Share

Mereka Keluarga yang Hangat

"Apa kamu membenciku?" tanya Damar pelan. Sepertinya dia terkejut dengan reaksi dan teriakan dariku.

Aku diam membisu, enggan sekali rasanya menjawab pertanyaannya. Aku lebih memilih untuk berdiri di samping tempat tidur, agak jauh darinya.

"Jika kamu tidak suka dengan pernikahan ini kenapa kamu menerimanya, jika kamu menolaknya aku juga tidak akan memaksa," ucapnya lagi.

"Kenapa bukan kamu yang menolaknya?" aku bertanya dengan sinis. Diakan laki-laki seharusnya lebih mudah baginya untuk menolak perjodohan.

"Aku percaya dengan pilihan orang tuaku, aku juga percaya pada orang tuamu, dan aku merasa kamu wanita yang baik dari keluarga baik-baik. Tidak ada alasan bagiku untuk menolakmu."

Ucapan pria dengan alis tebal barusan membuat rasa sakit menelusup dalam hatiku. Rasa sakit karena merasa bersalah, dia menganggapku wanita baik-baik, menganggap kedua orangtuaku berhasil mendidikku. Tapi nyatanya aku bukan wanita baik-baik lagi saat ini, setalah apa yang aku lakukan dengan kekasihku.

"Kita sudah terlanjur menikah, banyak orang yang mendoakan dan berbahagia dengan pernikahan kita, tidak mungkin kan kita akhiri malam ini karena kamu tidak menyukainya?" ucapnya lagi.

"Tentu saja tidak, papa akan mengusirku jika kita bercerai," sahutku dengan ketus. Meskipun dia menampakkan kelembutannya tapi entah kenapa hatiku masih diliputi kekesalan.

"Mana mungkin papamu mengusirmu, kamu putri satu-satunya dan dia sangat menyayangimu," ucap Damar tidak percaya.

"Mungkin saja, papa itu galak. Kamu saja yang tidak mengenalnya!" aku berkata sinis.

Dia tertawa mendengar ucapanku, tawanya memperlihatkan lesung pipinya yang nampak samar di sebelah kanan. Dia terlihat makin manis saat itu, bahkan beberapa kali bertemu dengannya aku tak pernah melihat wajahnya semanis itu.

"Sudahlah ... Aku tidak mau berdebat!" seruku.

"Mari kita jalani pernikahan ini, setahun dua tahun, aku tidak akan pernah menyentuhmu selama kamu tidak menerimaku."

Aku diam tertegun mendengar ucapannya, dia bilang tidak akan menyentuhku jika aku tidak mau. "Baguslah jika begitu," aku berkata dalam hati.

"Kemarilah ... Aku tadi hanya ingin mendoakanmu, aku harap kamu mau melakukannya. Karena seperti itulah yang di ajarkan seseorang padaku saat aku hendak menikah. Sebelum menikah, aku belajar banyak hal tentang pernikahan. Maukah kamu melakukannya?" Damar berkata sambil menepuk ranjang disampingnya.

Mendengar perkataan yang santun dan seperti memohon, mau tidak mau akupun menurutinya. Berjalan ke arahnya dan duduk di sampingnya. Setelah aku duduk tepat didepannya, dia lagi-lagi mengulurkan tangannya dan menyentuh ubun-ubunku. Tak lama kemudian dia melantunkan doa dalam bahasa Arab yang tidak aku ketahui artinya. Entah kenapa tiba-tiba saja ada perasaan berdesir terlintas dalam hatiku.

"Kamu tahu, itu tadi adalah sihir agar kamu menurut padaku." Damar berkata sambil tersenyum menatapku.

Aku melotot tidak percaya dengan ucapannya, apa benar dia melakukan sihir atau semacamnya padaku.

Melihat reaksiku dia tertawa lagi, kenapa laki-laki ini jadi sering tertawa sekarang. Tidak seperti kemarin-kemarin yang kaku dan irit bicara.

"Tenanglah aku hanya bercanda, itu bukan sihir tapi doa. Sekarang tidurlah, pasti kamu cepak. Aku tidak akan mengganggumu lagi, dan aku juga tidak akan ikut campur dengan kehidupan pribadimu jika kamu tidak berkenan."

Setelah berkata seperti itu, Damar lalu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju sisi kanan tempat tidur kemudian merebahkan dirinya disana. Meninggalkan diriku yang masih terdiam sambil menatap kearahnya. Tak lama berselang, terdengar dengkuran halus darinya, sepertinya dia langsung tertidur begitu saja.

Melihatnya tidur dengan pulas, akupun akhirnya memutuskan tidur di sisi yang lain dan memunggunginya. Lelah yang menderaku membuatku segera terlelap begitu kepalaku menyentuh bantal.

***

Aku terbangun dan mengeliat, merenggangkan otot-ototku yang terasa kaku. Kutegok ke arah samping tempatku tertidur, tidak ada lagi Damar disana. Mungkin di sudah bangun terlebih dahulu.

Akupun langsung bangun, dan ke kamar mandi. Mencuci muka laku menggosok gigi, semalam aku tidur setelah mandi dan sekarang rasanya belum ingin mandi dulu. Saat keluar dari kamar mandi, baru kusadari ternyata suamiku itu sedang duduk di balkon hotel sambil menikmati secangkir kopi.

Akupun segera menyeduh teh dan membawanya ke tempat dimana dia berada. Aku mau membicarakan sesuatu padanya. Setelah menikah aku tak mau tinggal di kampung seperti dirinya dan keluarganya. Dia yang harus menguji diriku tinggal di kota.

"Damar ...." Kupanggil namanya sambil berdiri dengan cangkir teh di tanganku.

Laki-laki itu menegakkan kepalanya menatapku begitu aku menyebut namanya.

"Duduklah ...." sahut Damar.

Akupun duduk di kursi yang berada di seberang meja mengikuti ucapannya.

"Kamu boleh memanggil hanya namaku jika kita berdua saja, tapi jika di hadapan orang-orang dan orang tuaku, bisakah kamu menyertakan embel-embel di depannya. Misalnya mas?" ucapnya sambil menatapku.

Ah dia mulai mengaturku, katanya semalam dia tidak akan ikut campur dengan urusanku.

"Kenapa?" tanyaku dengan nada ketus.

"Di kampungku, memanggil suami dengan hanya namanya saja itu tidak sopan. Sebenarnya aku tidak masalah, tapi mungkin akan bermasalah jika di dengar orang lain," ucapnya menjelaskan.

"Baiklah ...." jawabku mengiyakan.

"Satu lagi, jangan bicara ketus kepadaku juga saat bersama orang lain. Mereka akan tahu jika kamu tidak menyukaiku."

Aku memutar bola mataku malas mendengar permintaannya lagi.

"Tadi kamu mau bicara apa?" tanya Damar.

Aku terdiam dan merangkai kata di otakku terlebih dahulu, untuk meminta padanya aku tak boleh mengatakannya dengan nada ketus. Bisa-bisa dia tidak akan mau menurutinya. Bagaimanapun juga, papa pasti akan menyuruhku mengikuti kemanapun suamiku itu akan membawaku.

"Bisakah kita tinggal di kota ini saja? aku tidak bisa tinggal di desa karena tidak terbiasa," ucapku selembut mungkin.

"Bisa," sahutnya. Dia menjawab tanpa berpikir lagi.

Pandanganku yang tadinya tidak melihat ke arahnya, refleks langsung menatapnya. Kenapa dia tidak menolaknya dulu atau apa gitu.

"Aku sudah menyiapkan sebuah rumah untuk kita tempati. Di kota ini, walaupun bukan di pusat kota juga. Tapi tidak jauh kok dari rumah papa dan mamamu," ucap Damar.

Aku membulatkan mata tidak percaya. Dia sudah menyiapkan rumah untuk kami, di kota ini? Apa dia akan meninggalkan pekerjaan di kampung demi diriku. Inginku bertanya tapi bibirku enggan terbuka.

"Ayo kita sarapan, seperti semua orang sudah menunggu di restoran hotel," ajaknya.

"Tapi aku belum mandi," ucapku menolak ajakannya.

"Kamu masih wangi dan cantik, tidak mandi pun tak apa." Pria itu berkata sambil bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar.

Akhirnya akupun memilih untuk mengikutinya, pergi sarapan bersama dengan keluarganya. Sesampainya di tempat yang menyediakan makan untuk pengunjung hotel tersebut, kami di sambut oleh dua orang karyawan hotel. Mereka menanyakan nomor kamar kami, setelah Damar menyebutkannya, kami segera di persilahkan masuk ke dalam.

Ada seseorang dengan baju seragam seperti dua orang yang menyambut kami di depan hendak mencarikan kami tempat duduk. Namun Damar menolaknya dan mengajakku terus masuk kedalam, lantas memilih tempat semi outdoor dan ternyata disana sudah duduk berjejer dengan sarapan masing-masing beberapa orang kerabat Damar. Termasuk ibu dan bapaknya.

"Sini nak," ucap ibu mertuaku.

Aku bergerak mendekat padanya, lalu meletakkan tas tanganku di kursi kosong disamping wanita yang sudah melahirkan Damar itu.

"Kita makan rame-rame disini, tidak apa-apa kan?" lanjutnya bertanya.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Saya ambil makanan dulu ya, Bu," ucapku.

Setelah mertuaku mengiyakan aku segera beranjak menuju tempat makanan di hidangkan secara prasmanan. Makan dengan berbagai jenis terhidang disana. Ada bubur ayam, nasi goreng, nasi putih dan segala lauk pauknya, mie goreng, omlet, sosis panggang dan lain-lain.

Tersedia juga minuman berubah jus buah-buahan dengan berbagi jenis. Dan hidangan penutup berupa kue-kue dan puding. Setelah mengambil makanan yang aku inginkan, aku segera kembali ketempat dudukku. Terlihat Damar juga sudah duduk di kursi yang berada di sampingku.

Kami makan sambil berbincang-bincang ringan untuk mengakrabkan diri, ternyata mereka semua keluarga yang baik dan hangat. Apakah benar papa tidak salah memilihkan suami dan keluarga baru untukku.

"Apakah kalian sudah memikirkan untuk memilih keturunan?" tanya mertuaku lembut.

Aku tersedak kaget mendengar pertanyaan yang tidak aku duga dihari pertama pernikahan kami.

🍁🍁🍁

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ratu Kalinyamat
set dech tutupoin sekali
goodnovel comment avatar
Shofiah Yusuf El-Qudsi
kerren abies
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status