Share

6. Derita Embun

Hubungan pertemanan antara Safia dan Embun tetap terjalin baik. Baik Safia maupun Jevin masih menyimpan rahasia perjodohan mereka pada Embun. Dan keduanya juga pandai bergelagat jika di depan Embun. Jevin yang datar pada Safia, serta Safia yang juga selalu menjaga jarak jika mereka bertiga bertemu.

Sore itu setelah pekerjaan menumpuknya telah usai, Safia memutuskan untuk pulang. Dan seperti biasa, dirinya ke luar kantor bersama Embun. Begitu tiba di lobby kantor gadis itu sedikit merasa heran. Karena dia melihat ada Bu Jenni yang tampak tengah duduk menunggu seseorang. Lalu begitu melihat dia dengan Embun, wanita itu bangkit dan mendekat.

"Embun, ayo kita pulang bareng. Ada hal penting yang ingin tante bicarakan dengan kamu," ajak Bu Jenni datar dan tanpa memedulikan Safia.

"Emm ... iya. Baik, Tante," balas Embun sedikit gugup.

Embun memang selalu merasa canggung jika berhadapan dengan Mama Jevin. Dirinya menyadari kalau calon mertuanya itu memang tidak menyukainya. Alasannya kenapa Embun tidak mengerti.

Dengan dagunya wanita itu menyuruh Embun masuk ke dalam mobil Alphard hitamnya.

"Itu mamanya Jevin," bisik Embun pada Safia. Safia tersenyum kecut menanggapi. Embun masih belum tahu kalau Safia sudah mengenal Bu Jenni. "Aku jalan dulu, ya. Bye," pamit Embun pada Safia dengan sedikit rasa takut.

Gadis itu berlalu mengikuti langkah Bu Jenni yang sudah dulu mendahuluinya. Sebelum masuk mobil, Embun melambaikan tangan pada Safia. Raut ketegangan terpancar dari wajah lembut itu.

Safia membalas lambaian tangan Embun dengan termenung. Dirinya hanya mampu memandang kepergian dua wanita itu dengan perasaan yang bercampur aduk tidak menentu. Ada rasa takut yang menyergap hati. Takut kalau Bu Jenni sampai berbuat sesuatu pada Embun. Jika demikian ia pasti akan merasa bersalah. Namun, ia bingung harus berbuat apa. Akhirnya, setelah mendesah perlahan Safia melangkah menuju halte bus.

*

Sementara itu, dengan kikuk Embun duduk di samping Bu Jenni. Di  sepanjang perjalanan kedua wanita itu saling diam seribu bahasa. Bu Jenni yang lurus menatap ke depan tanpa ekspresi, sedang Embun yang diam menunduk takut. Sesekali membuang pandangan ke jalanan guna menentramkan hati. Dua puluh menit berlalu, sang sopir menghentikan kendaraannya di sebuah kafe.

"Ayo turun, Embun!" ajak Bu Jenni masih datar.

"Iya," sahut Embun santun.

Keduanya turun dari mobil. Sama seperti sebelumnya Embun berjalan di belakang Bu Jenni saat masuk kafe. Hati gadis itu diliputi berbagai pertanyaan. Ada apa gerangan? Kenapa tiba-tiba Mamanya Jevin ingin berbicara dengannya?

Bu Jenni memilih meja nomer 20 yang terletak di sudut kafe. Sedikit lebih sepi. Wanita itu dengan tenang menyuruh Embun duduk.

Ketika keduanya telah duduk di sebuah kursi empuk berwarna merah, dengan anggun Bu Jenni mengawai seorang pelayan. Pelayan perempuan dengan seragam warna hitam mendekat. Bu Jenni lantas memesan minuman. Wanita itu menanyakan minuman apa yang diinginkan oleh Embun. Gadis di hadapan menjawab kalau dia memesan jus mangga susu.

"Jus mangga susu dua ya, Mbak," pesan Bu Jenni pada pelayan. Pelayan gadis itu mengangguk dan mencatat. "Sama dua porsi pisang goreng cokelat keju, ya," tambah Jenni.

"Baik, Bu. Mohon tunggu sebentar, ya" pinta pelayan itu ramah. Usai berkata seperti itu sang pelayan berlalu.

Tidak sampai sepuluh menit, pesanan Bu Jenni datang. Pelayan perempuan itu menyajikan dengan ramah. Setelah mempersilahkan, gadis itu pun kembali berlalu.

"Sebelumnya tante mau minta maaf, bila kedatangan Tante membuatmu terkejut," ucap Bu Jenni memulai obrolannya usai pelayan itu pergi.

"Ya, Tante," balas Embun disertai senyum tipis. Hati Embun masih takut. Untuk menutupi kegugupan hati gadis itu menyeruput jus mangga susunya.

"Tante tahu kalian saling mencintai sejak dulu," ujar Bu Jenni menatap lurus kekasih putranya. "Bahkan berulang kali Jevin bilang ke Tante kalo mau menikahi dirimu." Wanita itu menghentikan ucapannya. Dia menyesap minuman yang sama dengan Embun.

"Namun, berulang kali pula tante menolaknya," tutur Bu Jenni sembari menaruh gelas berkaki yang isinya masih tiga perempat itu ke meja kembali. "Kamu tahu kenapa?" tanya Bu Jenni menatap muka Embun dingin. Embun sendiri terlihat mulai memucat. Gadis itu menggelengkan pelan dan tampak bermuram durja.

"Karna Jevin sudah Tante jodohkan." Bu Jenni menjawab pertanyaannya sendiri.

"Dijodohkan? Dengan siapa Tan- te?" tanya Embun bergetar kaget. Sungguh ia tidak menyangka kalau Jevin sudah dipersiapkan jodohnya oleh sang Bunda. Otomatis kesempatan dirinya untuk berdampingan hidup dengan sang kekasih amatlah tipis.

"Dengan seorang gadis yang telah menyelamatkan nyawanya dulu," jawab Bu Jenni lugas. "Gadis yang merelakan kepalanya tertembak peluru demi melindungi Jevin," lanjut Bu Jenni mengenang.

"Gadis yang telah kehilangan ayahnya dikarenakan pria itu berjuang menolong Papa Jevin," tambah Bu Jenni dengan mata yang menerawang. Embun mendengarkan dengan seksama. Bibir bawahnya ia gigit sembari menyimak tuturan Bu Jenni guna menguatkan hati.

"Kalo bukan karena pertolongan gadis itu, mungkin sekarang kau takkan pernah mengenal anakku." Bu Jenni kembali menatap Embun. Embun sendiri hanya mampu menunduk mendengar penuturan Mama Jevin.

"Embun ...." Bu Jenni meraih jemari gadis di depannya. Meremasnya pelan.  "Kamu gadis yang cantik dan juga baik," puji Bu Jenni selanjutnya. " Tante yakin Allah pasti sudah menyiapkan lelaki yang terbaik untukmu. Tapi itu bukan Jevin." Bu Jenni menekankan suaranya saat menyebut nama Jevin.

"Tapi ... tapi Tante, saya dan Jevin saling mencintai. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Begitu pun sebaliknya," sela Embun memberanikan diri. Walau kini kedua kelopak matanya mulai memanas.

"Tolong jauhi Jevin!" Bu Jenni memerintah. "Biarkan kami membalas budi gadis itu. Serta menunaikan kewajiban kami untuk memenuhi janji Papa Jevin, yaitu menikahkan Jevin dengan gadis itu," papar Bu Jenni tegas.

"Tante ... aku sungguh sangat mencintai Jevin. Aku ... aku gak bisa-"

"Sekali lagi tolong jauhi Jevin, Embun!" potong Bu Jenni cepat. Kali ini wanita itu menatap tajam gadis yang mulai berurai air mata.

"Kenapa Tante kejam begini," rutuk Embun serayamenggeleng-gelengkan kepala.

"Maaf, Tante bukannya kejam, tapi Tante hanya menjalankan amanat." Bu Jenni membalas dengan pelan. Sesungguhnya dirinya merasa iba melihat Embun terisak seperti itu. Namun, amanat suaminya tetap harus dijalankan.

Akhirnya, wanita kaya itu melangkahkan pergi. Setelah meletakan dua lembar uang pecahan beragam di meja guna membayar pesanan mereka. Bu Jenni berlalu meninggalkan Embun yang masih tersedu dalam tangisnya.

Lama Embun menangis seorang diri di kafe itu. Dirinya tidak peduli menjadi santapan mata-mata pengunjung kafe yang lain. Hatinya amat sedih. Hubungannya dengan pria yang amat ia cintai itu tidak mendapat restu. Lalu setelah puas menangis dan menyusut sudut matanya, Embun pun berjalan pergi ke luar kafe.

Gadis itu berjalan tanpa arah dan gontai. Masih terdengar isakan tangisnya, ketika dia berjalan.

TIINNN TIN

Suara klakson motor membuat gadis itu menepikan jalannya yang kacau.

"Woy ... mau mati lu ye!!!" umpat pengendara motor pada Embun. Karena gadis itu berjalan di tengah jalan tanpa sadar. Untung pengendara motor itu pintar mengontrol laju kendaraan. Sehingga tidak terjadi kecelakaan.

Pengendara motor itu mengacungkan jari tengah ke arah Embun. Namun, gadis itu hanya diam. Dia tak membalas umpatan pengendara motor itu. Ketika melihat taxi lewat, Embun menyetop taxi tersebut. Gadis itu menyebut alamat Safia ketika sopir taksi menanyakan tujuan.

***

Safia tengah menyisir rambutnya di depan cermin besar hiasnya. Tiba-tiba terdengar ada gedoran pintu. Segeragera gadis bertinggi badan seratus enam puluh centimeter itu bangkit dari duduknya. Pelan ia meraih gagang pintu.

Begitu pintu terbuka, seseorang langsung menyeruak masuk. Dan segera memeluk tubuh Safia dengan cepat dalam tangisnya. Safia sedikit terhuyung karena ditubruk oleh sosok yang begitu semampai, yaitu Embun.

"Ada apa, Bun?" tanya Safia heran mendapati kawannya bersimbah air mata dan tersedu-sedu. Dia lantas mengajak Embun duduk di tepi ranjang.

"Mamanya Jevin ... dia ... ia memutuskan hubunganku dengan anaknya, Fi," jawab Embun terisak sedih. Kembali Embun memeluk Safia erat.

"Maksudnya gimana?" tanya Safia tak mengerti. Gadis itu mengurai pelukan. Dia bangkit berjalan menuju nakas untuk mengambil sekotak tisu.

"Mama Jevin menyuruhku untuk menjauhi Jevin," cerita Embun sembari menerima tisu tersebut, lantas mengelap mata dan pipi basahnya. "Bu Jenni bilang Jevin sudah dijodohkan dengan seseorang," lanjut Embun kembali terisak.

"Bukan Jevin yang memutuskanmu?" Safia menatap Embun iba.

"Bukan," sahut Embun terguncang.

Sesaat kemudian Embun seperti tersadar lantas berujar," Ah ... ya aku mau menemui Jevin." Embun menatap Safia pasti. "Akan kutanyakan siapa sebenarnya gadis yang dijodohkannya itu."

Embun menghapus air matanya. Lalu tanpa menunggu Safia bicara, gadis itu berlalu. Safia termangu menyaksikan itu.

"Bagaimana reaksi Embun saat tahu kalo gadis yang hendak dijodohkan dengan Jevin adalah aku?" cemas Safia bingung. "Apa yang harus kuperbuat?" Safia menjatuhkan diri di ranjang. "Kenapa harus serumit ini?!" rutuknya sembari meremas seprai ranjang.

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status