"Amel salah makan ma, entah apa yang di makan dengan teman-temannya. Semalam dia juga muntah-muntah, tapi sudah minum obat dan kedokteran juga," ucap Damar.Perkataan suamiku itu membuatku menarik nafas lega, dia bilang aku salah makan dan sudah kedokteran."Kamu makan apa sih, Amel? mau pergi bukannya jaga kesehatan malah yang enggak-enggak saja kamu ini," omel mama. "Maaf ma, mama tahu sendiri kan kalau udah kumpul sama teman-teman hebohnya seperti apa," sahutku. "Ya sudah lebih baik kamu minum obat anti mabuk ini, jika kamu tidur seperti malah nggak bakalan mabuk lagi." Mama berkata sambil menyodorkan obat mungil berwarna pink padaku. Tanpa membantahnya aku langsung menerimanya dan meminumnya, setelah itu menyandarkan punggungku dan menutup mataku. Aku berharap tidur sepanjang jalan sehingga aku tidak akan mual lagi. Sepanjang perjalanan aku memejamkan mata, bahkan saat istirahat di rest area pun aku tidak berminat untuk turun dan makan. Aku memilih untuk tetap tidur di dalam m
Acara ngunduh mantu di rumah mertuaku di gelar secara meriah, banyak kerabat dan tetangga yang datang juga. Ini lebih seperti pesta kedua di rumah mempelai pria. Semua orang datang memberikan doa restu pada pernikahan kami. Sejenak aku melupakan kepedihan dalam hatiku, menikmati kebahagiaan bersama orang-orang yang menerimaku dengan hangat.Usai acara, mama papa dan keluargaku menginap satu malam lagi di rumah ini. Mereka pulang esok harinya, meninggalkanku disini bersama Damar, suamiku. Mertuaku ingin kami tinggal dulu di sini selama satu bulan, awalnya Damar tidak setuju karena khawatir aku tidak mau. Namun aku mengiyakan, perasaanku jauh lebih tenang di tempat ini. Suasana desa yang sejuk dan asri membuat pikiranku jernih dan tubuhku tidak memperlihatkan tanda-tanda kehamilan seperti mual-mual misalnya. Hari-hari kulalui dengan mengikuti apa yang suamiku lakukan. Kadang kala aku mengikutinya ke kadang untuk memeriksa karyawannya yang mengurus peternakan milik keluarganya dengan j
"Sejak kapan kamu bangun mas? apa aku membuatmu terbangun?" tanyaku.Aku berusaha menyembunyikan kekawatiranku, setelah menumpahkan segala keluh kesahku di atas sajadah, seperti aku tidak begitu takut lagi dengan semua yang akan terjadi. "Sejak aku mendengar isak tangis, kupikir ada kuntilanak yang masuk kedalam kamarku. Tenyata bidadari surgaku yang sedang bermunajat," jawab mas Damar antara melucu dan menyanjung. Sanjungan yang tidak pantas disandangkan padaku. "Kemarilah," ucapnya mengulurkan tangan.Aku mendekat padanya, melipat jarak diantara kami. Mas Damar meraih tanganku begitu aku sudah berada di dekatnya, lalu menyuruhku duduk disampingnya. "Kenapa menangis malam-malam begini?" tanyanya. "Enggak kenapa-napa mas, aku hanya terharu. Aku terharu dan bahagia berada diantara kalian, aku berharap bisa terus berada diantara kalian.""Tentu, kamu akan menjadi menantu kesayangan dan istri kesayanganku," sahutnya sambil memelukku. "Tidurlah lagi, pagi masih lama. Tidak baik wani
"Jadi begini bapak dan ibu, ibu Amelia ini mengalami Kehamilan kosong (blighted ovum). Yaitu dimana kondisi terbentuknya kantung kehamilan, tapi tidak terdapat embrio di dalamnya. Hal ini terjadi apabila sel telur di dalam rahim sudah dibuahi, tapi tidak berkembang ke tahap selanjutnya menjadi embrio (bakal janin)." Dokter itu menjeda ucapannya dan menatap ke arah kami, sepertinya memastikan jika penjelasannya dapat kami mengerti."Pada kasus janin tidak berkembang, sel telur yang telah dibuahi (zigot) gagal membelah diri menjadi embrio. Kehamilan kosong juga bisa terjadi ketika pembelahan sel zigot berhenti setelah menempel pada dinding rahim. Penyebab janin tidak berkembang adalah kelainan kromosom pada zigot. Hal ini bisa jadi karena kualitas sel telur atau sperm* yang kurang baik."Maksudnya sel telur istri saya atau sperm* saya yang mungkin kurang bagus, Dokter?" sela mas Damar memotong perkataan dokter itu."Tidak pak, itu hanya salah satu faktor saja. Untuk mengetahuinya harus
"Mas ...." kupanggil namanya. Kenapa tidak ada respon apapun darinya, tidak marah atau apa tapi diam saja. Aku berbalik dan menghadap padanya, dan ternyata dia tertidur. Pasti dia tidak mendengar apa yang aku katakan. Ada rasa lega di dadaku, entah kenapa aku tidak rela jika harus berpisah dengan laki-laki ini. Apakah taubatku sekarang tidak bisa menjadikanku bersamanya? Ku dekatkan tubuhku padanya, aku memeluk tubuh tegap suamiku. Entah sampai kapan aku akan mendapatkan kesempatan untuk bisa bersamanya seperti ini.***Usahaku untuk berbicara dengan mas Damar belum terwujud juga, belum ada kesempatan lagi untuk melakukannya. Semakin aku mengulur waktu, semakin aku tak ingin mengatakannya. Apa aku mencari pendapatan dari seseorang saja ya. Terlintas nama Alesha dalam pikiranku, dari ketiga temanku, dialah yang paling Solehah, dia yang paling banyak mengerti ilmu agama dan hanya dia juga yang memakai kerudung. Selain itu, di rumahnya juga sering diadakan pengajian. Segera ku hubungi
"Apa yang kamu katakan, Amelia. Kamu sedang bercanda kan? Ini masih termasuk ulahmu untuk ngerjain aku kan?" Mas Damar berkata sambil membingkai wajahku. Hatiku semakin sakit melihat semua ini. Oh Allah ... kenapa begitu berat hukuman yang harus kuterima karena satu kesalahanku. Aku melukai orang yang kucintai, andai dulu rasa cinta pertamaku jatuh padanya, pasti semua akan berakhir bahagia."Tidak mas, aku berkata yang sebenarnya," ucapku sambil terisak. Bulir bening menetes dari netraku tanpa bisa aku tahan lagi. "Katakan yang jelas padaku, Amelia. Jelaskan semua biar aku mengerti," ucap mas Damar.Tubuhnya terhuyung ke belakang menjauhiku, dan pada akhirnya dia duduk di sisi tempat tidur. Aku tidak berani mendekatinya, tubuhku merosot dan bersandar pada dinding kamar kami."Aku sudah melakukan hal yang tidak terpuji tepat sebulan sebelum kita menikah. Aku telah berbuat zina, aku melakukannya karena ...."Ku ceritakan semuanya tanpa ada yang tertinggal, persisi seperti yang telah
"Damar tidak pulang apa? kok mama nggak lihat dari tadi. Mama juga nggak dengar suara mobilnya pulang atau pergi," ucap mama bertanya.Saat ini kami sedang asyik berdua membuat sarapan di dapur. Nah kan, mama mulai curiga. Apa yang harus aku lakuin, lebih baik aku jujur sama mama. Beliau selalu menyayangiku, pasti tidak akan terlalu marah padaku. "Sebenarnya sudah satu bulan mas Damar tidak pernah pulang ma," jawabku. "Apa maksudmu sudah satu bulan Damar tidak pulang, apa dia mengabaikan dirimu?" tanya papa. Entah dari mana datangnya tau-tau papa sudah berada di belakang kami. Tidak biasanya papa akan pergi ke dapur seperti sekarang ini. Aku dan mama refleks menoleh ke arah papa. "Bukan apa-apa pa," jawabku. "Bukan apa-apa bagiamana? kamu papa nikahkan dengan laki-laki itu agar dia menjagamu, bukan malah membiarkan dirimu tinggal sendirian di rumah sebesar ini. Apa dia mulai berulah lagi seperti saat masih remaja dulu, suka pergi dan susah di atur." papa masih terus mengomel."Am
Aku segera pergi dari tempat itu, tidak mau berprasangka apapaun pada mereka. Apa Alesha sedang membantuku untuk membujuk mas Damar? Ku langkahkan kakiku semakin menjauhi tempat itu, aku akan menelpon Alesha begitu jarak ku dan tempat mas Damar bekerja tidak dekat lagi. Sampai di sebuah halte, aku beristirahat melepas lelah. Bisa-bisanya aku berjalan sejauh ini, hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Belum lagi aku berjalan sambil menyeret koper. Setelah duduk dengan tenang, aku mencari smartphone milikku di dalam tas tangan yang aku bawa. Segera ku telepon Alesha, kupikir dia tidak bekerja hari ini. "Halo Amelia, ada apa?" sapa Alesha setelah saling berbalas salam tapi aku terus diam membisu. "Aku diusir papa, tidak boleh tinggal di rumah mas Damar maupun pulang ke rumah papa," sahutku pelan."Kamu dimana sekarang? aku akan menjamin," ucap Alesha dari seberang telepon. "Aku di halte bus, aku kirim alamatnya yaa." Setelah mematikan sambungan telepon, aku segera mengiri