"Apa kamu membenciku?" tanya Damar pelan. Sepertinya dia terkejut dengan reaksi dan teriakan dariku.
Aku diam membisu, enggan sekali rasanya menjawab pertanyaannya. Aku lebih memilih untuk berdiri di samping tempat tidur, agak jauh darinya."Jika kamu tidak suka dengan pernikahan ini kenapa kamu menerimanya, jika kamu menolaknya aku juga tidak akan memaksa," ucapnya lagi."Kenapa bukan kamu yang menolaknya?" aku bertanya dengan sinis. Diakan laki-laki seharusnya lebih mudah baginya untuk menolak perjodohan."Aku percaya dengan pilihan orang tuaku, aku juga percaya pada orang tuamu, dan aku merasa kamu wanita yang baik dari keluarga baik-baik. Tidak ada alasan bagiku untuk menolakmu."Ucapan pria dengan alis tebal barusan membuat rasa sakit menelusup dalam hatiku. Rasa sakit karena merasa bersalah, dia menganggapku wanita baik-baik, menganggap kedua orangtuaku berhasil mendidikku. Tapi nyatanya aku bukan wanita baik-baik lagi saat ini, setalah apa yang aku lakukan dengan kekasihku."Kita sudah terlanjur menikah, banyak orang yang mendoakan dan berbahagia dengan pernikahan kita, tidak mungkin kan kita akhiri malam ini karena kamu tidak menyukainya?" ucapnya lagi."Tentu saja tidak, papa akan mengusirku jika kita bercerai," sahutku dengan ketus. Meskipun dia menampakkan kelembutannya tapi entah kenapa hatiku masih diliputi kekesalan."Mana mungkin papamu mengusirmu, kamu putri satu-satunya dan dia sangat menyayangimu," ucap Damar tidak percaya."Mungkin saja, papa itu galak. Kamu saja yang tidak mengenalnya!" aku berkata sinis.Dia tertawa mendengar ucapanku, tawanya memperlihatkan lesung pipinya yang nampak samar di sebelah kanan. Dia terlihat makin manis saat itu, bahkan beberapa kali bertemu dengannya aku tak pernah melihat wajahnya semanis itu."Sudahlah ... Aku tidak mau berdebat!" seruku."Mari kita jalani pernikahan ini, setahun dua tahun, aku tidak akan pernah menyentuhmu selama kamu tidak menerimaku."Aku diam tertegun mendengar ucapannya, dia bilang tidak akan menyentuhku jika aku tidak mau. "Baguslah jika begitu," aku berkata dalam hati."Kemarilah ... Aku tadi hanya ingin mendoakanmu, aku harap kamu mau melakukannya. Karena seperti itulah yang di ajarkan seseorang padaku saat aku hendak menikah. Sebelum menikah, aku belajar banyak hal tentang pernikahan. Maukah kamu melakukannya?" Damar berkata sambil menepuk ranjang disampingnya.Mendengar perkataan yang santun dan seperti memohon, mau tidak mau akupun menurutinya. Berjalan ke arahnya dan duduk di sampingnya. Setelah aku duduk tepat didepannya, dia lagi-lagi mengulurkan tangannya dan menyentuh ubun-ubunku. Tak lama kemudian dia melantunkan doa dalam bahasa Arab yang tidak aku ketahui artinya. Entah kenapa tiba-tiba saja ada perasaan berdesir terlintas dalam hatiku."Kamu tahu, itu tadi adalah sihir agar kamu menurut padaku." Damar berkata sambil tersenyum menatapku.Aku melotot tidak percaya dengan ucapannya, apa benar dia melakukan sihir atau semacamnya padaku.Melihat reaksiku dia tertawa lagi, kenapa laki-laki ini jadi sering tertawa sekarang. Tidak seperti kemarin-kemarin yang kaku dan irit bicara."Tenanglah aku hanya bercanda, itu bukan sihir tapi doa. Sekarang tidurlah, pasti kamu cepak. Aku tidak akan mengganggumu lagi, dan aku juga tidak akan ikut campur dengan kehidupan pribadimu jika kamu tidak berkenan."Setelah berkata seperti itu, Damar lalu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju sisi kanan tempat tidur kemudian merebahkan dirinya disana. Meninggalkan diriku yang masih terdiam sambil menatap kearahnya. Tak lama berselang, terdengar dengkuran halus darinya, sepertinya dia langsung tertidur begitu saja.Melihatnya tidur dengan pulas, akupun akhirnya memutuskan tidur di sisi yang lain dan memunggunginya. Lelah yang menderaku membuatku segera terlelap begitu kepalaku menyentuh bantal.***Aku terbangun dan mengeliat, merenggangkan otot-ototku yang terasa kaku. Kutegok ke arah samping tempatku tertidur, tidak ada lagi Damar disana. Mungkin di sudah bangun terlebih dahulu.Akupun langsung bangun, dan ke kamar mandi. Mencuci muka laku menggosok gigi, semalam aku tidur setelah mandi dan sekarang rasanya belum ingin mandi dulu. Saat keluar dari kamar mandi, baru kusadari ternyata suamiku itu sedang duduk di balkon hotel sambil menikmati secangkir kopi.Akupun segera menyeduh teh dan membawanya ke tempat dimana dia berada. Aku mau membicarakan sesuatu padanya. Setelah menikah aku tak mau tinggal di kampung seperti dirinya dan keluarganya. Dia yang harus menguji diriku tinggal di kota."Damar ...." Kupanggil namanya sambil berdiri dengan cangkir teh di tanganku.Laki-laki itu menegakkan kepalanya menatapku begitu aku menyebut namanya."Duduklah ...." sahut Damar.Akupun duduk di kursi yang berada di seberang meja mengikuti ucapannya."Kamu boleh memanggil hanya namaku jika kita berdua saja, tapi jika di hadapan orang-orang dan orang tuaku, bisakah kamu menyertakan embel-embel di depannya. Misalnya mas?" ucapnya sambil menatapku.Ah dia mulai mengaturku, katanya semalam dia tidak akan ikut campur dengan urusanku."Kenapa?" tanyaku dengan nada ketus."Di kampungku, memanggil suami dengan hanya namanya saja itu tidak sopan. Sebenarnya aku tidak masalah, tapi mungkin akan bermasalah jika di dengar orang lain," ucapnya menjelaskan."Baiklah ...." jawabku mengiyakan."Satu lagi, jangan bicara ketus kepadaku juga saat bersama orang lain. Mereka akan tahu jika kamu tidak menyukaiku."Aku memutar bola mataku malas mendengar permintaannya lagi."Tadi kamu mau bicara apa?" tanya Damar.Aku terdiam dan merangkai kata di otakku terlebih dahulu, untuk meminta padanya aku tak boleh mengatakannya dengan nada ketus. Bisa-bisa dia tidak akan mau menurutinya. Bagaimanapun juga, papa pasti akan menyuruhku mengikuti kemanapun suamiku itu akan membawaku."Bisakah kita tinggal di kota ini saja? aku tidak bisa tinggal di desa karena tidak terbiasa," ucapku selembut mungkin."Bisa," sahutnya. Dia menjawab tanpa berpikir lagi. Pandanganku yang tadinya tidak melihat ke arahnya, refleks langsung menatapnya. Kenapa dia tidak menolaknya dulu atau apa gitu."Aku sudah menyiapkan sebuah rumah untuk kita tempati. Di kota ini, walaupun bukan di pusat kota juga. Tapi tidak jauh kok dari rumah papa dan mamamu," ucap Damar.Aku membulatkan mata tidak percaya. Dia sudah menyiapkan rumah untuk kami, di kota ini? Apa dia akan meninggalkan pekerjaan di kampung demi diriku. Inginku bertanya tapi bibirku enggan terbuka."Ayo kita sarapan, seperti semua orang sudah menunggu di restoran hotel," ajaknya."Tapi aku belum mandi," ucapku menolak ajakannya."Kamu masih wangi dan cantik, tidak mandi pun tak apa." Pria itu berkata sambil bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar.Akhirnya akupun memilih untuk mengikutinya, pergi sarapan bersama dengan keluarganya. Sesampainya di tempat yang menyediakan makan untuk pengunjung hotel tersebut, kami di sambut oleh dua orang karyawan hotel. Mereka menanyakan nomor kamar kami, setelah Damar menyebutkannya, kami segera di persilahkan masuk ke dalam.Ada seseorang dengan baju seragam seperti dua orang yang menyambut kami di depan hendak mencarikan kami tempat duduk. Namun Damar menolaknya dan mengajakku terus masuk kedalam, lantas memilih tempat semi outdoor dan ternyata disana sudah duduk berjejer dengan sarapan masing-masing beberapa orang kerabat Damar. Termasuk ibu dan bapaknya."Sini nak," ucap ibu mertuaku.Aku bergerak mendekat padanya, lalu meletakkan tas tanganku di kursi kosong disamping wanita yang sudah melahirkan Damar itu."Kita makan rame-rame disini, tidak apa-apa kan?" lanjutnya bertanya.Aku hanya mengangguk sambil tersenyum."Saya ambil makanan dulu ya, Bu," ucapku.Setelah mertuaku mengiyakan aku segera beranjak menuju tempat makanan di hidangkan secara prasmanan. Makan dengan berbagai jenis terhidang disana. Ada bubur ayam, nasi goreng, nasi putih dan segala lauk pauknya, mie goreng, omlet, sosis panggang dan lain-lain.Tersedia juga minuman berubah jus buah-buahan dengan berbagi jenis. Dan hidangan penutup berupa kue-kue dan puding. Setelah mengambil makanan yang aku inginkan, aku segera kembali ketempat dudukku. Terlihat Damar juga sudah duduk di kursi yang berada di sampingku.Kami makan sambil berbincang-bincang ringan untuk mengakrabkan diri, ternyata mereka semua keluarga yang baik dan hangat. Apakah benar papa tidak salah memilihkan suami dan keluarga baru untukku."Apakah kalian sudah memikirkan untuk memilih keturunan?" tanya mertuaku lembut.Aku tersedak kaget mendengar pertanyaan yang tidak aku duga dihari pertama pernikahan kami.🍁🍁🍁Aku tersedak kaget mendengar pertanyaan yang tidak aku duga dihari pertama pernikahan kami. Mertuaku langsung menepuk punggungku pelan-pelan. "Maaf jika pertanyaan ibu mengganggu dan membuatmu terkejut," ucapnya sambil terus menepuk punggungku. "Dia baru lulus kuliah Bu, masa sudah suruh jadi ibu saja. Sabarlah sedikit," ucap Damar menyela perkataan ibunya."Betul juga, dia perlu banyak mengenalmu," ucap mertuaku yang ditujukan pada suamiku, Damar."Kamu harus banyak bersabar yaa nak, Damar ini anaknya agak kaku kalau dengan wanita. Dia terbiasa bergaul dengan ayam-ayam dan telur jadi tidak punya waktu dengan wanita. Beruntung papamu memberikan anak gadisnya padanya," Ucapan mertuaku itu sontak membuat orang-orang yang ada di meja kami tertawa berderai. Ekor mataku melirik ke arah sosok yang dibicarakan, dia hanya menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.Orang tua Damar memang memiliki usaha peternakan ayam petelur yang dirintis oleh kakek damar. Kata papa, usahanya itulah yang me
"Aku hamil?" ucapku lagi diiringi derai tawa. "Bagaimana bisa aku hamil padahal baru menikah satu minggu, kalian ini mengada-ada saja!" Aku membantah ucapan mereka meskipun jantungku berdegup kencang. "Yaa kali aja mas Damar mencicipi dirimu terlebih dahulu," sahut Revina sambil tertawa. "Kamu tidak hamil dengan Zay kan?" sela Ziva menyelidiki. Aku langsung terbatuk-batuk karena tersedak minuman begitu mendengar pertanyaan dari Ziva. "Kamu beneran hamil sama dia, Amel!" teriak Ziva lagi. "Astaga Ziva ... Bagaimana mungkin itu terjadi, kamu tahu kan aku hanya bertemu dia saat di kampus. Dan orang tuaku juga tidak tahu hubungan kami, kapan kami bisa melakukan hal itu? kamu kalau ngomong suka asal!" ucapku dengan nada kesal. "Sudah-sudah, kalian ini mendebatkan apa sih? kalau Amel bilang tidak hamil ya tidak. Benar kata dia, mana mungkin dia hamil setelah satu minggu menikah. Lagian tidak mungkin juga mas Damar melakukan itu sebelum mereka menikah," Alesha menengahi perdebatan ka
Kukendarai mobilku sambil terus memikirkan apa yang harus aku lakukan, aku tidak mungkin mempertahankan anak ini. Bagaimana dengan Damar dan keluarganya jika mereka tahu aku hamil dengan laki-laki lain, aku tidak bisa membohongi mereka. Namun aku juga takut untuk berkata jujur. Kuparkirkan mobil di pinggir jalan, tanganku lincah membuka telpon pintar milikku. Aku mau mencari cara bagaimana caranya mengugurkan kandungan. Beberapa artikel mengatakan wanita hamil tidak boleh makan nanas muda karena bisa menyebabkan keguguran, aku akan mencoba cara ini. Jari-jariku masih dengan lincah mencarinya cara lain, ada obat jamu pelancar haid dan dijual dengan bebas. Ada komentar yang mengatakan jika dia ingin membelinya karena sudah telat satu minggu. Aku juga akan mencoba cara ini. Aku mengirim pesan pada penjual itu dan memintanya untuk mengirim dengan metode pengiriman tercepat. Penjual itu merekomendasikan untuk mengirim memakai jasa ojek online. Akupun menyanggupinya, segera membayar dan
Pintu kamar dibuka dari arah luar, segera aku masukkan kembali benda tajam itu ke dalam laci meja riasku. Pasti itu Damar sudah pulang kembali dari mencari air kelapa. Segera kuhapus air mataku, meskipun tidak yakin akan menghilang jejak tangisanku disana. Aku menatap sekilas ke arah pintu, namun kemudian menunduk tidak berani menatap kearah laki-laki yang sudah menjadi suamiku itu. "Ini minumlah ... Apa masih terasa sakit kepalanya?" tanyanya sambil menyodorkan gelas besar berisi air kelapa padaku. Aku menerimanya tanpa mengangkat kepalaku. Kugenggam gelas itu tanpa berniat untuk meminumnya."Hei, ada apa?" tanya Damar. Laki-laki itu memegang daguku yang terus saja menunduk dan mengangkat wajahku, membuatku terpaksa menatap kearahnya."Kamu menangis? apa masih sakit, ayo kita ke dokter saja!" ucapnya dengan nada panik. Kutatap laki-laki di hadapanku ini, rambut dan bajunya sedikit basah. Mungkin dia kehujanan tadi, dadaku semakin sesak melihat pemandangan di hadapanku. Rasa bers
Damar mengendarai mobil dengan tergesa-gesa, jalanan malam yang cukup sepi membuatnya bisa berkendara dengan kecepatan tinggi. Begitu merebahkan tubuhku di kursi samping kemudi dan memakaikan sabuk pengaman, dia langsung berlarian ke arah kemudi dan berkendara dengan cepat. Dia tidak memperdulikan rengekku yang memintanya untuk tidak membawaku ke dokter. Sesampainya di rumah sakit, pria yang hanya memakai celana sepanjang lutut dan kaos pendek itu segera mengendongku kembali dan membawaku ke ruangan Unit Gawang Darurat. Ah, bahkan dia tidak memperhatikan penampilannya sendiri karena menghawatirkan diriku. "Tunggulah di luar, biarkan aku bersama dokter yang memeriksaku. Ya?" pintaku memohon. Damar mengiyakan permintaanku, karena dokter juga menyuruhnya untuk menunggu di luar saja. Setelah Damar keluar, seorang dokter wanita memeriksaku. Aku bersyukur dalam hati karena diperiksa dokter wanita. Dokter dengan nametag Mira itu mulai memeriksaku, menanyakan keluhanku dan kemudian meraba
"Amel salah makan ma, entah apa yang di makan dengan teman-temannya. Semalam dia juga muntah-muntah, tapi sudah minum obat dan kedokteran juga," ucap Damar.Perkataan suamiku itu membuatku menarik nafas lega, dia bilang aku salah makan dan sudah kedokteran."Kamu makan apa sih, Amel? mau pergi bukannya jaga kesehatan malah yang enggak-enggak saja kamu ini," omel mama. "Maaf ma, mama tahu sendiri kan kalau udah kumpul sama teman-teman hebohnya seperti apa," sahutku. "Ya sudah lebih baik kamu minum obat anti mabuk ini, jika kamu tidur seperti malah nggak bakalan mabuk lagi." Mama berkata sambil menyodorkan obat mungil berwarna pink padaku. Tanpa membantahnya aku langsung menerimanya dan meminumnya, setelah itu menyandarkan punggungku dan menutup mataku. Aku berharap tidur sepanjang jalan sehingga aku tidak akan mual lagi. Sepanjang perjalanan aku memejamkan mata, bahkan saat istirahat di rest area pun aku tidak berminat untuk turun dan makan. Aku memilih untuk tetap tidur di dalam m
Acara ngunduh mantu di rumah mertuaku di gelar secara meriah, banyak kerabat dan tetangga yang datang juga. Ini lebih seperti pesta kedua di rumah mempelai pria. Semua orang datang memberikan doa restu pada pernikahan kami. Sejenak aku melupakan kepedihan dalam hatiku, menikmati kebahagiaan bersama orang-orang yang menerimaku dengan hangat.Usai acara, mama papa dan keluargaku menginap satu malam lagi di rumah ini. Mereka pulang esok harinya, meninggalkanku disini bersama Damar, suamiku. Mertuaku ingin kami tinggal dulu di sini selama satu bulan, awalnya Damar tidak setuju karena khawatir aku tidak mau. Namun aku mengiyakan, perasaanku jauh lebih tenang di tempat ini. Suasana desa yang sejuk dan asri membuat pikiranku jernih dan tubuhku tidak memperlihatkan tanda-tanda kehamilan seperti mual-mual misalnya. Hari-hari kulalui dengan mengikuti apa yang suamiku lakukan. Kadang kala aku mengikutinya ke kadang untuk memeriksa karyawannya yang mengurus peternakan milik keluarganya dengan j
"Sejak kapan kamu bangun mas? apa aku membuatmu terbangun?" tanyaku.Aku berusaha menyembunyikan kekawatiranku, setelah menumpahkan segala keluh kesahku di atas sajadah, seperti aku tidak begitu takut lagi dengan semua yang akan terjadi. "Sejak aku mendengar isak tangis, kupikir ada kuntilanak yang masuk kedalam kamarku. Tenyata bidadari surgaku yang sedang bermunajat," jawab mas Damar antara melucu dan menyanjung. Sanjungan yang tidak pantas disandangkan padaku. "Kemarilah," ucapnya mengulurkan tangan.Aku mendekat padanya, melipat jarak diantara kami. Mas Damar meraih tanganku begitu aku sudah berada di dekatnya, lalu menyuruhku duduk disampingnya. "Kenapa menangis malam-malam begini?" tanyanya. "Enggak kenapa-napa mas, aku hanya terharu. Aku terharu dan bahagia berada diantara kalian, aku berharap bisa terus berada diantara kalian.""Tentu, kamu akan menjadi menantu kesayangan dan istri kesayanganku," sahutnya sambil memelukku. "Tidurlah lagi, pagi masih lama. Tidak baik wani