Aku terdiam sejenak, menetralisir detak jantungku yang tiba-tiba berpacu tanpa bisa aku kendalikan. Jika mama mengetahui kelakuanku dengan Zayden lalu menikahkan kami, malah bagus kan?
"Kakimu keseleo?" tanya mama lagi sambil berjalan ke arahku.Mulutku terkunci, aku hanya bisa menganggukkan kepalaku. Mama kira aku keseleo, padahal rasa sakit ini berasal dari bagian intimku, ternyata ada rasa nyeri juga setelah kami melakukannya. Tadi saat melakukannya berulang kali aku merasa baik-baik saja, mungkin otakku sedang di liputi nafsu saat itu."Kok bisa keseleo sih, ngapain aja? Itu harus segera di obati. Bagian mana yang keseleo?" tanya mama lagi."Nggak perlu lah ma, nanti juga sembuh. Nanti Amel pakai salep aja, pasti juga sembuh.""Ya sudah kalau begitu, sana cepat istirahat. Dan jangan lupa di obati itu kakinya yang keseleo," ucap mama lagi.Tanpa menunggu lama, aku langsung bergegas naik ke atas, masuk kamar dan segera mengunci pintunya. Sampai dalam kamar, aku segera merebahkan diriku, menatap langit-langit kamarku yang di dominasi dengan warna putih. Ingatanku melayang pada kebersamaan dengan Zayden, tidak ada rasa penyesalan sama sekali dalam hatiku. Aku malah merasa bahagia dan merindukan pria itu.***Satu minggu lagi pernikahanku dan Damar akan di gelar di sebuah hotel berbintang lima di kota ini. Persiapan sudah hampir sempurna, kami menyerahkan semuanya pada wedding organizer, tidak ada kesulitan dan hal keuangan atau apapun. Keluargaku yang memang mapan secara finansial, dan juga keluarga calon suamiku yang tentunya juga dari orang terkaya di kampungnya, konon katanya mereka sudah kaya sejak dari nenek dan kakeknya Damar.Tidak salah jika mereka yang membantu papa saat papa memulai usahanya di kota ini.Semua orang berbahagia, papa mama dan juga keluarga calon suamiku. Mereka sudah tiba di kota dua hari sebelum pernikahan kami, mereka menginap di hotel yang akan kami jadikan tempat resepsi. Damar membawa beberapa sanak keluarganya, meskipun mereka berasal dari kampung tapi mereka terlihat biasa saja dengan suasana dan situasi di tempat mereka menginap. Yaa tentu saja, mereka keluarga berada pastinya sudah terbiasa dengan semua fasilitas seperti itu.Yang aku herankan malah si Damar, kenapa orang itu terlalu lugu seperti itu. Laki-laki itu berperawakan tegap dan tampan, tapi kenapa seolah-oleh dia tidak pernah bergaul dengan wanita. Dia terlihat kaku dan menyebalkan di mataku. Sungguh berbeda dengan Zayden yang gampang bergaul dengan siapapun, baik laki-laki maupun wanita. Tutur katanya manis dan selalu membuat hatiku berbunga-bunga karenanya.Keluguannya itu yang mendorongku untuk berani memberikan keperawananku pada kekasihku, pasti dia tidak akan tahu kan jika aku sudah tidak perawan lagi saat menikah dengannya.***Hari pernikahan kamipun tiba, pesta pernikahan di gelar dengan sangat meriah. Banyak tamu undangan yang hadir terutama dari kolega papa dan juga teman-teman mama. Teman-temanku pun banyak yang datang, beberapa dari mereka berbisik di telingaku dan mengagumi suamiku. Ah mereka tidak tahu jika yang mereka lihat mungkin berbeda dengan aslinya.Laki-laki itu bahkan tidak pernah menatapku setiap kali bertemu denganku dulu. Beberapa kali dia datang ke rumah kami, mama dan papa selalu menyuruhku berbicara dengannya, katanya biar makin akrab. Namun jangankan akrab, kami malah tidak terlalu banyak berbicara. Dia hanya menanyakan apa yang aku inginkan setelah kami menikah nanti, hanya itu.Aku melirik sekilas kearahnya yang berada di sampingku, dia terlihat tidak canggung menerima tamu-tamu dari teman papa. Seperti sudah terbiasa bergaul dengan orang-orang dari berbagai kalangan, tapi kenapa sikapnya berbeda jika denganku. Apa sebenarnya dia juga tidak menyukai perjodohan ini, jika begitu kenapa dia tidak menolaknya saja biar kami tidak menjalani pernikahan yang terpaksa. Aku mendesah malas melihat pemandangan di sampingku."Apa kamu cepek?" tanyanya mengagetkanku yang sejak tadi menerima tamu sambil melamun."Tidak!" jawabku singkat. Tak ingin banyak bicara dengannya untuk saat ini.Waktu terus bergulir, tak terasa pesta pernikahan kamipun usai. Malam ini, aku dan suamiku itu akan menginap di hotel ini terlebih dahulu. Esok hari baru keluarganya pulang, lalu aku dan Damar akan pulang ke rumah orang tuaku terlebih dahulu.Satu minggu kami akan tinggal di rumah papa, baru kemudian akan ada acara di rumah Damar di kampungnya sana, acara ngunduh mantu katanya.Setelah memasuki kamar hotel yang kental dengan suasana pengantin baru, aku segera membersihkan wajahku dari bekas makeup. Setelah itu, bergegas ke kamar mandi dan membersihkan diri lalu berganti pakaian. Aku memakai setelan piyama berlengan pendek dengan bawahan celana panjang, meskipun mama menyiapkan baju tidur seksi di dalam koperku, tapi aku sengaja menyelipkan satu piyama panjang. Aku masih belum bisa menyerahkan diriku pada laki-laki yang baru saja ku kenal itu.Saat aku keluar dari kamar mandi, terlihat Damar sedang duduk menunggu di atas tempat tidur. Tadi saat aku masuk ke kamar, dia tidak ikut serta, katanya masih ingin berbincang dengan keluarganya. Aku hanya menatapnya dari tempatku berdiri dan tidak berniat untuk mendekat padanya. Tanpa kata, laki-laki yang baru saja menjadi suamiku itu meraih handuk dan berlalu ke kamar mandi. Seperti dia juga hendak membersihkan diri.Begitu Damar masuk ke kamar mandi, aku duduk di tempat tidur sambil memainkan ponselnya. Ada beberapa pesan dari teman-temanku, seperti biasanya mereka iseng bertanya macam-macam dan menggodaku.Dari sekian banyak pesan, aku mencari-cari pesan dari Zayden, tapi dia tidak mengirimkan pesan apapun. Bahkan tadi dia juga tidak datang ke pesta pernikahanku. Apa dia sedih dan terluka, ataukah dia sudah melupakanku?Tanganku terus menggulir benda pipih berlayar datar yang ada dalam genggamanku, saat tiba-tiba aku dikagetkan dengan keberadaan Damar yang sudah ada di sampingku. Aku menatapnya dengan risih, apa yang akan dia lakukan padaku. Apa laki-laki pendiam seperti dia akan berani memaksakan kehendak padaku.Tangannya terulur ke arah wajahku, dan refleksi aku menepiskan dengan kasar."Jangan berani-berani menyentuhku!" bentakku dengan nada tinggi.🍁🍁🍁"Apa kamu membenciku?" tanya Damar pelan. Sepertinya dia terkejut dengan reaksi dan teriakan dariku.Aku diam membisu, enggan sekali rasanya menjawab pertanyaannya. Aku lebih memilih untuk berdiri di samping tempat tidur, agak jauh darinya."Jika kamu tidak suka dengan pernikahan ini kenapa kamu menerimanya, jika kamu menolaknya aku juga tidak akan memaksa," ucapnya lagi."Kenapa bukan kamu yang menolaknya?" aku bertanya dengan sinis. Diakan laki-laki seharusnya lebih mudah baginya untuk menolak perjodohan. "Aku percaya dengan pilihan orang tuaku, aku juga percaya pada orang tuamu, dan aku merasa kamu wanita yang baik dari keluarga baik-baik. Tidak ada alasan bagiku untuk menolakmu."Ucapan pria dengan alis tebal barusan membuat rasa sakit menelusup dalam hatiku. Rasa sakit karena merasa bersalah, dia menganggapku wanita baik-baik, menganggap kedua orangtuaku berhasil mendidikku. Tapi nyatanya aku bukan wanita baik-baik lagi saat ini, setalah apa yang aku lakukan dengan kekasihku.
Aku tersedak kaget mendengar pertanyaan yang tidak aku duga dihari pertama pernikahan kami. Mertuaku langsung menepuk punggungku pelan-pelan. "Maaf jika pertanyaan ibu mengganggu dan membuatmu terkejut," ucapnya sambil terus menepuk punggungku. "Dia baru lulus kuliah Bu, masa sudah suruh jadi ibu saja. Sabarlah sedikit," ucap Damar menyela perkataan ibunya."Betul juga, dia perlu banyak mengenalmu," ucap mertuaku yang ditujukan pada suamiku, Damar."Kamu harus banyak bersabar yaa nak, Damar ini anaknya agak kaku kalau dengan wanita. Dia terbiasa bergaul dengan ayam-ayam dan telur jadi tidak punya waktu dengan wanita. Beruntung papamu memberikan anak gadisnya padanya," Ucapan mertuaku itu sontak membuat orang-orang yang ada di meja kami tertawa berderai. Ekor mataku melirik ke arah sosok yang dibicarakan, dia hanya menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.Orang tua Damar memang memiliki usaha peternakan ayam petelur yang dirintis oleh kakek damar. Kata papa, usahanya itulah yang me
"Aku hamil?" ucapku lagi diiringi derai tawa. "Bagaimana bisa aku hamil padahal baru menikah satu minggu, kalian ini mengada-ada saja!" Aku membantah ucapan mereka meskipun jantungku berdegup kencang. "Yaa kali aja mas Damar mencicipi dirimu terlebih dahulu," sahut Revina sambil tertawa. "Kamu tidak hamil dengan Zay kan?" sela Ziva menyelidiki. Aku langsung terbatuk-batuk karena tersedak minuman begitu mendengar pertanyaan dari Ziva. "Kamu beneran hamil sama dia, Amel!" teriak Ziva lagi. "Astaga Ziva ... Bagaimana mungkin itu terjadi, kamu tahu kan aku hanya bertemu dia saat di kampus. Dan orang tuaku juga tidak tahu hubungan kami, kapan kami bisa melakukan hal itu? kamu kalau ngomong suka asal!" ucapku dengan nada kesal. "Sudah-sudah, kalian ini mendebatkan apa sih? kalau Amel bilang tidak hamil ya tidak. Benar kata dia, mana mungkin dia hamil setelah satu minggu menikah. Lagian tidak mungkin juga mas Damar melakukan itu sebelum mereka menikah," Alesha menengahi perdebatan ka
Kukendarai mobilku sambil terus memikirkan apa yang harus aku lakukan, aku tidak mungkin mempertahankan anak ini. Bagaimana dengan Damar dan keluarganya jika mereka tahu aku hamil dengan laki-laki lain, aku tidak bisa membohongi mereka. Namun aku juga takut untuk berkata jujur. Kuparkirkan mobil di pinggir jalan, tanganku lincah membuka telpon pintar milikku. Aku mau mencari cara bagaimana caranya mengugurkan kandungan. Beberapa artikel mengatakan wanita hamil tidak boleh makan nanas muda karena bisa menyebabkan keguguran, aku akan mencoba cara ini. Jari-jariku masih dengan lincah mencarinya cara lain, ada obat jamu pelancar haid dan dijual dengan bebas. Ada komentar yang mengatakan jika dia ingin membelinya karena sudah telat satu minggu. Aku juga akan mencoba cara ini. Aku mengirim pesan pada penjual itu dan memintanya untuk mengirim dengan metode pengiriman tercepat. Penjual itu merekomendasikan untuk mengirim memakai jasa ojek online. Akupun menyanggupinya, segera membayar dan
Pintu kamar dibuka dari arah luar, segera aku masukkan kembali benda tajam itu ke dalam laci meja riasku. Pasti itu Damar sudah pulang kembali dari mencari air kelapa. Segera kuhapus air mataku, meskipun tidak yakin akan menghilang jejak tangisanku disana. Aku menatap sekilas ke arah pintu, namun kemudian menunduk tidak berani menatap kearah laki-laki yang sudah menjadi suamiku itu. "Ini minumlah ... Apa masih terasa sakit kepalanya?" tanyanya sambil menyodorkan gelas besar berisi air kelapa padaku. Aku menerimanya tanpa mengangkat kepalaku. Kugenggam gelas itu tanpa berniat untuk meminumnya."Hei, ada apa?" tanya Damar. Laki-laki itu memegang daguku yang terus saja menunduk dan mengangkat wajahku, membuatku terpaksa menatap kearahnya."Kamu menangis? apa masih sakit, ayo kita ke dokter saja!" ucapnya dengan nada panik. Kutatap laki-laki di hadapanku ini, rambut dan bajunya sedikit basah. Mungkin dia kehujanan tadi, dadaku semakin sesak melihat pemandangan di hadapanku. Rasa bers
Damar mengendarai mobil dengan tergesa-gesa, jalanan malam yang cukup sepi membuatnya bisa berkendara dengan kecepatan tinggi. Begitu merebahkan tubuhku di kursi samping kemudi dan memakaikan sabuk pengaman, dia langsung berlarian ke arah kemudi dan berkendara dengan cepat. Dia tidak memperdulikan rengekku yang memintanya untuk tidak membawaku ke dokter. Sesampainya di rumah sakit, pria yang hanya memakai celana sepanjang lutut dan kaos pendek itu segera mengendongku kembali dan membawaku ke ruangan Unit Gawang Darurat. Ah, bahkan dia tidak memperhatikan penampilannya sendiri karena menghawatirkan diriku. "Tunggulah di luar, biarkan aku bersama dokter yang memeriksaku. Ya?" pintaku memohon. Damar mengiyakan permintaanku, karena dokter juga menyuruhnya untuk menunggu di luar saja. Setelah Damar keluar, seorang dokter wanita memeriksaku. Aku bersyukur dalam hati karena diperiksa dokter wanita. Dokter dengan nametag Mira itu mulai memeriksaku, menanyakan keluhanku dan kemudian meraba
"Amel salah makan ma, entah apa yang di makan dengan teman-temannya. Semalam dia juga muntah-muntah, tapi sudah minum obat dan kedokteran juga," ucap Damar.Perkataan suamiku itu membuatku menarik nafas lega, dia bilang aku salah makan dan sudah kedokteran."Kamu makan apa sih, Amel? mau pergi bukannya jaga kesehatan malah yang enggak-enggak saja kamu ini," omel mama. "Maaf ma, mama tahu sendiri kan kalau udah kumpul sama teman-teman hebohnya seperti apa," sahutku. "Ya sudah lebih baik kamu minum obat anti mabuk ini, jika kamu tidur seperti malah nggak bakalan mabuk lagi." Mama berkata sambil menyodorkan obat mungil berwarna pink padaku. Tanpa membantahnya aku langsung menerimanya dan meminumnya, setelah itu menyandarkan punggungku dan menutup mataku. Aku berharap tidur sepanjang jalan sehingga aku tidak akan mual lagi. Sepanjang perjalanan aku memejamkan mata, bahkan saat istirahat di rest area pun aku tidak berminat untuk turun dan makan. Aku memilih untuk tetap tidur di dalam m
Acara ngunduh mantu di rumah mertuaku di gelar secara meriah, banyak kerabat dan tetangga yang datang juga. Ini lebih seperti pesta kedua di rumah mempelai pria. Semua orang datang memberikan doa restu pada pernikahan kami. Sejenak aku melupakan kepedihan dalam hatiku, menikmati kebahagiaan bersama orang-orang yang menerimaku dengan hangat.Usai acara, mama papa dan keluargaku menginap satu malam lagi di rumah ini. Mereka pulang esok harinya, meninggalkanku disini bersama Damar, suamiku. Mertuaku ingin kami tinggal dulu di sini selama satu bulan, awalnya Damar tidak setuju karena khawatir aku tidak mau. Namun aku mengiyakan, perasaanku jauh lebih tenang di tempat ini. Suasana desa yang sejuk dan asri membuat pikiranku jernih dan tubuhku tidak memperlihatkan tanda-tanda kehamilan seperti mual-mual misalnya. Hari-hari kulalui dengan mengikuti apa yang suamiku lakukan. Kadang kala aku mengikutinya ke kadang untuk memeriksa karyawannya yang mengurus peternakan milik keluarganya dengan j