Siang ini udara terasa panas, tapi tak sedikit pun menyurutkan niat untuk bertemu Devi sahabatku. Tadi aku sudah bikin janji dengannya.
Devi langsung membuka pintu sesaat setelah aku mengucap salam. Ia tampak senang dengan kehadiranku. Kami memang sudah cukup lama tidak ketemu karena kesibukan masing-masing. “Masuk yuk, Din!” ajaknya sambil menggandeng tanganku. Segera kuletakkan bokongku pada sofa yang ada di ruangan ini. Devi kemudian pergi sebentar lalu kembali dengan dua gelas minuman di tangannya.“Tumben banget muka kamu kusut begitu, Din?” tanya Devi. “Iya nih, habis dihajar.” sahutku. Tanganku bergerak cepat menyambar gelas di depanku lalu meneguk isinya hingga sisa separuhnya saja.“Dihajar sama siapa?” desaknya. “Dihajar sama kenyataan,” sahutku sembari melebarkan tawa. Mendengar jawabanku, Devi langsung mencubit pinggangku. Ia memasang wajah kesal. “aku serius nanya Din!” sungutnya kemudian.“Iya... iya...” Aku mencoba bersikap serius, “ aku lagi banyak masalah, Dev.”“Masalah apa? Kayaknya serius banget,” cecarnya kemudianAku mulai menceritakan tentang perselingkuhan yang telah dilakukan mas Arga. Mulai dari salah sebut nama sampai pesan di ponsel suamiku. Kami memang sangat akrab, jadi aku enggak perlu sungkan untuk meminta pendapatnya. “enggak nyangka ya, Arga yang kelihatannya alim doyan selingkuh juga!” geram Devi. “Aku juga enggak nyangka, tapi kenyataannya memang seperti itu, Dev,” keluhku dengan raut sendu.“Terus sekarang kamu mau bagaimana?” tanya Devi. “Aku akan menuntut cerai,” jawabku, “Tapi sebelum itu aku ingin membalas perbuatan mas Arga.Tak terasa bulir bening menetes dari sudut mataku. Sekuat apa pun, aku tetaplah seorang perempuan, yang rapuh hatinya saat dikhianati. Bohong jika mengatakan tak apa-apa di saat suami mendua. “Kamu sudah punya rencana?” lanjutnya.“Rencana sudah ada, tinggal eksekusi saja, api aku butuh bantuan kamu,” sahutku. “Rencananya kaya apa? Terus aku bantuin apa?” tanya Devi lagi. “aku akan membuat alat vital mas Arga jadi enggak berfungsi. Makanya aku datang kesini. Aku mau minta ramuan yang dulu kamu kasih buat suamimu.” Jelasku.“Oh, itu sih gampang,” ujar Devi “tunggu sebentar!” Ia lalu beranjak ke dalam. Entah apa yang dia lakukan di dalam sana. Tak lama kemudian ia kembali dengan sebuah botol kecil di tangannya.“Campurkan air ini pada minuman suamimu. Dijamin hasilnya pasti mengejutkan.” Ucapnya sambil memberikan benda itu padaku. Kuamati botol kecil yang sudah berada di tanganku. Tidak kutemukan sesuatu yang istimewa pada benda ini. Isinya hanya air putih saja. Apa Devi sedang bercanda?“Sebenarnya ini air apa sih , Dev?” tanyaku penasaran. “Itu ramuan ajaib," jawabnya sambil cengengesan. “Kamu dapat dari mana? Magic apa klinik?” tanyaku lagi. “Itu rahasia Din, yang penting sekarang kamu bisa membalas perbuatan suami kamu,” sahut Devi.“Kamu yakin hanya dengan air seperti ini bisa membuat mas Arga jadi loyo?” “Aku sudah membuktikannya kok, tapi efeknya enggak permanen.” Jelasnya. “Apa air ini langsung bereaksi?” “ Enggak, sekitar satu sampai dua minggu baru kelihatan hasilnya.” Papar Devi.Aku menyeringai jahat sambil menatap botol di tanganku. “Kamu akan segera menerima balasanmu, Mas!” batinku.Setelah itu, kami kembali melanjutkan obrolan. Aku dan Devi menyusun rencana tambahan agar mas Arga dan keluarganya semakin menderita. tanpa sadar, waktu sudah beranjak sore. aku segera pamit untuk pulang. Tidak lupa kubawa ramuan rahasia pemberian sahabatku ini. Semoga saja bisa membuat mas Arga menyesal telah menyakitiku. Sesampainya di rumah, aku langsung di sambut oleh mas Arga. Matanya mendelik menatapku. “Kamu bisa nyuci enggak!” bentaknya tanpa basa-basi. Aku tercengang dengan pertanyaan suamiku. Kok dia tiba-tiba bahas masalah cuci-mencuci. Biasanya saja enggak pernah bahas itu. “Ya bisa lah,Mas. Memangnya kenapa sih?” tanyaku penuh keheranan. “Kalau bisa kenapa bagian sensitifku bisa kepanasan seperti ini. Kamu nyucinya pakai sabun apa pakai cabai sih?” berangnya kemudian. Kontan aku menahan tawa saat mendengar penjelasan suamiku. Aku baru ingat kalau aku sudah taburi pakaian dalam mas Arga dengan bubuk cabai. Ternyata efeknya ampuh juga.“Maaf, Mas!” sahutku dengan tertunduk. Mungkin dia pikir aku takut karena dimarahi, padahal aku menunduk sedang menahan tawa.Tak cukup sampai di situ, Mas Arga kembali mencari kesalahanku, mungkin dia sedang kecewa karena gagal bertemu dengan selingkuhannya.“Dari mana saja kamu!” hardiknya kemudian.“Dari rumah teman, Mas,” sahutku dengan merendahkan suara.“Oh, jadi begini kelakuan kamu tiap hari. Ternyata benar apa yang diceritakan ibu. Saat aku enggak di rumah kamu sibuk keluyuran, sedangkan ibu disuruh beresin rumah,” tuduh mas Arga.Kulirik mertuaku yang tengah tersenyum licik. Bisa-bisanya dia memutar balikkan fakta, padahal sebenarnya ibulah yang suka keluyuran enggak jelas. La kok malah jadi aku yang di salahkan.“Enggak kok, Mas. Tadi semua sudah beres saat aku pergi,” kilahku.“Beres dari mananya? Mau makan saja enggak ada lauk!” ungkap suamiku. Aku terkejut mendengar keterangan mas Arga. Tadi sebelum pergi aku sudah masak banyak, tapi kok sekarang bisa habis. Pasti ini ulah ibu mertuaku. “Ya sudah, nanti aku belikan saja lauk kesukaanmu.” Tak ingin terus berdebat akhirnya aku mengalah. Seolah-olah aku mengakui kesalahan itu. “Sekalian buat ibu sama Anggi ya, Din!” seru ibu saat aku hendak beranjak. Aku hanya mengangguk malas lalu segera meluncur mencari makanan kesukaan mas Arga. Tak butuh waktu lama, aku sudah mendapat rendang sapi beserta sayur nangkanya. Suamiku memang pencinta masakan padang. Segera kuhidangkan makan malam setelah aku sampai di rumah. Mereka bertiga makan dengan sangat lahap, sedangkan aku hanya memperhatikan mereka saja. “Ini baru namanya makanan enak!” celetuk Anggi di sela makannya. “Emang biasanya makannya enggak enak?” tanyaku.“Ya jelas enggaklah! Wong tiap hari Cuma tempe tahu tempe tahu. Bosan!” sahut Anggi. Aku menggelengkan kepala mendengar ucapan adik iparku. Anehnya, mas Arga dan ibu sama sekali tidak menegur Anggi seolah membenarkan ucapannya. Dasar keluarga tak punya etika! Hari ini kalian masih bisa ngomong begitu, besok bisa jadi kalian kelaparan kalau aku sudah enggak di sini. “Kamu enggak ikut makan, Dek?” tanya mas Arga saat menyadari aku hanya duduk memperhatikan mereka makan. “Sudah kenyang, Mas!” bohongku. “Kenyang makan hati” lanjutku dalam hati. Aku tersenyum simpul saat melihat mas Arga meminum air yang sudah bercampur dengan ramuan rahasia pemberian sahabatku. Rencana jahatku berjalan sesuai rencana. Sekarang aku tinggal menunggu ramuan tersebut bereaksi. “Lihat saja seminggu lagi, Mas! Selingkuhanmu pasti tak akan mau menerimamu lagi,” batinku.**** Kira-kira sukses apa enggak ya rencana Dinda??“Nggi, bantuin Mbak beresin meja dong,” pintaku pada Anggi, adik iparku setelah mereka selesai makan.“Emangnya kamu enggak bisa lakukan sendiri, Dek?” Mas Arga langsung menyambar ucapanku.“Bisa sih bisa Mas, tapi kalau ada yang bantuin kan jadi lebih cepat selesai,” jelasku. “Kalau bisa sendiri, kenapa mesti minta Anggi yang melakukannya?” tanya Mas Arga. “Aku Cuma minta bantuan doang, Mas! Lagian juga enggak tiap hari,” jawabku kesal. Kadang Aku heran sama suamiku. Kalau aku minta Anggi untuk membantu pekerjaan rumah, pasti dia langsung protes. Ujung-ujungnya aku sendiri yang mengerjakannya. “Aku mau ngerjain tugas dulu, Mbak! “ Adik iparku yang sedari tadi hanya diam kini mulai membuka suara. Sayangnya, ia berkata sambil pergi ke kamarnya. Aku hanya menghembuskan nafas kasar melihat tingkahnya.“Itu kan sudah kewajiban kamu sebagai istri!” timpal ibu, “Jadi jangan malas!” “Siapa juga yang malas, Bu? Bukankah aku setiap hari melakukan kewajibanku?” Aku membantah tuduhan ib
Mentari pagi tampak cerah bersinar. Namun, cahayanya tak cukup hebat untuk menghangatkan hati yang terluka karena cinta. Semalam, setelah Mas Arga membuang bukti transfer, ia kembali ke kamar dengan wajah kusut. Entah apa lagi yang ia sembunyikan dariku. Hari ini dia tidak masuk kerja. Katanya sih alat vitalnya masih berasa enggak nyaman. Sampai begitu parahkah efek bubuk cabai yang kuberikan? Salah sendiri asal bercocok tanam!Aku segera menghubungi Devi, sahabatku. Menurutku ini saat yang tepat untuk melancarkan misi selanjutnya. “Iya, Din.” Terdengar suara Devi saat panggilan kami terhubung. “Hari ini mas Arga di rumah, bisa datang sekarang?” tanyaku. “Oke... satu jam lagi kami sampai,” sahut Devi. “Aku tunggu ya...” Aku mengakhiri panggilan ini setelah memberi kabar pada Devi.**** Saat aku, Mas Arga dan Ibu sedang berkumpul di ruang keluarga, samar terdengar suara ketukan pintu tiga kali disertai ucapan salam.“Kayaknya ada tamu deh, Din. Coba kamu lihat ke depan,” perinta
Kutatap lekat sang rembulan melalui jendela kamar. Meskipun masih terlihat seperti biasanya, tapi bias sinar temaramnya tak lagi mampu tenangkan hati yang kecewa. Terluka karena sebuah pengkhianatan yang disengaja. Perlahan, langkahku bergeser menuju meja rias yang ada di sudut ruangan. Lalu duduk menatap cermin yang tengah memantulkan bayanganku. Dari sana kuamati wajah yang tampak lesu. Kalau diperhatikan, wajahku masih tetap cantik seperti biasanya. Hanya saja, tak terlihat make-up tebal menghiasinya. Bentuk tubuhku juga masih seksi. Dengan berat 50 kg dan tinggi 168 sentimeter, menurutku cukup ideal. Tapi mengapa Suamiku masih saja mendua? Dari pantulan cermin, kulihat Mas Arga mendekat padaku. Tangannya langsung memelukku dari arah belakang. Sebuah ciuman ia daratkan di tengkukku hingga bulu romaku merinding. Aroma parfum yang ia gunakan seolah mampu membius saraf. Jantungku berdegup hebat. Hampir saja aku terbuai oleh perlakuan darinya.“Kamu cantik sayang...” puji Mas Arga,
“Cepat katakan, Mas!” Aku kembali mencecar suamiku karena dia tak kunjung memberi jawaban.“Tadi aku traktir teman-teman, Dek,” jawabnya kemudian. “Teman siapa?” tanyaku lagi. Aku merasa janggal dengan jawaban yang diberikan oleh Mas Arga. Setahuku, dia belum pernah mentraktir temannya. Kok tiba-tiba sekarang dia melakukan itu. Angin apa yang sudah mengubah kebiasaannya.“Ya temanlah!” sahut mas Arga sewot. Ia tampak tak suka aku terus menanyainya. “Aku kan sudah bilang, uangnya buat belanja besok.. kenapa masih saja dihabiskan!” Dengan sedikit menahan emosi, aku mengingatkan suamiku. “Kan bisa pakai uang kamu dulu.” Jawab suamiku. “Uang dari mana, Mas? Kamu aja ngasihnya enggak genap satu juta!” protesku. “Sudahlah, Dek. Aku males berdebat terus.” Ucap Mas Arga. Ia kemudian menenggelamkan wajahnya pada bantal. Melihat kelakuan suamiku, rasanya sudah enggak sabar ingin meminta pisah. Tapi aku harus bertahan sebentar lagi untuk memastikan kebanggaan mas Arga tak lagi berfungsi.
Dengan semangat empat lima aku pergi meninggalkan rumah ini. Dalam hatiku aku berniat mengunjungi sahabatku. Siapa lagi kalau bukan Devi. Dia selalu menjadi tujuanku di setiap waktu luang.Sesampainya di rumah Devi, aku disambut dengan peluk cium sahabatku. Ia tampak heran karena enggak biasanya aku datang tanpa mengabari dulu. “Kamu rapi banget, Din! Kaya mau travelling aja,” puji Devi sambil memperhatikan penampilanku. “Biasa aja kali...” sahutku, “Hari ini kamu ada acara enggak, Dev?”“Enggak kok, emangnya kenapa kamu tanya begitu?” “Temenin aku yuk, stres di rumah terus!” ungkapku. “Ke mana?” tanya Devi lagi. “Terserah kamu saja!” jawabku sambil mengangkat kedua bahu. “Oke, tunggu sebentar. Aku ganti pakaian dulu,” sanggupnya. Ia pun lalu beranjak meninggalkan aku yang kini duduk di teras sendirian. Beberapa saat kemudian, Devi keluar dengan pakaian yang sudah berganti. Wajahnya terlihat cantik dengan make-up tipis menghiasinya. “Sudah siap?” tanyaku. Ia menunjukkan jempo
Belum sempat pergi jauh dari mereka, telingaku menangkap bunyi ketukan pintu beberapa kali. “Coba kamu lihat ke depan, Din! Kayaknya ada tamu, “ titah mertuaku. Dengan terpaksa aku menuruti perintah Ibu. Padahal sebenarnya aku sudah ingin beristirahat. Akhirnya kuayunkan langkah malas menuju sumber suara yang tadi terdengar. Seorang pria dengan perawakan lumayan tinggi, berdiri tepat di hadapku sesaat setelah aku membuka daun pintu. Wajahnya putih bersih dengan kumis tipis menghiasi. “Kirana...” Pria itu menggumam lirih sembari menatap lekat padaku. “Anda siapa?” tanyaku dengan menautkan kedua alis. Sejenak kuperhatikan wajah pria di hadapanku sambil menajamkan ingatan. Memang benar nama lengkapku Dinda Kirana, tapi yang bikin heran, dari mana pria ini bisa tahu nama belakangku. Apakah dia mengenalku? Tanpa disengaja, netra kami saling beradu pandang hingga akhirnya sama-sama membuang muka. Hatiku masih terus bertanya-tanya siapa sebenarnya orang ini.“Benar ini rumah Arga?” B
Lima hari sejak kejadian petang itu, aku masih mendiamkan mas Arga. Semua pekerjaan rumah kuabaikan kecuali mencuci pakaian, itu pun hanya pakaianku sendiri. Biasanya aku mencuci pakaian semua penghuni rumah. Meski Ibu mertuaku sering marah gara-gara enggak masak, aku tak lagi memedulikan ocehannya. Biar saja dia makan di luar. Toh, ibu juga masih pegang uang hasil pinjam kemarin.Seperti biasanya, sejak pagi aku pura-pura berangkat kerja. Padahal aslinya cuma jalan-jalan enggak jelas bareng Devi. Pergi ke salon, nongkrong di cafe , pokoknya ke mana saja yang bisa bikin hati senang.Setelah lelah seharian bareng Devi, aku memutuskan pulang meskipun waktu baru menunjukkan pukul tiga sore. Biasanya sih sekitar jam lima aku baru balik.Saat tiba di rumah, kulihat ibu sedang mengobrol dengan seorang perempuan seusiaku di teras. Hanya sesaat aku memperhatikan perempuan dengan pakaian kurang bahan itu, lalu berniat masuk tanpa memedulikan mereka berdua. “Oh... jadi ini yang namanya Dinda.
Senja tiba tepikan lara, menghibur hati yang seakan mati.Terluka karena cinta, terbuang oleh pengkhianatan. Setelah puas menatapi langit-langit kamar, aku segera membersihkan diri lalu berganti pakaian. Kupaksakan langkahku menuju dapur untuk menyiapkan makan malam. Meskipun masih sakit hati karena kejadian sore tadi, aku berusaha menahannya agar mas Arga tak banyak bertanya. Sebenarnya aku ingin membuka kebohongannya sekarang juga, tapi aku akan menguji keperkasaannya terlebih dahulu. Saat makan malam, tak ada obrolan yang berarti. Aku dan ibu masih sama-sama canggung karena insiden tadi sore. Syukurlah mas Arga belum tahu tentang hal itu, jadi aku bisa melancarkan aksiku malam ini juga. Kulirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Sudah sejak selesai makan malam aku telah menunggu mas Arga yang masih betah menonton TV. Jantungku berdegup sangat kencang. Resah dan gelisah terus menghantui pikiranku, bahkan ini lebih mirip malam pertama.Beberapa saat kemudian, ter