Dengan perut yang sudah kenyang, Sully kembali berbaring memeluk guling sambil memandangi pesan dari Wira. Ia menangis dengan sebuah guling menutup wajahnya.“Aku kangen Mas itu …,” lirih Sully. “Tapi tujuh ratus juta itu banyak … kasihan Mas itu kalau nikah denganku cuma ketiban apesnya aja.”Situasi rumah yang sangat bergantung dengan suasana hati Pak Anwar benar-benar mencekam. Tiga orang kakak perempuan Sully yang tadi bicara dengan riang, mulai undur diri satu persatu. Mereka mau-mau saja ikut membujuk Sully, tapi kalau harus mendengar nama mereka ikut diseret-seret dan dijadikan contoh, hari mereka pun terasa tak enak juga. Jadi, ketimbang bertikai dengan adik bungsu mereka, ketiga wanita itu memilih untuk tidak hadir saat ayah mereka berceramah.“Bagaimana? Ada si Erizal pagi tadi datang ke sini? Udah jumpa Sulis?” tanya Pak Anwar saat makan malam.“Erizal enggak singgah. Cuma lewat aja. Enggak sempat juga jumpa sama Sulis. Biarlah, Yah. Anak muda pasti tahu sendiri cara kenala
“Ayah mana? Ayah mana?” Sully keluar membabi-buta mencari ayahnya. Lupa kalau hari masih sangat pagi dan tampilannya pasti membuat sang ayah kembali marah.“Ada apa?” Pak Anwar sedang duduk di teras belakang rumah. Di tempat itu biasanya Pak Anwar menghirup teh sambil mengawasi dua ekor kucing yang baru diberinya makan. Teriakan Sully membuat Pak Anwar meletakkan cangkir. “Kenapa enggak mandi dulu?”“Nanti mandinya. Ini sertifikat tanah.” Sully meletakkan map di meja kecil dekat ayahnya. “Sulis enggak jadi pakai uang tujuh ratus juta. Semua masalah Sulis beres. Uang Sulis juga udah balik. Aduh … rasa senangnya sampai bikin sesak napas. Senang … lega … luar biasa.” Sully mengusap-usap layar ponsel yang menampilkan bukti transfer seratus juta. Mengabaikan tatapan jengkel ayahnya.“Masalah apa yang udah beres dalam sekejab? Kamu ada bikin masalah apa lagi? Dari mana dapat uang tujuh ratus juta? Karena enggak mau menerima lamaran Erizal kamu pinjam uang dalam jumlah besar ke orang? Iya?”
Usai berurusan dengan Istri Kapolda, Wira kembali ke hotel dan mengisi air bath tub hingga penuh. Ia ingin berendam air hangat dan menggosok sekujur tubuhnya. Aroma ruangan lembab, minuman keras dan parfum Istri Kapolda yang menyengat masih mengisi hidungnya.Tugas malam itu sebenarnya tidak terlalu berat dibanding ketika ia masuk ke klub malam bersama Pak Martin untuk pertama kalinya. Malam itu ia hanya mengajak seorang wanita paruh baya membuat kesepakatan. Harusnya tidak berat. Andai saja wanita itu tidak memaksa melakukan kontak fisik dan berakhir dengan mencium pipinya.“Ck!” Wira berdecak menangkup air dan menyiram wajahnya.Bukan rupa Istri Kapolda yang membuat Wira jengkel ketika diperlakukan seperti itu. Wanita paruh baya itu memoles dirinya cukup apik dan cahaya ruang KTV yang minim menyelamatkan penampilannya. Ia jengkel karena mengingat wanita itu harusnya duduk manis di rumah dan bermain bersama cucu. Kenapa harus mempersulit hidup dengan menjalin hubungan gelap yang meli
Percakapan pagi di telepon bersama Oky, meninggalkan kegalauan tersendiri buat Sully. Kalau dipikir-pikirnya lagi, sebenarnya Sully memang mengira kalau pemecahan masalahnya itu berasal dari Wira. Siapa lagi yang tiba-tiba datang membantu menyelesaikan masalahnya selain suaminya sendiri? Tak mungkin Rino. Sully merasa bahwa ia dan Rino sama melaratnya kalau untuk urusan hidup di kota. Bedanya, Rino sepertinya lebih jago memanajemen keuangan dibanding ia sendiri. Terlihat dari Rino yang tetap bisa bergaya hidup di atas rata-rata tanpa khawatir kehabisan uang. Pikiran Sully merekonstruksi bagaimana Wira pergi dari rumah dan menemui Istri Kapolda. Mereka-reka percakapan yang terjadi di antara keduanya. Hingga kemudian pikirannya yang terbatas itu terhenti di bagaimana cara Wira membuat Istri Kapolda meminta maaf dengannya. Sully belum ada bayangan untuk itu. Perasaan lega terbebas dari hutang itu kemudian berganti menjadi tumpukan rasa bersalah karena meninggalkan Wira. Rasa bersalah i
Percakapan tiga bersaudara itu kemudian terhenti karena adegan yang tak pernah mereka duga. Saat itu pikiran mereka diisi oleh macam-macam hal akan pria berjaket kulit. Pria itu berdiri memenuhi bingkai pintu dengan tubuhnya. Membuat sebagian ruangan menjadi gelap karena tubuhnya menghalangi cahaya dari luar. Semua wanita tak sempat berkomentar dan tak ada yang mampu menyembunyikan keterkejutannya ketika seorang pria memproklamirkan diri sebagai suami dari wanita yang akan dilamar hari itu. Utami tak pernah melihat ayahnya marah dan bingung sekaligus. Wajahnya memerah dan tangannya teracung menunjuk seorang pria ganteng perlente yang mengaku sebagai menantunya. Utami juga terkesima. Detik itu ia sudah memiliki ipar laki-laki ketiga. Dwi merapatkan tubuhnya pada Bu Dahlia. Andai tubuh ibunya lebih besar, rasanya ia ingin bersembunyi saja di balik punggung wanita itu. Amarah ayah mereka tak main-main. Kali ini mereka akan sulit membela Sully. Laki-laki berjaket kulit dengan penuh perc
“Sulis disebut setan,” lirih Bu Dahlia.“Ayah selalu ngomong gitu kalau kami ngajak orang lain buat nakal-nakal.” Utami meringis.“Itu cuma sebutan aja. Karena kesal. Bukan berarti Sulis setan betulan.” Dwi mengusap-usap lengan Bu Dahlia.“Ibu juga tahu kalau Sulis bukan setan betulan. Bagian itu enggak perlu dikasih tahu.” Sari ikut berbisik menjawab perkataan kakak-kakaknya.“Sulis pandai juga memilih suami. Ganteng dan gagah suaminya,” sahut Bu Dahlia masih dalam bisikan.“Untuk wajah, Bang Erizal kalah. Tapi apa lebih mapan? Kita, kan, enggak tahu.” Sari melemparkan tatapan menyelidik pada Wira. Mengamati semua yang dipakai Wira, beserta koper yang sekarang berada di mulut pintu."Dari barang-barang yang dipakai suami Sulis, harusnya kita meragukan kalau dia berasal dari desa." Utami ikut memberi pendapat. Keheningan dan bisik-bisik beberapa saat itu terpecah karena suara Sully yang membujuk Pak Anwar.“Mas Wira enggak salah…jangan lempar-lempar gini, Yah …. Nanti Mas Wira luka,”
Isakan Sully mulai reda ketika ayahnya sudah tak berada di ruang tamu. Hal itu diikuti oleh kesadarannya akan sekeliling. Ia baru menyadari siapa saja yang berada di sana, situasi di ruang tamu, juga bagaimana penampilannya saat itu. Ia masih memakai celana pendek. Sedikit di atas lutut, tapi bukan celana ketat membentuk tubuh. Celana pendek yang mirip celana pendek pria disertai kaus oblong. Pakaian longgar yang menenggelamkan tubuhnya itu pun kadang masih dikatakan tidak sopan oleh ayahnya. Tapi Sully sudah biasa. Ayahnya pun mungkin sudah biasa. Menegur, tapi sering diabaikan olehnya. Kalau sudah ditegur masalah berpakaian di rumah, Sully biasanya selalu mengelak dengan tameng yang sama. “Ayah, kan, suka kalau Lis pakai begini. Ayah bilang mirip anak laki-laki.” Padahal ucapan ayahnya itu adalah ucapan ketika ia duduk di bangku SD. Tidak cocok lagi dipakai saat ia sudah remaja yang menuju dewasa. Sully sedikit memutar tubuhnya. Tatapannya langsung beradu dengan Wira. Kali ini ia
“Siapa nama lengkapmu tadi?” Pak Anwar menatap lurus menantu bungsunya.“Bagus Prawira.”“Sekolahmu apa?” Nada suara Pak Anwar datar. Seakan sedang mengomentari sesuatu yang membosankan. Paparan Wira soal kekayaannya tadi tidak memengaruhi pria tua itu.“Saya lulusan Teknologi Pertanian.”“Mmmm … petani. Kerja atau bertani sendiri?”“Sebelum bertemu Sulis, saya kerja di PT. Agro Insani sebagai Kepala Bagian Tanaman. Itu adalah salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit terbesar di Riau. Saya juga pemegang beberapa hak paten varietas unggul kelapa sawit yang dibudidayakan PT. Agro Insani. Sederhananya … saat bekerja sebagai Kepala Bagian Tanaman, saya juga sebagai pemegang saham. Saya memulai usaha dari sedikit peninggalan almarhumah ibu saya dan hasil dari menjual varietas unggul dari benih yang saya patenkan. Setelah bapak saya … Pak Gagah Sahari meminta saya kembali ke desa untuk memperbaiki tatanan ekonomi petani yang sangat memprihatikan, saya memutuskan menjual saham di Agro I