak saya memanggil dengan nama Bagus. Mungkin di telinganya memang lebih bagus kalau saya dipanggil Bagus,” ucap Wira dengan nada biasa. Wira berusaha menetralkan suasana dengan sedikit bercanda. Sayangnya candaan itu tidak berpengaruh terhadap siapa pun.
Jika dalam keadaan normal dan tak ada masalah, Sully dan Oky biasanya bertukar pandang, lalu tertawa. Malam itu, keduanya sama-sama ingin mengumpat Wira.
“Di rumah Mas Wira, cuma ada Bapak aja, kan? Enggak ada Ibu?” tanya Sully.
Wira memutar tubuh ke belakang dan melihat cahaya rumahnya sudah terlihat di kejauhan. “Iya, cuma Bapak aja. Ibu saya sudah lama meninggal. Mbak Sully enggak ada ibu mertua di desa ini,” jelas Wira.
Sully bergidik saat Wira mengatakan hal itu. Ibu mertua? Berpikir akan menjadi istri seorang pria dan tinggal seatap dengan mertua pun ia tak pernah. Lega dengan jawaban Wira, Sully mengangguk. Pantas saja Wira sedikit dengan enteng menyarankan solusi berpura-pura menjadi pasangan. Ternyata ibu pria itu sudah meninggal.
“Oke … enggak ada ibu mertua,” gumam Sully pada dirinya sendiri. “Oh, ya … bapaknya Mas Wira ini katanya orang terpandang, kan? Artinya saya enggak perlu jawab pertanyaan para tetangga? Enggak apa-apa kalau saya selalu di rumah…atau di kamar?”
“Enggak apa-apa. Untuk itu Mbak Sully dan Mbak….” Wira menatap Oky.
“Oky Jelita,” jawab Oky sedikit ketus.
“Mmm…Mbak Sully dan Mbak Oky Jeli … enggak usah khawatir. Kita adalah dua pihak yang akan melakukan pekerjaan masing-masing tanpa merepotkan satu sama lain. Kalau ada pertanyaan dari orang-orang, katakan untuk bertanya langsung ke saya. Setuju?”
Sully dan Oky mengangguk-angguk setuju dengan sangat cepat. Mereka lalu kembali mengikuti langkah kaki Wira.
“Ini rumah saya, Mbak. Jangan lupa ucapkan salam ke Bapak saya. Salim tangan dan letakkan di dahi. Di desa ini hal-hal begitu masih diperhatikan.” Wira membuka pagar kayu lebar-lebar.
“Silakan masuk.” Wira melangkah masuk ke halaman.
Suara derit pagar kayu dan desing jangkrik menyambut Sully di sana. Lampu teras berwarna kuning dengan dinding kayu dicat minyak berwarna hitam, membuat rumah itu lebih cocok dijadikan lokasi konten berbau alam gaib ketimbang konten kecantikan.
“Pak … ini Bagus,” seru Wira dari depan pintu. Sully dan Oky merapatkan tubuh mereka dan kembali saling menggenggam tangan.
Tak butuh waktu lama pintu rumah terbuka dan sosok pria tua kurus berwajah ketus muncul di ambang pintu.
“Akhirnya pulang juga. Sudah sebulan lebih ditunggu enggak ada kabar,” gerutu orang tua itu.
“Bapak sehat?” Wira meraih tangan bapaknya dan meletakkan di dahi.
“Sehat. Itu siapa?” Bapak Wira menggeser tubuh anaknya, lalu menunjuk Sully dan Oky dengan sebuah tongkat.
“Yang cantik itu … istri Bagus, Pak.”
“Istri? Jangan bercanda kamu!”
To Be Continued
Sully merasa tangannya gemetar karena teriakan pria tua di ambang pintu yang menatapnya tajam. Perkataan Wira barusan membuat bapaknya murka. Detik itu ia menyesali usul konyol soal bersandiwara menjadi istri Wira. Angan-angan bisa tidur meluruskan kaki malam itu pun, lenyap seketika.“Jangan sampai suara Bapak membangunkan tetangga,” ucap Wira pelan. Langsung mengingatkan bapaknya akan hal yang menjadi momok di desa. Yaitu, menjadi gunjingan.Sully menunduk untuk mengibas betisnya yang baru digigit nyamuk. Lalu, satu kakinya terangkat untuk menggaruk betisnya. Ingin rasanya ia meminta kedua anak dan bapak itu berdamai setidaknya untuk malam itu saja. Ia benar-benar sudah sangat lelah dan mengantuk.“Masuk,” pinta pria tua di depan pintu. Menepikan tubuhnya dengan kedua tangan terkepal di belakang.“Ayo, masuk. Kamu pasti udah capek,” kata Wira, mendatangi Sully dan memegang lengan wanita itu. Sejenak ia lupa bahwa satu tangan Oky masih terkait ke lengan Sully. Lagi-lagi Oky mendengus
Wira duduk mencerna perkataan bapaknya. Dari sudut mata ia melihat Sully yang sedang memperhatikannya tak berkedip. Sedikit risi. Mau apa wanita menor itu memperhatikannya? Wira yakin kalau Sully tidak mendengar semua ucapan bapaknya malam itu. “Bapak sudah ngomong ke orang tua Ratna kalau kamu bakal pulang kampung. Memang Bapak belum ada ngomong soal bakal melamar Ratna. Tapi gadis itu duduk meladeni Bapak dengan sangat sopan. Kalau kamu tiba-tiba pulang bawa istri, bisa-bisa enggak bakal diterima, Gus. Paham warga kampung soal orang kota, apalagi wanita yang….” Pak Gagah memandang Sully sekilas, “yang dandanannya begini pikirannya sudah ke mana-mana. Bapak sendiri enggak yakin kamu memang sudah menikah. Bisa-bisa kamu cuma kumpul kebo. Ketemu dengan istrimu di mana?” Pak Gagah memandang Wira dengan sorot curiga. “Pak,” tegur Wira pelan. Pak Gagah seketika terdiam dan mengerling Sully yang masih memperhatikan Wira. Perhatian pria tua itu kemudian berpindah pada Sully. Dan benar sa
Sebegitu pintu kamar Wira tertutup, Sully langsung menghempaskan tangan Wira yang menggandengnya. “Udah berapa kali hari ini kamu pegang-pegang aku? Ngambil kesempatan aja,” sergah Sully. Wira menaruh ranselnya di meja dan membuka jaket. “Jangan keluar dulu. Bapak masih ngeteh di dapur. Saya mau ke kamar mandi di belakang. Mau cuci muka dan bersih-bersih sedikit. Kalau Mbak Sulis mau ikutan biar sekalian. Soalnya kamar mandinya di luar.” “Jadi, sampai jam berapa aku di kamar kamu?” Sully masih berdiri di balik pintu. “Terserah Mbak sampai jam berapa. Yang penting tunggu Bapak balik ke kamarnya,” kata Wira, membuka lemari pakaian dan mengambil handuk dari dalam. Sully menunduk melihat kakinya yang kotor terkena becek. Sejak memasuki jalanan yang mulai berlubang di kampung itu, ia memang sudah melepaskan sandal bertali bertapak tebal yang dikenakannya. Dan mendengar soal kamar mandi, hasrat buang air kecilnya muncul tiba-tiba. Sully berdiri merapatkan kakinya. Huru-hara sejak siang
“Aku belum selesai pakai baju. Kamu jangan gitu. Tunggu di luar sebentar,” ucap Sully pelan. Nyalinya mulai ciut melihat tatapan Wira yang sangat serius memandangnya. “Jangan lama-lama,” pesan Wira lagi saat melangkah keluar. Tak sampai sepuluh menit berselang, Sully sudah keluar kamar mandi dan berganti dengan sepasang piyama sutra celana pendek. “Mbak Sulis bisa kembali lebih dulu ke rumah. Di luar banyak nyamuk,” kata Wira dari dalam kamar mandi. Sully berdiri membelakangi pintu kamar mandi. Perhatiannya kini berpindah pada bagian sekitar kamar mandi yang awal tadi tak begitu diperhatikannya. Di dekat kamar mandi itu ada pohon nangka. Buahnya besar-besar dan dua diantaranya ditutup karung putih. Dari tempatnya berdiri nangka tertutup karung itu membentuk rupa yang menyeramkan di kegelapan Sully merapatkan tubuhnya ke pintu. “Mas Wira … jangan lama-lama. Aku takut,” ucap Sully. Pandangannya kembali menyapu sekeliling. Bagian belakang rumah Wira benar-benar dikelilingi kebun de
Sully menunduk menatap ponsel yang dipenuhi puluhan notifikasi dari orang-orang yang mencarinya. Juga balasan dari Bu Kapolda yang langsung membalas pesannya lagi. ‘Kalau bisa jangan terlalu lama ya, Sul. Kamu juga jangan bawa-bawa soal masalah ini ke dalam konten kamu. Saya enggak mau orang-orang tahu soal masalah ini. Demi nama baik suami saya.’ Sully menatap nanar balasan pesan itu. Ia lalu menggulir pesan yang dikirimkannya ke distributor tas bernama ‘Mbak Kokom’ yang dikiriminya pesan bertubi-tubi namun hingga detik itu hanya mendapat tanda centang satu. “Mbak Sulis …,” panggil Wira. “Ha?” Sully mendongak menatap Wira. Tak sadar jarak mereka kini tak lebih dari setengah meter. Dalam terangnya lampu kamar, kali itu Sully bisa memperhatikan wajah Wira dengan jelas. Wajahnya lebih segar karena rambut lurusnya yang basah. Saat itu Wira menatapnya dengan sangat serius. “Sebentar … aku cek pesan-pesanku dulu,” kata Sully sedikit mengulur waktu. Jajaran pesan-pesan di ponselnya tak
Tak tahu pukul berapa saat itu, Sully terbangun karena suara ketukan di pintu kamar. Tak ada jam di dinding kamar, ponsel yang digenggamnya saat tidur pun padam karena tidak diisi baterai selama seharian penuh kemarin. Setengah menyeret langkahnya, Sully mendekati pintu dan membukanya. “Ada apa? Aku masih ngantuk, Ky. Di sini dingin enggak perlu pakai AC.” Sully mendekap kedua lengannya. “Ehem!” Suara Pak Gagah yang berdeham membuat mata Sully melebar. “Sudah bangun? Ada yang mau bertemu kamu,” seru Pak Gagah dari meja makan. Sully membekap mulutnya dan mengangkat alis sebagai isyarat pertanyaan buat Oky. “Saya permisi buat ngomong sebentar dengan Sully, Pak,” kata Oky, mendorong Sully masuk ke kamar tanpa menunggu persetujuan Pak Gagah. “Itu ada ibu-ibu mau ngapain? Ini jam berapa? Masih pagi, kan?” tanya Sully kebingungan. “Kamu kemarin malam ada ngomong apa ke Mas Wira? Itu bapaknya Mas Wira datang bawa petugas desa buat urusan catatan sipil. Dua ibu-ibu itu mau ngukur size
Malam sebelumnya Wira tak bisa tidur. Sejak awal bertemu dengan dua orang wanita di gapura pintu masuk desa, perasaannya sudah campur aduk. Rasanya ia hanya menggunakan sekelebat keberanian mengutarakan rencananya, dan dalam sekejab saja seorang wanita sedang tidur di ranjangnya. Wira menyugar rambut dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bayangan wajah Ira melintas di benaknya. Sedikit menyesal bahwa rencana yang diutarakannya sebelum tiba di rumah terlalu impulsif. Terlalu buru-buru. Terlalu asal-asalan.Sully yang berbaring menghadap dinding dan memunggungi Wira sudah terlelap dari tadi. Begitu nyenyak dengan suara napas teratur yang akrab dengan istilah tidur kelelahan. Sesekali tangan Sully mengusap-usap betisnya. Lalu, tiba-tiba satu tangan Sully terangkat menutup kepala.Wira terkesiap menatap punggung Sully. Apa semua wanita tidur segaduh itu? Dia beringsut menjauh hingga mencapai tepi ranjangnya. Sedikit khawatir kalau Sully tiba-tiba berbalik dan menyentuhnya. Wi
Sebelum bertemu pemilik satu-satunya salon pengantin dan petugas desa pagi itu, langkah kaki Wira menuju rumah Ketua Tani pagi itu diwarnai dengan kegalauan.Wira baru saja tertidur selama dua jam ketika tersentak saat langit masih gelap. Merasa tak mungkin kembali tidur, ia buru-buru mandi dan pergi ke rumah Ketua Tani. Percakapan dengan bapaknya dini hari tadi masih memenuhi kepalanya.Tanah kakak perempuan Wira, hasil pemberian dari Pak Gagah telah digadaikan oleh suaminya untuk meminjam uang dalam jumlah besar ke tengkulak. Itu sebabnya Pak Gagah bersikukuh menjodoh-jodohkan Wira dengan Ratna. Tak sadar, Wira berdecak kesal. Dalam cerita novel, yang harusnya dijodohkan untuk menebus hutang orang tua itu adalah anak perempuan. Bukan malah anak laki-lakinya.Predikat pria paling ganteng, paling terpelajar, paling kalem, paling rajin, paling pintar, paling populer, dan paling diminati hampir semua perawan di Desa Girilayang hanya dihargai bapaknya dengan satu hektar kebun aren milik