Sully merasa tangannya gemetar karena teriakan pria tua di ambang pintu yang menatapnya tajam. Perkataan Wira barusan membuat bapaknya murka. Detik itu ia menyesali usul konyol soal bersandiwara menjadi istri Wira. Angan-angan bisa tidur meluruskan kaki malam itu pun, lenyap seketika.
“Jangan sampai suara Bapak membangunkan tetangga,” ucap Wira pelan. Langsung mengingatkan bapaknya akan hal yang menjadi momok di desa. Yaitu, menjadi gunjingan.
Sully menunduk untuk mengibas betisnya yang baru digigit nyamuk. Lalu, satu kakinya terangkat untuk menggaruk betisnya. Ingin rasanya ia meminta kedua anak dan bapak itu berdamai setidaknya untuk malam itu saja. Ia benar-benar sudah sangat lelah dan mengantuk.
“Masuk,” pinta pria tua di depan pintu. Menepikan tubuhnya dengan kedua tangan terkepal di belakang.
“Ayo, masuk. Kamu pasti udah capek,” kata Wira, mendatangi Sully dan memegang lengan wanita itu. Sejenak ia lupa bahwa satu tangan Oky masih terkait ke lengan Sully. Lagi-lagi Oky mendengus kesal.
Wira menggandeng Sully melewati bapaknya. Mengambil barang bawaan wanita itu dan meletakkannya di kaki kursi. “Kamu duduk di sini,” ucap Wira, memegang kedua sisi lengan Sully dan mendudukkannya setengah paksa pada kursi panjang kayu. “Mbak duduk di sebelah sana,” kata Wira pada Oky yang baru muncul.
Ruangan itu bentuknya sangat sederhana. Ruang tamu berdampingan dengan sebuah kamar di sisi kanan. Kamar yang selama ini ditempati oleh bapaknya Wira. Ruang tamu memanjang itu terisi dengan seperangkat kursi dan lemari hias kayu berwarna cokelat yang bagian tengahnya terletak televisi tabung. Pintu kecil menuju ke belakang tertutup dengan tirai kain berwarna hijau.
Sully duduk tegak dengan kedua tangan terkepal di pangkuan. Langsung mengingatkannya akan sebuah wawancara kerja.
“Kamu duduk juga di sana!” seru Bapak Wira pada putranya.
Sully berjengit. Oky beringsut gelisah di kursi tunggal. Sedangkan Wira menekuk wajah dan duduk di sebelah Sully.
“Maafin Bagus, Pak. Mmm…maafin kami,” ucap Wira, meraih tangan Sully dan menggenggamnya. Tangannya masih berada di pangkuan Sully.
Sully merasa jemarinya ikut menegang. Kaku. Tangannya yang sejak tadi dingin dan nyaris mati rasa, tiba-tiba diselimuti kehangatan. Sully menunduk melihat tangan Wira menggenggamnya. Lalu, seakan sadar dengan pikirannya sendiri, Sully mengepalkan tangannya kuat-kuat. Menahan diri untuk tidak menepiskan tangan Wira karena saat itu mereka sedang menjadi suami istri. Sully menelan ludah saat melirik Oky yang mengernyit jijik.
“Kenapa kamu enggak ngomong di telepon kalau sudah menikah?” Bapak Wira berjalan perlahan mengitari kursi kayu panjang untuk melihat wajah Wira dan Sully dari dekat.
“Aku enggak sempat ngomong. Bapak sudah mencecarku dengan omongan soal Ratna Manikam. Lagipula…aku takut Bapak kepikiran dan jatuh sakit. Sebulan yang lalu aku masih banyak kerjaan dan perlu waktu untuk resign dari perusahaan perkebunan itu. Jadi….”
“Tega-teganya kamu menikah enggak minta izin sama Bapak.” Bapak Wira duduk setelah memutari satu set kursi dan tiba di kursi tunggal di seberang Wira dan Sully.
“Khawatir enggak direstui. Aku sadar kalau istriku ini jauh dari kriteria idaman Bapak,” jelas Wira.
Di dalam hati, Sully menyumpah berkali-kali. Kriteria idaman Bapak? Hei ….
Sully menegakkan kepala menatap pria tua di depannya. Ia sudah mengikuti saran Wira tanpa banyak protes. Meski kesalahannya sendiri mengira bahwa pria terpandang dan sesepuh kampung adalah orang kaya, Sully sudah menerima kenyataan dan membuang jauh-jauh angannya. Tidak apa-apa. Tapi dikatakan jauh dari kriteria seorang menantu anak laki-lakinya, Sully sedikit tersinggung. Ia tidak jelek. Wira bisa dikira memakai pelet jika orang kampung itu melihat penampilannya.
Sully merasa dirinya cantik dan menarik. Kalau tidak cantik, tidak mungkin dalam jangka waktu singkat ia bisa mendapatkan lebih dari satu juta follower di channel beauty vlog-nya.
Sedangkan penampilan Wira sendiri? Sully menoleh ke sisi kanan. Tangan kiri Wira masih menggenggam tangannya. Pria itu sedang beradu tatapan dengan bapaknya. Bukannya mau menghina, tapi Wira sendiri bisa dikatakan…. Sully mengerjap. Di bawah cahaya lampu ruang tamu orang tuanya, Wira ternyata ganteng. Itu sebabnya tadi pria itu sempat mengatakan kalau penduduk desa tidak akan percaya kalau Oky yang mendapat peran sebagai istrinya.
Sully kembali mengerjap dengan tatapan yang belum berpindah dari Wira.
Kulit Wira sedikit lebih gelap dari kuning langsat. Khas kulit pria yang cukup sering terpapar matahari. Walau sedikit memaksa, genggaman tangan Wira sangat mantap, dengan bagian telapak tangannya yang kasar. Sully kemudian menurunkan pandangannya.
Rambut lurus tergunting rapi dan modelnya standar. Tidak kampungan. Rambutnya alami tanpa efek pomade wax. Lalu …. Sully sedikit mendongak.
Bagian dalam telinganya bersih. Wira pasti mandi minimal dua kali sehari, tebak Sully. Hidungnya bangir, bibirnya penuh dan warnanya tidak gelap. Sully menebak dengan pasti kalau Wira bukan perokok. Kemudian … pakaiannya. Standar sekali, batin Sully. Kaus oblong, jaket training olahraga tak bermerek dan celana jeans gelap.
Sedang tenggelam dalam penilaiannya akan sosok Wira, tiba-tiba pria itu menoleh ke arah Sully.
“Kamu ditanyain Bapak,” bisik Wira.
Sully mengerjap. “Hah?” Saat itu ada penilaian baru yang muncul di benak Sully. Yaitu, bahwa bulu mata Wira panjang dan lentik. Laki-laki itu tak perlu memakai jasa eyelash lifting, pikirnya.
“Bapak nanya ke kamu,” ucap Wira dengan mulut nyaris tak terbuka.
“Oh, ya…ya. Gimana, Pak….”
“Gagah Sahari. Nama mertua kamu ini Gagah Sahari. Kamu tanya mulai dari pintu masuk desa, siapa Gagah Sahari. Semua pasti kenal. Sekarang Bapak yang tanya nama kamu. Enggak dengar?” sergah Pak Gagah.
“S-Sully, Pak,” jawab Sully dengan suara bergetar. Setiap seruan pria tua di depannya membuat jantungnya semakin berdebar.
“Nama lengkap…nama lengkap. Siapa nama lengkap kamu?” tanya Pak Gagah lagi dengan nada tak sabar.
“Sulistyawati, Pak,” ucap Sully sangat pelan.
“Enggak dengar. Bapak sudah tua dan budek. Siapa?” seru Pak Gagah lagi.
“Sulistyawati,” kesal Sully.
“Mmmm…Sulis, toh …,” gumam Wira dalam bisikan.
“Sully…Sully…. Anak sekarang dikasih nama bagus malah disingkat-singkat. Tinggal ngomong Sulis aja repot,” ketus Pak Gagah.
Sully menelan ludah, lalu menepiskan tangan Wira saat Pak Gagah memalingkan wajah sekilas karena mendengkus.
“Sulis … kamu sampaikan ke orang tua kamu kalau saya akan mengulang semua prosesi pernikahan kalian dengan benar disaksikan semua para tetua Desa Girilayang.”
“Hah? Gimana, Pak?” Sully membulatkan mata dengan mulut setengah ternganga.
To Be Continued
Wira duduk mencerna perkataan bapaknya. Dari sudut mata ia melihat Sully yang sedang memperhatikannya tak berkedip. Sedikit risi. Mau apa wanita menor itu memperhatikannya? Wira yakin kalau Sully tidak mendengar semua ucapan bapaknya malam itu. “Bapak sudah ngomong ke orang tua Ratna kalau kamu bakal pulang kampung. Memang Bapak belum ada ngomong soal bakal melamar Ratna. Tapi gadis itu duduk meladeni Bapak dengan sangat sopan. Kalau kamu tiba-tiba pulang bawa istri, bisa-bisa enggak bakal diterima, Gus. Paham warga kampung soal orang kota, apalagi wanita yang….” Pak Gagah memandang Sully sekilas, “yang dandanannya begini pikirannya sudah ke mana-mana. Bapak sendiri enggak yakin kamu memang sudah menikah. Bisa-bisa kamu cuma kumpul kebo. Ketemu dengan istrimu di mana?” Pak Gagah memandang Wira dengan sorot curiga. “Pak,” tegur Wira pelan. Pak Gagah seketika terdiam dan mengerling Sully yang masih memperhatikan Wira. Perhatian pria tua itu kemudian berpindah pada Sully. Dan benar sa
Sebegitu pintu kamar Wira tertutup, Sully langsung menghempaskan tangan Wira yang menggandengnya. “Udah berapa kali hari ini kamu pegang-pegang aku? Ngambil kesempatan aja,” sergah Sully. Wira menaruh ranselnya di meja dan membuka jaket. “Jangan keluar dulu. Bapak masih ngeteh di dapur. Saya mau ke kamar mandi di belakang. Mau cuci muka dan bersih-bersih sedikit. Kalau Mbak Sulis mau ikutan biar sekalian. Soalnya kamar mandinya di luar.” “Jadi, sampai jam berapa aku di kamar kamu?” Sully masih berdiri di balik pintu. “Terserah Mbak sampai jam berapa. Yang penting tunggu Bapak balik ke kamarnya,” kata Wira, membuka lemari pakaian dan mengambil handuk dari dalam. Sully menunduk melihat kakinya yang kotor terkena becek. Sejak memasuki jalanan yang mulai berlubang di kampung itu, ia memang sudah melepaskan sandal bertali bertapak tebal yang dikenakannya. Dan mendengar soal kamar mandi, hasrat buang air kecilnya muncul tiba-tiba. Sully berdiri merapatkan kakinya. Huru-hara sejak siang
“Aku belum selesai pakai baju. Kamu jangan gitu. Tunggu di luar sebentar,” ucap Sully pelan. Nyalinya mulai ciut melihat tatapan Wira yang sangat serius memandangnya. “Jangan lama-lama,” pesan Wira lagi saat melangkah keluar. Tak sampai sepuluh menit berselang, Sully sudah keluar kamar mandi dan berganti dengan sepasang piyama sutra celana pendek. “Mbak Sulis bisa kembali lebih dulu ke rumah. Di luar banyak nyamuk,” kata Wira dari dalam kamar mandi. Sully berdiri membelakangi pintu kamar mandi. Perhatiannya kini berpindah pada bagian sekitar kamar mandi yang awal tadi tak begitu diperhatikannya. Di dekat kamar mandi itu ada pohon nangka. Buahnya besar-besar dan dua diantaranya ditutup karung putih. Dari tempatnya berdiri nangka tertutup karung itu membentuk rupa yang menyeramkan di kegelapan Sully merapatkan tubuhnya ke pintu. “Mas Wira … jangan lama-lama. Aku takut,” ucap Sully. Pandangannya kembali menyapu sekeliling. Bagian belakang rumah Wira benar-benar dikelilingi kebun de
Sully menunduk menatap ponsel yang dipenuhi puluhan notifikasi dari orang-orang yang mencarinya. Juga balasan dari Bu Kapolda yang langsung membalas pesannya lagi. ‘Kalau bisa jangan terlalu lama ya, Sul. Kamu juga jangan bawa-bawa soal masalah ini ke dalam konten kamu. Saya enggak mau orang-orang tahu soal masalah ini. Demi nama baik suami saya.’ Sully menatap nanar balasan pesan itu. Ia lalu menggulir pesan yang dikirimkannya ke distributor tas bernama ‘Mbak Kokom’ yang dikiriminya pesan bertubi-tubi namun hingga detik itu hanya mendapat tanda centang satu. “Mbak Sulis …,” panggil Wira. “Ha?” Sully mendongak menatap Wira. Tak sadar jarak mereka kini tak lebih dari setengah meter. Dalam terangnya lampu kamar, kali itu Sully bisa memperhatikan wajah Wira dengan jelas. Wajahnya lebih segar karena rambut lurusnya yang basah. Saat itu Wira menatapnya dengan sangat serius. “Sebentar … aku cek pesan-pesanku dulu,” kata Sully sedikit mengulur waktu. Jajaran pesan-pesan di ponselnya tak
Tak tahu pukul berapa saat itu, Sully terbangun karena suara ketukan di pintu kamar. Tak ada jam di dinding kamar, ponsel yang digenggamnya saat tidur pun padam karena tidak diisi baterai selama seharian penuh kemarin. Setengah menyeret langkahnya, Sully mendekati pintu dan membukanya. “Ada apa? Aku masih ngantuk, Ky. Di sini dingin enggak perlu pakai AC.” Sully mendekap kedua lengannya. “Ehem!” Suara Pak Gagah yang berdeham membuat mata Sully melebar. “Sudah bangun? Ada yang mau bertemu kamu,” seru Pak Gagah dari meja makan. Sully membekap mulutnya dan mengangkat alis sebagai isyarat pertanyaan buat Oky. “Saya permisi buat ngomong sebentar dengan Sully, Pak,” kata Oky, mendorong Sully masuk ke kamar tanpa menunggu persetujuan Pak Gagah. “Itu ada ibu-ibu mau ngapain? Ini jam berapa? Masih pagi, kan?” tanya Sully kebingungan. “Kamu kemarin malam ada ngomong apa ke Mas Wira? Itu bapaknya Mas Wira datang bawa petugas desa buat urusan catatan sipil. Dua ibu-ibu itu mau ngukur size
Malam sebelumnya Wira tak bisa tidur. Sejak awal bertemu dengan dua orang wanita di gapura pintu masuk desa, perasaannya sudah campur aduk. Rasanya ia hanya menggunakan sekelebat keberanian mengutarakan rencananya, dan dalam sekejab saja seorang wanita sedang tidur di ranjangnya. Wira menyugar rambut dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bayangan wajah Ira melintas di benaknya. Sedikit menyesal bahwa rencana yang diutarakannya sebelum tiba di rumah terlalu impulsif. Terlalu buru-buru. Terlalu asal-asalan.Sully yang berbaring menghadap dinding dan memunggungi Wira sudah terlelap dari tadi. Begitu nyenyak dengan suara napas teratur yang akrab dengan istilah tidur kelelahan. Sesekali tangan Sully mengusap-usap betisnya. Lalu, tiba-tiba satu tangan Sully terangkat menutup kepala.Wira terkesiap menatap punggung Sully. Apa semua wanita tidur segaduh itu? Dia beringsut menjauh hingga mencapai tepi ranjangnya. Sedikit khawatir kalau Sully tiba-tiba berbalik dan menyentuhnya. Wi
Sebelum bertemu pemilik satu-satunya salon pengantin dan petugas desa pagi itu, langkah kaki Wira menuju rumah Ketua Tani pagi itu diwarnai dengan kegalauan.Wira baru saja tertidur selama dua jam ketika tersentak saat langit masih gelap. Merasa tak mungkin kembali tidur, ia buru-buru mandi dan pergi ke rumah Ketua Tani. Percakapan dengan bapaknya dini hari tadi masih memenuhi kepalanya.Tanah kakak perempuan Wira, hasil pemberian dari Pak Gagah telah digadaikan oleh suaminya untuk meminjam uang dalam jumlah besar ke tengkulak. Itu sebabnya Pak Gagah bersikukuh menjodoh-jodohkan Wira dengan Ratna. Tak sadar, Wira berdecak kesal. Dalam cerita novel, yang harusnya dijodohkan untuk menebus hutang orang tua itu adalah anak perempuan. Bukan malah anak laki-lakinya.Predikat pria paling ganteng, paling terpelajar, paling kalem, paling rajin, paling pintar, paling populer, dan paling diminati hampir semua perawan di Desa Girilayang hanya dihargai bapaknya dengan satu hektar kebun aren milik
Wira juga sepertinya baru tersadar dengan yang barusan dikatakan Budhe Lina si Bidan Pengantin. Matanya terbelalak sedetik, lalu menoleh gelisah ke arah Sully. “Kalau gitu saya geser ke sini aja,” kata Wira, bergeser beberapa langkah ke sebelah kanan ranjang. Ia menghadap dinding untuk membelakangi Sully. Banyak hal melintas di pikiran Wira. Soal kakak perempuannya, soal istri bohongan, soal Ira di pulau Sumatera, juga soal keluarga Ratna yang pernah didatangi bapaknya. Ternyata semakin dipikirkan, masalahnya semakin serius. Di sisi lain, Wira juga memikirkan soal Sully. Apa akibatnya buat wanita itu? Bagaimana dengan keluarganya? Apa Sully tidak punya keluarga yang mencarinya? Apa hubungan Sully dengan aktor pendatang baru yang didengarnya tadi tidak serius? Sebesar apa masalah Sully sampai wanita itu begitu pasrah menerima nasib? Atau … kenapa Sully begitu membutuhkan tempat tinggal di desa itu? Atau jangan-jangan Sully benar-benar buronan? Wira merasa lehernya tiba-tiba kaku. Se