Wira hilir-mudik bertelepon di bawah tatapan Rino, Kokom dan Asmari. Pembicaraan yang berlangsung sedang sangat serius. Terlihat dari raut wajah Wira yang beberapa kali menoleh ke Rino dengan raut kesal, lalu berpindah pada Kokom dan kembali memandang Rino.“Yang dua orang tadi minta langsung ke sini aja,” pinta Wira di telepon. “Iya…iya. Saya juga mau mencocokkan beberapa hal dengan aktor ibukota ini.” Wira lalu mengakhiri pembicaraan di telepon dan duduk di seberang Rino.Lima menit saling bertukar pandang dengan Rino, bel pintu kamar berbunyi. Asmari dengan sigap berdiri dan mengintip melalui lubang pintu sebelum membuka.“Duduk di sebelah saja aja, Pak. Itu aktor ibukota yang perlu dijaga malam ini,” ujar Asmari, sedikit membungkuk dan menunjuk Rino dengan sangat sopan. Dua pria yang baru masuk mengangguk dan mengambil tempat duduk di sekumpulan sofa lain.“Sebelum datang ke sini, saya mengecek beberapa hal. Mmmm … dimulai dari Pak Effendi. Yap, sebenarnya semua bermula dari Pak E
“Saya keluar sekarang?” Rino mengulang pertanyaan karena merasa tak yakin dengan yang didengarnya barusan.Istri Kapolda mengangguk. “Iya, tunggu di luar sebentar. Nanti kita ngobrol. Bu Ajudan bisa ikut menemani kamu di luar.” Senyuman penutup dari perintah ke luar itu tak bisa dibantah lagi. Dua orang ajudan perempuan yang tadi duduk di dekat Istri Kapolda kini berdiri dan berjalan pelan menuju pintu. Seolah menanti Rino agar ikut menyusul mereka.Tersisa di ruangan itu hanya Wira dan Istri Kapolda yang sedang turun dari kursi besi tinggi di dekat balkon. Wanita itu membenarkan letak blazernya seraya berjalan menuju sofa berbentuk L di sudut ruangan. Tiba di dekat sofa, Istri Kapolda duduk menuangkan sparkling water ke gelas tinggi dan meneguknya sedikit.“Udah lama ya kenal Rino? Nama kamu siapa? Duduk di sini, dong ….” Istri Kapolda menunjuk bagian kosong di sebelahnya dengan tangannya yang memegang gelas.Wira sejak tadi mengamati ruangan tempatnya berdiri. Sangat gelap. Satu-sat
“Cukup, kan?” Istri Kapolda mencampakkan ponselnya ke sofa setelah menunjukkan hasil transfer dan pesan yang dikirimnya pada Sully.“Belum cukup ….”“Foto itu aja enggak akan cukup buat memeras saya. Kamu enggak usah bertele-tele.”“Saya bawa kamera tersembunyi yang juga merekam percakapan kita mulai dari saya masuk ke sini tadi. Saya yakin Ibu enggak akan mau masalah ini sampai ke telinga Bapak. Apalagi … ada hal penting yang harus saya informasikan ke Ibu. Ini soal Rino yang datang ke desa saya untuk mencari Sully. Tebakan saya, Ibu sendiri enggak tahu kalau Rino datang ke desa saya, kan?”Wira menyodorkan ponselnya pada Istri Kapolda. “Dengarkan baik-baik, Bu. Saya enggak akan mengulanginya lagi dan apa yang Ibu dengar semuanya demi kebaikan Ibu juga.” Wira mengetuk folder galeri yang menunjukkan foto seorang pria tua. “Pria tua ini namanya Pak Effendi. Tengkulak paling kaya dan berpengaruh di desa saya tinggal. Karena satu dua hal, pria tua ini sangat membenci saya. Sampai-sampai
Berpura-pura tidak tahu bukanlah sebuah dosa bagi Sully selama bertahun-tahun bertetangga jauh dengan Erizal. Meski sebenarnya rumah mereka bisa dikatakan cukup jauh, tapi mau tak mau Sully menyadari keberadaan lelaki itu itu. Sejak Sully kelas satu SMP, Erizal yang sudah duduk di bangku SMA rajin hilir mudik di depan rumah. Perjalanan memutar yang cukup jauh pun dilakoni Erizal sebagai perbuatan yang menyenangkan hatinya sendiri. Demi melihat Sully yang cantik dan paling ceria di antara teman-temannya. Namun, Sully tak pernah peduli akan keberadaan laki-laki itu. Ia selalu berpura-pura tidak tahu kalau Erizal menyukainya. Alasannya, Sully tak mau menikah dengan pria sekampung dan berakhir dengan hidup di kampung.Sejak Sully tiba di kampungnyakemarin, ia mendapat telepon dan pesan dari Wira beberapa kali. Tidak terlalu sering. Mungkin Wira sudah paham kalau menghubungi berkali-kali pasti tak ada gunanya kalau tak ditanggapi. Sully masih mendongkol terhadap suaminya itu.Pagi pertama
Dengan perut yang sudah kenyang, Sully kembali berbaring memeluk guling sambil memandangi pesan dari Wira. Ia menangis dengan sebuah guling menutup wajahnya.“Aku kangen Mas itu …,” lirih Sully. “Tapi tujuh ratus juta itu banyak … kasihan Mas itu kalau nikah denganku cuma ketiban apesnya aja.”Situasi rumah yang sangat bergantung dengan suasana hati Pak Anwar benar-benar mencekam. Tiga orang kakak perempuan Sully yang tadi bicara dengan riang, mulai undur diri satu persatu. Mereka mau-mau saja ikut membujuk Sully, tapi kalau harus mendengar nama mereka ikut diseret-seret dan dijadikan contoh, hari mereka pun terasa tak enak juga. Jadi, ketimbang bertikai dengan adik bungsu mereka, ketiga wanita itu memilih untuk tidak hadir saat ayah mereka berceramah.“Bagaimana? Ada si Erizal pagi tadi datang ke sini? Udah jumpa Sulis?” tanya Pak Anwar saat makan malam.“Erizal enggak singgah. Cuma lewat aja. Enggak sempat juga jumpa sama Sulis. Biarlah, Yah. Anak muda pasti tahu sendiri cara kenala
“Ayah mana? Ayah mana?” Sully keluar membabi-buta mencari ayahnya. Lupa kalau hari masih sangat pagi dan tampilannya pasti membuat sang ayah kembali marah.“Ada apa?” Pak Anwar sedang duduk di teras belakang rumah. Di tempat itu biasanya Pak Anwar menghirup teh sambil mengawasi dua ekor kucing yang baru diberinya makan. Teriakan Sully membuat Pak Anwar meletakkan cangkir. “Kenapa enggak mandi dulu?”“Nanti mandinya. Ini sertifikat tanah.” Sully meletakkan map di meja kecil dekat ayahnya. “Sulis enggak jadi pakai uang tujuh ratus juta. Semua masalah Sulis beres. Uang Sulis juga udah balik. Aduh … rasa senangnya sampai bikin sesak napas. Senang … lega … luar biasa.” Sully mengusap-usap layar ponsel yang menampilkan bukti transfer seratus juta. Mengabaikan tatapan jengkel ayahnya.“Masalah apa yang udah beres dalam sekejab? Kamu ada bikin masalah apa lagi? Dari mana dapat uang tujuh ratus juta? Karena enggak mau menerima lamaran Erizal kamu pinjam uang dalam jumlah besar ke orang? Iya?”
Usai berurusan dengan Istri Kapolda, Wira kembali ke hotel dan mengisi air bath tub hingga penuh. Ia ingin berendam air hangat dan menggosok sekujur tubuhnya. Aroma ruangan lembab, minuman keras dan parfum Istri Kapolda yang menyengat masih mengisi hidungnya.Tugas malam itu sebenarnya tidak terlalu berat dibanding ketika ia masuk ke klub malam bersama Pak Martin untuk pertama kalinya. Malam itu ia hanya mengajak seorang wanita paruh baya membuat kesepakatan. Harusnya tidak berat. Andai saja wanita itu tidak memaksa melakukan kontak fisik dan berakhir dengan mencium pipinya.“Ck!” Wira berdecak menangkup air dan menyiram wajahnya.Bukan rupa Istri Kapolda yang membuat Wira jengkel ketika diperlakukan seperti itu. Wanita paruh baya itu memoles dirinya cukup apik dan cahaya ruang KTV yang minim menyelamatkan penampilannya. Ia jengkel karena mengingat wanita itu harusnya duduk manis di rumah dan bermain bersama cucu. Kenapa harus mempersulit hidup dengan menjalin hubungan gelap yang meli
Percakapan pagi di telepon bersama Oky, meninggalkan kegalauan tersendiri buat Sully. Kalau dipikir-pikirnya lagi, sebenarnya Sully memang mengira kalau pemecahan masalahnya itu berasal dari Wira. Siapa lagi yang tiba-tiba datang membantu menyelesaikan masalahnya selain suaminya sendiri? Tak mungkin Rino. Sully merasa bahwa ia dan Rino sama melaratnya kalau untuk urusan hidup di kota. Bedanya, Rino sepertinya lebih jago memanajemen keuangan dibanding ia sendiri. Terlihat dari Rino yang tetap bisa bergaya hidup di atas rata-rata tanpa khawatir kehabisan uang. Pikiran Sully merekonstruksi bagaimana Wira pergi dari rumah dan menemui Istri Kapolda. Mereka-reka percakapan yang terjadi di antara keduanya. Hingga kemudian pikirannya yang terbatas itu terhenti di bagaimana cara Wira membuat Istri Kapolda meminta maaf dengannya. Sully belum ada bayangan untuk itu. Perasaan lega terbebas dari hutang itu kemudian berganti menjadi tumpukan rasa bersalah karena meninggalkan Wira. Rasa bersalah i